Utik Bidayati, S.E. M.M. Wakil Rektor Bidang Keuangan, Kehartabendaan dan Administrasi Umum UAD (kiri) dengan Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati Paku Alam (Gusti Putri) (kanan) saat pelatihan membatik menggunakan pewarna alami di Joglo Balai Agung Cendana
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) mengadakan pelatihan batik tulis dan teknologi pewarna alami. Program ini bekerja sama dengan Joglo Balai Agung Cendana guna memulihkan perekonomian warga masyarakat di masa pendemi Covid-19.
Program tersebut diinisiasi oleh Dr. Ir. Zahrul Mufrodi, S.T., M.T., IPM. (ketua), Bambang Robi’in, S.T., M.Eng., dan Rachma Tia Evitasari, S.T., M.Eng. sebagai anggota. Zahrul menjelaskan, program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan branding produk batik tulis pewarna alami pada Balai Agung Cendana Batik Tulis Yogyakarta.
“Saat ini tim dari UAD mengembangkan proses mordanting menggunakan kitosan. Kitosan berasal dari kulit udang, sehingga ramah lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan kitosan akan meningkatkan warna yang terserap pada kain, sehingga warna yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Penggunaan kitosan meningkatkan penyerapan zat warna ke dalam kain sehingga diharapkan proses pewarnaan menjadi lebih cepat dan tidak memerlukan pencelupan berkali-kali,” jelas Zahrul.
Zahrul mengungkapkan, batik yang banyak beredar di masyarakat saat ini adalah batik dengan pewarna sintetis atau naphtol. Limbah air dari penggunaan naphtol dapat mencemari air dan lingkungan. Berbeda dengan batik dengan pewarna alami yang memiliki warna yang unik dan kalem. Selain itu, pewarna alami juga umumnya merupakan zat antioksidan aktif.
“Penyuluhan dan pelatihan bertujuan agar para pengrajin batik paham proses-proses yang terjadi pada pewarnaan kain. Untuk mendapatkan warna pada kain proses yang dilalui tidak hanya mencelupkan kain ke dalam pewarna. Ada proses awal dengan menambahkan bahan mordan yang berfungsi untuk menjembatani kain dengan pewarna alami, umumnya mordan yang digunakan adalah mordan logam seperti tawas, tunjung, dan kapur,” terangnya.
Setelah proses pramordanting, kain baru dicelupkan ke dalam pewarna, proses ini harus dilakukan beberapa kali agar mendapatkan warna yang diinginkan. Proses yang terakhir yaitu fiksasi dengan mordan, untuk mengunci warna pada kain agar tidak mudah luntur.
Pewarna alami sesuai namanya didapatkan dari bahan alam, utamanya dari tumbuh-tumbuhan, baik dari bagian kayu, kulit kayu, akar, daun, maupun bunga. Namun tidak semua pewarna alami dapat digunakan sebagai pewarna kain. Sumber zat warna alami yang bisa digunakan antara lain mahoni, jalawe, teger, jambal, dan tingi yang memberikan warna kecokelatan atau sogan, serta kayu secang yang memberikan warna merah muda.
“Pembuatan kain batik menggunakan pewarna alami ini tidak tanpa kendala. Zat warna alami cenderung memiliki kekuatan ikat ke kain katun yang rendah sehingga proses produksi tidak sepraktis menggunakan zat warna sintetis. Sehingga kami menginisiasi proses mordanting dengan kitosan agar pembuatan batik lebih ramah lingkungan,” tandasnya.
Sementara Wakil Rektor UAD Bidang Keuangan, Kehartabendaan, dan Administrasi Umum, Utik Bidayati, S.E., M.M., menjelaskan, pada proses pewarnaan alami batik membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses lama ini terkadang mengakibatkan pengrajin batik tidak telaten, dan orang yang ingin memesan pun menjadi tidak sabar.
“Setidaknya dibutuhkan waktu dua hingga enam bulan untuk pewarnaan sampai tahap akhir. UAD, melalui tim penelitian yang dipimpin Pak Zahrul harus mengatasi permasalahan ini supaya warna alami itu bisa diproses lebih cepat,” ungkap Utik Bidayati.
Lebih lanjut, saat memberi sambutan pada pembukaan acara “Pelatihan Batik Tulis dan Teknologi Pewarna Alami” di Yogyakarta, Senin (14-06-2021), Utik menjelaskan bahwa selama ini penggunaan pewarna alami yang dilakukan di Joglo Bale Agung Cendana membutuhkan bahan berkilo-kilo.
“Selain itu, harga bahan untuk pewarna alami cukup mahal di kisaran 700 hingga 800 ribu. Hasilnya, pun belum tentu memuaskan karena warnanya yang kurang cerah. Oleh karenanya UAD hadir untuk mengatasi permasalahan ini. Kami berharap kerja sama LPPM UAD dan Joglo Bale Agung Cendana menjadi sinergi yang dapat menghasilkan batik berkualitas dengan warna cerah dan harga yang menguntungkan,” katanya.
Di sisi lain Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati Paku Alam (Gusti Putri), Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY juga mengungkapkan terima kasih kepada UAD yang telah memberikan pelatihan pewarnaan batik alami dan mengenalkan teknologi pengolahannya. “Penggunaan pewarna alami untuk batik gampang-gampang susah, tetapi kalau tekun dan disiplin pasti bisa.” (ard)