• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Pentingnya Optimalisasi Wakaf

11/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (26 Januari 2024)
Budi Jaya Putra

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk 273 juta jiwa berdasarkan data terbaru Kemendagri April 2022 lalu. Namun besarnya jumlah penduduk tersebut tidak sejalan dengan tingkat kemakmuran warganya. Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia berada di peringkat 111 dari 189 dari seluruh negara dalam hal pembangunan manusia. Hal ini bukan berarti Indonesia bebas dari kemiskinan, namun hal tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama di Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin tentunya memberikan solusi bagi permasalahan kemiskinan tersebut sebab Islam memberikan sebuah instrumen yang dijadikan sebuah kewajiban bagi umatnya yaitu zakat. Seseorang dapat meningkatkan kekayaannya dengan membayar zakat kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, membayar zakat dapat menyucikan dan menyucikan yang membayar dari keserakahan, keegoisan, dan kesombongan, serta akan memperoleh keridaan Allah SWT.

Salah satu instrumen menyelesaikan masalah kemiskinan yaitu melalui instrumen wakaf produktif. Setiap individu dalam agama Islam dituntut untuk berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan serta menumbuhkembangkan kualitas hidup dalam sebuah proses kebersamaan melalui zakat, infak dan sedekah. Perkembangan ilmu ekonomi dan hukum di Indonesia, selain dari instrumen ZIS terdapat instrumen yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga Islam dalam memberdayakan umat serta mengentaskan kemiskinan.

Pada 2004 telah terdapat undang-undang tentang wakaf yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. UU mengatur wakaf, harta wakaf, institusionalisasi wakaf dan manajemen pengembangan wakaf. Wakaf berperan penting dalam ekonomi dan sosial sehingga pengelolaan wakaf harus secara transparan dan produktif sehingga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan berbagai infrastruktur untuk pemberdayaan dan kemandirian umat.

Perkembangan wakaf di Indonesia tidak terjadi secara masif seperti instrumen ZIS serta potensi wakaf yang belum mampu menunjukkan dan memberikan kemanfaatan secara langsung kepada umat. Tujuan dari wakaf bukan hanya mengumpulkan sumber dana atau dalam bentuk apapun dari donator dan distribusikan. Namun kekayaan dan optimalisasi sumber-sumber wakaf harus memberi manfaat oleh anggota kelompoknya atau masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan wakaf produktif bukan terbatas untuk aktivitas keagamaan namun memiliki cakupan yang lebih luas dalam meningkatkan dan memperkuat perkembangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Sebagai salah satu amal jariah dan sukarela, wakaf yang produktif dapat mendorong pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Peran penting wakaf adalah dapat mempromosikan agama, pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, bahkan tempat tinggal atau organisasi melalui pembangunan fasilitas pelayanan publik seperti masjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dll.

Hambatan Wakaf

Hambatan utama dalam pengelolaan wakaf adalah nazhir yaitu pengelola wakaf utama. Kelemahan bagi nazhir ialah belum memiliki pengalaman tentang bagaimana memberdayakan harta benda wakaf sehingga bisa menghasilkan atau memberikan nilai ekonomi terhadap umat.

Pengelolaan wakaf nonproduktif menjadi wakaf produktif bukanlah hal yang mudah dilakukan, diperlukan keahlian serta kemampuan manajemen, sense of entrepreneurship dan mampu menangkap informasi-informasi secara tepat. Selain dari sisi nazhir, hambatan pengelolaan wakaf produktif adalah peran harta wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat, pola pengembangan harta wakaf serta karateristiknya.

Pengelolaan wakaf produktif merupakan benda wakaf yang dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya didistribusikan sesuai dengan tujuan wakaf. Wakaf produktif berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung komersial, yang dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagian hasilnya disalurkan kepada penerima manfaat wakaf. Dengan demikian wakaf produktif menjadi luas manfaatnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan, kantor dan lembaga pendidikan. Bukan sebatas tempat ibadah semata.

Mengelola wakaf menjadi wakaf produktif dan konsisten, terbukti dapat memberi dampak positif terhadap penerima manfaat baik secara langsung dan tidak langsung kepada masyarakat. Sehingga terjadi pengoptimalisasian tanah wakaf yang belum produktif dan produktif untuk kegiatan usaha UMKM dan meningkatkan amal usaha pada sektor ekonomi.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/26/543/1162757/opini-pentingnya-optimalisasi-wakaf

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 12:35:382024-11-11 12:43:39Pentingnya Optimalisasi Wakaf

Para Pembohong

11/11/2024/in Opini, Publikasi 2024, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (16 Januari 2024)
Sartini Wardiwiyono

Sebagai seorang dosen, penulis beberapa kali menjumpai kebohongan yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebagian dapat ditolerir dan sebagian lagi sangat fatal. Dari manipulasi data untuk penulisan skripsi hingga pemalsuan tanda tangan. Tahun lalu, seorang jamaah haji memamerkan emas yang dibelinya dari Arab Saudi. Emas yang diakuinya berharga ratusan juta. Setelah dikejar Bea Cukai, ternyata perhiasan itu imitasi belaka, nilainya tidak sampai satu juta rupiah.

Kebohongan itu pada akhirnya akan terkuak oleh waktu. Sebaik apapun menyimpan bangkai, pada saatnya akan tercium bau busuknya. Bohong bisa berwujud berbagai ragam. Ada yang kasat mata seperti menebar berita bohong dan tetesan air mata buaya. Ada juga yang disembunyikan menjadi sebuah pertanyaan yang seolah-olah jujur. Dia sebenarnya tahu jawabannya tapi pura-pura tidak tahu. Asal bisa menghancurkan kredibilitas lawan apapun dilakukan.

Dalam politik, kebohongan ditulis dengan narasi yang indah untuk mengelabui rakyat jelata yang rata rata awam politik. Narasi-narasi itu kemudian diteruskan oleh para buzzer, menjadi sampah peradaban yang berserak di dunia maya. Mengotori ruang pikir yang seharusnya jernih dan bening. Parahnya lagi, media massa menggunakan cara yang sama guna menaikkan pengunjung onlinenya. Menjadikan berita bohong sebagai clickbait untuk menjaring traffic.

Peringatan Keras

”Dusta adalah pangkal dari segala dosa”. Sabda Nabi Muhammad SAW ini tentu menjadi peringatan keras bagi para pembohong. Kebohongan selalu melahirkan kebohongan yang baru. Seperti pelaku dan penerima money politik. Uang haram yang bakal menjadi daging tempat setan berbisik dan menggiring pemakannya ke lajur api neraka. Bila kebohongan terus dibiarkan tumbuh subur, ditolerir dan dikamuflase seakan sebuah kejujuran maka negara tidak akanmaju. Bayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan-keputusan krusial di negara ini lahir dari data yang dimanipulasi?

Tentu akan semakin sesat jalan. Semakin jauh dari asal tujuan negara ini didirikan. Baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. Sekarang kita memasuki tahun politik. Dusta itu bahkan sudah diniati sejak awal. Janji-janji politik yang tidak akan mungkin tercapai diumbar untuk menggaet dukungan. Lebih parah lagi para pendukung bayaran bersorak mengamini. Sebuah orkesta kebohongan yang diaransamen dengan indah.

Bulan-bulan ini dusta tidak hanya dilakukan oleh para politisi. Rakyat jelata juga latah untuk ikut dalam kubangan yang sama. Jargon ”ambil uangnya dan jangan pilih orangnya”, menjadi omongan sehari-hari. Digaungkan bahkan oleh seorang pembesar partai. Dosa risywah dan dosa kebohongan dianggap dosa biasa. Jual beli suara sudah jamak kita ketahui. Ancaman hukuman, ternyata tidak mampu mengerem laku durjana tersebut. Money politik terus menjadi momok bagi negara demokrasi. Menghancurkan sendi dasarnya. Suara rakyat malah melahirkan koruptor baru yang semakin lihai mencari cara untuk mengembalikan modal usaha.

Rakyat Berdaulat

Negara yang merdeka adalah negara yang rakyatnya berdaulat. Bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa harus dipengaruhi oleh materi duniawi. Miskin harta tidak boleh menjadikan miskin etika. Kedaulatan suara yang menjadi tonggak demokrasi harus kita jaga. Apabila satu-satunya hak yang kita miliki ini bisa dibeli maka sejatinya kita belum merdeka. Lingkaran setan ini harus berhenti, mulai dari para akademisi. Para guru yang menjadi tiang utama peradaban. Mengajar tidak hanya sekadar menularkan ilmu. Mengajar juga menularkan semangat kejujuran. Jujur untuk bisa datang tepat waktu. Jujur untuk mengapresiasi dengan benar. Jujur untuk bisa hadir rapat sesuai dengan undangan.

Bila narasi kebohongan bisa ditulis dengan sangat indah maka narasi kejujuran harus sanggup menyainginya. Kanal-kanal media informasi harus kembali pada khittahnya. Semua berkhidmat untuk maslahat umat. Belajar dari bab thaharah tentang membersihkan barang yang terkena najis, untuk membersihkan najis aini (yang tampak) kita harus membersihkan kotoranya dahulu baru menyiramnya dengan air.

Demikian juga najis-najis kebohongan yang memenuhi jagat maya. Bersihkan dahulu sumber kebohongan dengan menegakkan aturan lalu banjiri dengan narasi kejujuran. Bila kebenaran hadir maka kebatilan pasti akan mangkir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2111537088/para-pembohong

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-11 10:52:112024-11-11 10:52:11Para Pembohong

Etika Kehidupan Berbangsa

06/11/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2024 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (30 Januari 2024)
Immawan Wahyudi

Judul tulisan sederhana ini menggunakan nama atau judul dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengapa akhir-akhir ini isu tentang etika tiba-tiba menyeruak di sela-sela kegaduhan debat capres-cawapres? Penulis tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap kita akan memiliki argumen dan sudut pandang yang berbeda. Namun bisa kita simpulkan bahwa etika bagi kehidupan berbangsa, juga benegara, isu etika sangatlah penting. Bukti yuridis formal pentingnya etika adalah adanya TAP MPR di atas.

Dalam argumentasi filosofis TAP MPR tersebut menyatakan, “bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan argumentasi sosiologisnya menyatakan, “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang dalam TAP MPR tersebut dinyatakan; “bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu.”

Filosofis Etika

Dalam wilayah berpikir yang seharusnya ada (das sollen) untuk menjawab tantangan dari kenyataan yang ada (das sein) dan untuk menyibak wilayah yang masih kita anggap gelap (das ding an sich) isu tentang etika bukan persoalan yang pantas untuk ditunda-tunda. Misalnya saat ini kita sedang sibuk memantau dan atau sedang menyiapkan kampanye, umumnya akan sangat terpengaruh pada isu etika. Apakah seseorang calon presiden atau calon anggota legislatif baik atau tidak baik adalah wilayah etika.

Dalam dunia politik acapkali moral diposisikan pada tempat yang tidak penting–kalau bisa, malah diminimalkan peranannya. Padahal secara pemahaman mendalam tentang politik justru moralitas atau etika merupakan ruh dari cara berfikir dan berperilaku politik. Kita bisa menyebut misalnya pandangan ImmanueL Kant yang membedakan antara politisi moral dan moralis politik.

Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan, kalangan penguasa. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Sedangkan moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melayani pemimpin mereka dari sisi moral dengan cara menciptakan suatu etika yang hanya ditujukan untuk memenuhi tujuan dari segelintir oarng yang berkuasa. (Howard Williams, Filsafat Politik Immanuel Kant, JP-Press & IMM, Jakarta, 2003, hal. 54 – 55)

Dalam realitanya, sejalan dengan perkembangan teori-teroi baru ilmu komunikasi, orang dipaksa untuk mematut-matut diri sehingga apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dalam baliho misalnya, seringkali memberikan gambaran yang bertentangan. Orang yang sedang mengikuti kontestasi acapkali tidak berpikir apa yang sebenarnya ada pada dirinya tapi berpikir apa yang tidak ada pada dirinya agar masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah orang baik.

Selain terori moral politik dari Immanuel Kant dapat kita sitir pandangan Emile Durkheim yang menteorikan posisi moralitas dalam ilmu yang positivistik. Menurutnya, moralitas bertumpu pada tiga sikap dasar. Pertama, moralitas harus dilihat sebagai fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subjektif. Kedua, moralitas merupakan bagian yang fungsional dari masyarakat. Ketiga, moralitas terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusioner dan berubah sesuai dengan zaman yang ada. (Taufik Abdullah dan AC van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, YOI, Jakarta, 1986, hal. 11)

Etika dan Realitas Sosial

Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant dan Durkheim di atas, muncul pertanyaan penting: Mengapa mustika indah kepribadian “bangsa ketimuran” lenyap bak air bah ditelan Bumi? Tentu hal ini memerlukan perenungan bersama, mendalam, jujur dan optimistik. Dengan kredo semacam ini diharapkan mustika ketimuran akan dapat kita temukan kembali dalam realita sosial yang benar-benar berfungsi di tengah tuntutan perlunya penegakan etika dalam berbangsa dan bernegara. TAP MPR Nomor VI/2001 Pasal 3 menyatakan; “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa.”

Etika Kekuasaan

Jika kita detailkan isu etika dalam konteks politik kekuasaan seharusnya ada norma-norma tentang etika pemerintahan, etika jabatan, dan ada etika pejabat. Bentuk pelanggaran etika kekuasaan misalnya memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kerugian paling meresahkan dan meruntuhkan kehormatan pemerintahan adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan puncaknya pelanggaran tethadap konstitusi. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh berbeda dengan pelanggaran etika sosial. Pelanggaran etika selalu mengandung unsur kerugian. Jika etika sosial yang dilanggar paling ringan dampaknya adalah kerugian individual dan yang paling berat ialah kerugian kehormatan dan harmoni sosial. Sementara pelanggaran terhadap etika kekuasaan jauh lebih berat, lebih mendalam, dan lebih besar pengaruh kerusakannya bahkan dapat bermuara pada hilangnya sistem bernegara dan bernegara berdasarkan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2024/01/30/543/1163237/opini-etika-kehidupan-berbangsa

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-06 12:35:172024-11-06 12:35:17Etika Kehidupan Berbangsa

Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

04/11/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (Desember 2024)
Ilham Yuli Isdiyanto

Selama ini, pendidikan yang dianjurkan lebih pada “membuang sampah pada tempatnya” bukan “mengelola sampah sebagaimana seharusnya”, akibatnya muncul problem penumpukan sampah yang tidak terkontrol. Jadi bukan hanya membuang sampah tidak pada tempatnya yang menjadi masalah, kini membuang sampah pada tempatnya pun menjadi masalah. Hal ini diperkuat dengan regulasi yang “ompong” dalam mengubah perilaku (law as a tool of social engineering), jika ditelisik telah banyak perundang-undangan terkait pengelolaan sampah – yang juga berkaitan dengan lingkungan hidup – bahkan cukup banyak yang mendorong pemberlakuan sanksi melalui Peraturan Daerah.

Hanya saja, persoalan kini bukan hanya pada perilaku membuang sampah namun bagaimana Pemerintah menyediakan “kotak sampah” apalagi pengelolaan sampah.Lebih mengejutkan lagi, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) malah sering dimaknai sebagai Tempat Pembuangan Akhir, padahal jelas-jelas tidak ada tempat untuk sampah.

Nilai Sampah

Hal yang paling paradoks terkait sampah, kita membuangnya namun juga membutuhkannya. Jika berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 34,4 juta ton. Namun di tahun yang sama berdasarkan UN Comtrade, kita juga mengimpor sampah plastik dengan jumlah 53,76 juta kg. Padahal, merujuk pada Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah kegiatan mengimpor sampah seharusnya dilarang.

Problem sampah pada dasarnya adalah problem industri, status quo terhadap berbagai kebijakan yang ada bukanlah upaya untuk mengkurasi problem ini, namun menambah daftar panjang persoalan yang tak kunjung usai. Seperti kebutuhan akan plastik dalam dunia industri maupun perdagangan menjadikan setiap kebijakan bak simalakama. Melansir laporan data Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahun dan 2/3 nya dibuang sebagai sampah sekali pakai. Produksi yang terus menerus sebagai kebutuhan industri ternyata tidak berbanding lurus dengan proses daur ulangnya.

Sampah pada dasarnya memiliki nilai lebih, yakni jika sampah terkelola melalui startegi 3R (reduce, reuse, recycle). Sudah banyak upaya untuk mengembangkan hal ini, namun belum juga mampu dalam mengurai problem sampah. Lantas dimana persoalannya?

Dari Sampah Industri/Konsumsi Menjadi Industri Persampahan

Sampah industri/konsumsi mungkin satu-satunya yang perlu dicurigai terhadap problem sampah hari ini, mau bagaimanapun proses industrialisasi dan konsumsi akan selalu terus menerus menghasilkan volume sampah alih-alih mengurangi atau menghentikannya. Maka yang perlu dikuatkan adalah bagaimana membangun penyeimbang terhadap sampah industri/konsumsi dengan mengembangkan berbagai lini industri persampahan yang terintegrasi dan partisipasi.

Model industri persampahan ini harus mampu bukan hanya pemodal besar, namun juga usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu juga bukan hanya tanggungjawab pusat, melainkan provinsi, daerah kabupaten sampai desa juga perlu untuk dilibatkan. Kuncinya ada pada model kebijakan yang akan diaplikasikan, disatu sisi pengelolaan sampah bukanlah hal yang sederhana.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik (vide Pasal 5 UU No 18/2008). Pengelolaan sampah ini memiliki potensi besar untuk diagregasi dalam ranah industri yang sinergis. Jika melihat pada data impor sampah, maka kebutuhan atas sampah nasional sebagai bahan baku sangatlah besar.

Kebutuhan ini sejalan dengan maraknya industri dan konsumsi ditengah masyarakat yang menghasilkan sampah plastik.Menempatkan sampah sebagai bahan baku bisa disebut sebagai upaya “hilirisasi sampah”, namun hal ini membutuhkan syarat lebih dari penghasil sampah (baik industri maupun konsumsi).

Salah satunya adalah merubah mindset dari “membuang sampah” menjadi “memilah sampah”.Anjuran membuang sampah pada tempatnya saat ini sudah tidak relevan kembali, karena menempatkan setiap sampah menjadi residu, padahal seharusnya mampu diolah menjadi bahan industri kembali.

Model Regulasi Pengelolaan Sampah

Mengutip dari website Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Naisonal (SIPSN), sudah cukup banyak regulasi yang mengatur tentang sampah yang terdiri dari 1 Undang Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Peraturan Presiden, dan 9 Peraturan Menteri.Selain itu, terdapat 6 Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel). Banyaknya regulasi persampahan tidak menjamin adanya pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi. Selain itu, peran serta masyarakat tak lain memiliki pengaruh utama dalam hal pengelolaan sampah ini.

Dorongan regulasi haruslah diarahkan tidak hanya pada standarisasi pengelolaan sampah, melainkan upaya pemerintah memberikan dukungan pada upaya ini dan membantu proses perizinan bagi pengusaha yang akan melakukan pengelolaan sampah. Proses hilirisasi sampah atau industri persampahan adalah model pengelolaan sampah yang paling efektif, dimulai dari pelibatan aktif dunia industri dan masyarakat selaku konsumen.

Langkah awal untuk melakukan hal ini adalah cara pandang politik hukum terhadap pengelolaan sampah dan bukan perizinan industri persampahan, melainkan lebih pada dukungan terhadap setiap pelaku usaha hilirasi sampah dalam memenuhi standar yang ada. Jika melihat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, disini paradigma seharusnya diubah.

Hilirisasi sampah seharusnya dilihat sebagai bisnis strategis yang terbuka untuk dikembangkan oleh semua kalangan, potensi sampah menjadi bahan baku harus didukung oleh pemerintah dalam menyiapkan sistem distribusi yang baik, terutama menghubungkan kembali antara pengelola sampah dengan industri pengelolaannya. Melalui regulasi ini, pemasok utama sampah sebagai bahan industri harusnya ada dari masyarakat, sistem supply chain ini terhadap hilirasasi sampah dari masyarakat seharusnya seimbang dengan hilirisasi barang konsumsi yang ada diperedaran.

Untuk itu, fungsi pemerintah adalah memberikan jaminan dan dukungan terhadap setiap kegiatan usaha pengelolaan sampah termasuk insentif terhadapnya. Pengaturan yang terlalu ketat dan izin yang “belibet” tanpa ada dukungan maka upaya penanganan sampah hanyalah isapan jempol.

Sumber : https://www.suaramerdeka.com/opini/0411356809/upaya-menuju-hilirisasi-sampah-melalui-regulasi

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-11-04 08:59:472024-11-04 09:00:11Upaya Menuju Hilirisasi Sampah Melalui Regulasi

Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

30/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (17 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Objek kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan dan atau tindakan pemerintah. Namun, menjadi pertanyaan bagaimana dengan upaya administratif pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah? Di sisi lain, upaya administratif yang diatur secara khusus (vide UU No. 2/2007 serta perubahan dan Perpres No. 16/2018 serta perubahan) ternyata menyisakan pertanyaan berkaitan dengan kewenangan PTUN.

Problem kewenangan adalah bagaimana jika penyedia jasa yang kalah dalam proses tender konstruksi namun mengajukan proses “banding” sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah bukan “sanggah banding” sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12/2021? (Perubahan Perpres No. 16/2018).

Disparitas Regulasi

Upaya administrasi dalam jasa konstruksi memang berbeda dengan sistem administrasi umum lainnya. Perbedaan ini kemudian berimplikasi pada pemenuhan hak warga negara terkait, yakni hak dalam memperjuangkan hak hukumnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

Muncul disparitas dalam regulasi ini berkaitan dalam hal bentuk upaya administrasi, pada administrasi umum dikenal upaya administrasi yakni “keberatan” dan “banding” (vide Pasal 75 ayat (2) UU No. 30/2014) namun pada pengadaan barang dan atau jasa di bidang konstruksi dikenal upaya administrasi berupa “sanggah” dan “sanggah banding” (vide Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 12/2021).

Secara sederhana, nomenklatur “sanggah” dapat dipersamakan dengan “keberatan” dan “sanggah banding” dapat dipersamakan dengan “banding” berdasarkan UU No. 30/2014. Namun, ada disparitas regulasi dalam konteks ini, di mana menurut ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 ditetapkan nilai jaminan 1% (satu persen) dari nilai Hasil Perkiraan Sendiri (HPS) atau nilai Pagu Anggaran yang dilelangkan sebagai jaminan yang harus disetor saat melakukan sanggah banding, padahal jika mengacu pada Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014 seharusnya tidak ada bentuk jaminan atau biaya yang dibebankan dalam proses upaya administratif.

Pembebanan melalui biaya administratif jelas bertentangan dengan Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014, namun ketentuan Pasal 32 Perpres No. 12/2021 mengacu pada Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017 tentang Konstruksi yang mengatur adanya jaminan sanggah banding. Tetapi, jika diamati secara lebih teliti norma yang ada pada UU No. 2/2017 tidak mengatur nilai jaminan yang harus dibayarkan dan juga jaminan ini pada dasarnya berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (mitigasi wanprestasi), bukan upaya administratif (vide Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017).

Di sisi lain, yang paling mencurigakan adalah bagaimana status dari biaya jaminan ini. Pembebanan terhadap jaminan yang tidak memiliki dasar hukum akan mendorong pada bentuk ketidakpastian hukum. Nilai 1% (satu) persen dari HPS atau Pagu Anggaran akan semakin membesar mengikuti nilai pengadaan konstruksinya, sehingga nilai ini tidak bisa dikatakan “sedikit”. Jika proses sanggah banding ditolak, maka biaya yang telah diberikan sebagai jaminan apakah dikembalikan? Padahal mengacu pada Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2017 pemberian jaminan yang dimaksud berada pada konteks mitigasi wanprestasi, bukan menekan upaya administratif.

Upaya Hukum PTUN

Pasca muncul UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah, terjadi perluasan makna terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak hanya sebatas pada keputusan yang konkrit, individual, dan final (vide Pasal 1 angka 9 UU No. 51/2009) namun juga termasuk tindakan faktual, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat (vide Pasal 87 UU No. 30/2014).

Mengacu pada ketentuan ini, maka keputusan hasil lelang (tender) termasuk sebagai KTUN dan menjadi objek PTUN. Sehingga, jika dalam proses sanggah banding ditolak, maka penyedia jasa sebagai peserta tender berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum berhak mengajukan upaya hukum melalui PTUN.

Namun, bagaimana dengan peserta lelang yang mengajukan skema upaya administrasi banding bukan berdasarkan Perpres No. 12/2021 namun berdasarkan UU No. 30/2014? Maka menjawab hal ini ada beberapa hal yang perlu untuk dijadikan sebagai dasar.

Kesatu, walaupun banding berdasarkan UU No. 30/2014 tidak dikenal dalam sistem pengadaan barang dan atau jasa terutama jasa konstruksi, namun di sisi lain hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan asas ius curia novit di mana hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (vide Pasal 10 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kedua, tidak ada bentuk larangan terhadap upaya administrasi berdasarkan UU No. 30/2014 terkait pengadaan barang dan atau jasa, sehingga tidak ada konsekuensi logis jika mengajukan banding di luar Perpres No. 12/2021 maka akan gugur.

Ketiga, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior maka kedudukan Perpres No. 12/2021 berada di bawah UU No. 30/2014, sehingga penggunaan dasar UU No. 30/2014 sebagai dasar upaya administratif sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Melihat pada dalil-dalil ini, tidak ada masalah jika menggunakan dasar UU No. 30/2014, yakni upaya banding administrasi, pembeda utamanya dengan Perpres No. 12/2021 berkaitan jaminan sanggah banding yang wajib disetor oleh peserta lelang saat memperjuangkan haknya.

Arah Kebijakan Administrasi

Perlu digaris-bawahi, hukum administrasi lebih pada arah “kebijakan” sehingga dasarnya bukan terletak pada rechmatigheid (berdasarkan perundang-undangan) melainkan berdasarkan doelmategheid (dasar kemanfaatan).

Karena arah kebijakan administrasi yang lebih pada doelmategheid sebagai konsekuensi dari freiss emerson (kehendak bebas/diskresi), maka dasar yang digunakan bukanlah norma peraturan perundang-undangan melainkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kontekstualisasi “banding” atau “sanggah banding” adalah upaya untuk mengakomodir hak warga negara (peserta lelang) dalam mendapatkan keadilan, oleh karenanya tidak bisa jika keadilan dikalahkan karena arah kebijakan yang lebih didasarkan pada Perpres No. 12/2021 ketimbang UU No. 30/2014. Salam.

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-30 10:34:412024-10-30 10:34:41Mengukur Kewenangan PTUN dalam Memeriksa Perkara Administrasi Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah

Tahun Politik: Elektabilitas Mengangkangi Kualitas

26/10/2024/in Koran Merapi, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Merapi (14 Desember 2023)
Ilham Yuli Isdiyanto

Di tahun politik, para kesatria politik turun gunung. Mereka kemudian menyamar ‘seolah-olah’ menjadi bagian dari rakyat, bahkan menjadi ‘sudra’ dengan banyak dalih, sampai mengaku akan melayani ‘sudra’ yang terbiasa ‘melayani’. Akhirnya, tarik menarik posisi di kalangan rakyat, para kesatria politik kemudian berubah menjadi ‘demagog’ kelas kakap yang senantiasa berkhotbah tentang keadilan dan juga kesejahteraan. Demokrasi bukanlah binatang jinak, ia sangat liar dan mudah berubah-ubah tergantung dari siapa yang menggunakannya.

Identitas demokrasi kemudian berubah menjadi ‘kendaraan politik’ yang sangat bergantung dari ‘Pak Supir’ untuk mengarahkannya ke mana. Pernyataan Bambang Pacul terkait kuatnya pimpinan partai dalam menentukan arah kebijakan partai politik memberikan sinyal yang kuat terhadap fenomena ini. Demokrasi kemudian semakin terusik dengan hancurnya demokratisasi dengan pragmatisme politik, seperti naiknya Kaesang yang baru dua hari resmi anggota kader tiba-tiba menjadi Ketua Umum Partai Solidaristas Indonesia (PSI) padahal dalam misi partai politiknya adalah ‘melanjutkan agenda reformasi dan demokratisasi’ namun seakan melegitimasi oligarki dan dinasti.

Rapor buruk memang sedang merintangi demokrasi Indonesia, mungkin kasus ‘Mahkamah Keluarga’ yang berhasil memboyong Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo bukanlah puncaknya. Proses demokrasi masih berlanjut, terutama menuju pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 nanti. Banyak ketakutan akan muncul krisis, namun di sisi lain krisis ini akan menguntungkan jika dia mampu didorong untuk di demokrasi pada level negara.

Seperti yang dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) bahwa krisis akan mampu dimanfaatkan guna menyelewengkan kekuasaan (otoriter) dan menciptakan sistem autokrat dengan dalih keamanan dan keselamatan. Demokrasi akan ‘dipangku’ yang dalam pemahaman filosofis Jawa adalah ‘mengendalikannya’, si Pemangku adalah aktor dengan strategi politik guna mendorong setiap tindakan ‘seakan’ demokratis dalam sudut pandang prosedur namun oligarkis dalam sudut pandang nilai demokrasi. Substansi akan kalah dengan prosedur, esensi akan kalah dengan ambisi.

Elektabilitas dan Suara Rakyat

Elektabilitas adalah seni merayu, yakni bagaimana solek personal mampu membius masyarakat luas dengan janji berlapis demi mendapatkan dukungan. Di sisi lain, di era informasi ini, elektabilitas kemudian didukung dengan track record dari tokoh tersebut apakah benar-benar layak atau tidak.Namun, sisi buruknya adalah elektabilitas juga berarti sejauh mana tokoh tersebut diperbincangkan oleh masyarakat luas, baik prestasi maupun kontroversi.

Lembaga survei memiliki peran penting dalam langkah prediktif menjelang pemilihan umum (pemilu), kemampuan prediktifnya didasarakan pada data-data yang diklaim valid dan ilmiah menjadi acuan terhadap optimisme politik. Walaupun beberapa kalangan melihat, sejauh mana kapasitas lembaga survey ini mampu memberi prediksi yang teruji secara terus menerus.

Seperti survei Litbang Kompas (11/12/2023) yang baru dirilis menempatkan elektabilitas Prabowo-Gibran 39,3%, Anies Muhamimin 16,7%, dan Ganjar-Mahfud 15,3%. Hal ini paling membingungkan adalah, dengan banyaknya kontroversi terkait pasangan Prabowo-Gibran, seperti isu ‘Mahkamah Keluarga’ ternyata tidak mempengaruhi elektabilitas secara serius.

Pertanyaan di tengah berbagai kekecewaan politik, harus dipahami bahwa irasionalitas politik dengan cara berdemokrasi bukan terletak pada kapasitas diri namun ‘seni’ menghegemoni. Hal ini dipertegas oleh pandangan Jean Baechler (2001) yang menyebut demokrasi tak lebih sebagai ‘pasar politik’, artinya proses transaksi adalah proses yang saling menguntungkan. Baik itu pertukaran antar gagasan maupun antar kepentingan.

Oleh karenanya, kredo yang seharusnya muncul adalah ‘elektabilitas bukanlah suara rakyat’ namun suara rakyat adalah ‘idealitas kondisi rakyat yang dengan sadar dan paham untuk mewujudkan kualitas demokrasi’. Jika tesis ini dimunculkan, maka pemilu akan menemukan kejenuhannya sendiri, karena proses pemilu menjadi irasional dengan ketidakcukupinya syarat kesadaran masyarakat.

Mungkin gagasan ini lebih cocok pada arah demokrasi deliberatif ketimbang demokrasi prosedural, seperti bagaimana masyarakat menyikapi peran seorang Presiden Joko Widodo yang memberikan izin anaknya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden jelas tidak selaras dengan semangat etika demokrasi. Ketidaksetujuan rakyat sampai pada kritik terhadap Mahkamah Konstitusi tidak ditanggapi secara responsif tetapi retoris dengan mengembalikan lagi pada konstitusi dan perundang-undangan. Tidak mudah untuk memberikan saran pada Pemilu 2024, berbagai bentuk kontroversi yang membayangi dengan problem etisnya seakan membawa aura pesimistis atas terwujudnya demokratisasi pemilu nantinya.

Sikap imparsial negara mulai dipertanyakan, imbas dari dugaan conflict of interest yang semakin menjadi-jadi. Sikap berdemokrasi yang ideal didasarkan pada arah subtantif, sehingga lebih mendorong proses politik yang deliberatif. Namun, hal ini harus didasarkan pada sikap egalitarian yang proporsional, sehingga rasa keadilan dalam proses suksesi kekuasaan melalui pemilu akan juga dirasakan sportif oleh seluruh lapisan masyarakat. Harapan terbesar adalah tidak muncul krisis, berkumpulnya sejumlah tokoh bangsa dari Goenawan Muhammad sampai KH Mustofa Bisri di Rembang adalah mendorong pada upaya yang lebih kondusif untuk masa depan bangsa.

Jika krisis ini muncul, maka ada elit yang diuntungkan dan rakyatlah yang paling dirugikan. Pemilu 2024 bagian dari pendewasaan, sebagai proses berbangsa. Mungkin sudah saatnya merefleksi sistem demokrasi, kenapa sulit sekali untuk demokratis? Akhirnya, pertunjukan yang muncul adalah elektabilitas mampu mengangkangi kualitas, apalagi jika ada dukungan ‘isi tas’. Salam.

Sumber : https://www.harianmerapi.com/cermin/4011197607/tahun-politik-elektabilitas-mengangkangi-kualitas

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-26 10:04:042024-10-26 10:04:04Tahun Politik: Elektabilitas Mengangkangi Kualitas

Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

26/10/2024/in Bernas, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Koran Bernas (9 Desember 2023)
Ilham yuli Isdiyanto

Proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

BERDASARKAN ketentuan Pasal 75 ayat (5) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014), seharusnya setiap upaya administrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap keputusan dan atau tindakan pemerintah berupa keberatan dan banding tidak dibebani biaya. Namun, upaya banding terhadap hasil pengadaan jasa konstruksi ternyata dikenai “biaya” dalam bentuk “jaminan sanggah banding”. Lantas, apakah ini berkeadilan terhadap hak warga?

Menganulir Hak Warga Negara

Tujuan hukum Indonesia bukanlah untuk menegakkan hukum an sich, melainkan menegakkan “keadilan” yang notabene penuh nuansa filosofis dan konstruksi etis terhadap nilai-nilai yang ada pada masyarakat, ketimbang hanya bunyi pasal. Jaminan ini juga muncul pada konstitusi yakni Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang secara tegas menempatkan “hukum dan keadilan” secara kumulatif, bukan fakultatif. Konstruksi keadilan ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak lain adalah “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam hal mendeliberasi keadilan, muncul UU No. 30/2014 yang sifatnya mengatur upaya administrasi untuk mengakomodir hak warga masyarakat terhadap keputusan dan/atau tindakan pemerintah yang dianggap merugikan. Hal ini kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 75 UU No. 30/2014, di mana pada ketentuan ayat (2) disebutkan bentuk upaya administratif adalah : a) keberatan; dan b) banding. Karena sifatnya adalah hak, maka upaya administrasi ini kemudian diakomodir bebas beban biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (5) UU No. 30/2014.

Namun, proses upaya administrasi berbeda pada upaya administrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) menyebutkan nilai jaminan sanggah banding adalah 1% (satu persen) dari nilai pengadaan yang telah ditetapkan. Dasar pengenaan jaminan ini bisa diturut melalui ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang mengatur tentang adanya jaminan sanggah banding. Namun, penempatan jaminan sanggah banding ini memiliki konsekuensi logis, bahwa bentuk upaya administrasi ini bukan lagi sebagai hak warga negara karena mensyaratkan pembebanan biaya tertentu.

Pensyaratan pada jaminan sanggah banding ini dicurigai melanggar asas keadilan yang berpotensi menghilangkan hak dari warga negara, jika melakukan upaya banding administrasi karena diperlukan adanya jaminan sebesar 1% (satu persen).

Problem Regulasi

Cantolan pada Pasal 32 Perpres 12/2021 tak lain adalah Pasal 57 ayat (2) UU No. 2/2017, namun ternyata ketentuan ini mengandung problem penormaan. Frasa pengaturan jaminan sanggah banding adalah bagian dari jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka dan jaminan pemeliharaan. Jaminan ini sangat berkaitan dengan proses pengadaan, bukan pada upaya hukum administrasinya. Penempatan jaminan sanggah banding seharusnya ditempatkan terpisah dari proses pengadaan, yakni pada upaya hukum terhadap proses pengadaan.

Pada bagian penjelasan, jaminan sanggah banding disebut sebagai jaminan yang harus diserahkan oleh Penyedia Jasa yang akan melakukan sanggah banding. Namun, ada beberapa hal yang tidak muncul dalam UU No. 2/2007, yakni: a) jaminan sanggah banding disamakan dengan bentuk jaminan lainnya, padahal jaminan sanggah banding sifatnya adalah “hak” Penyedia Jasa saat mengkuti lelang, bukan proses administratif sebagaimana bentuk jaminan lainnya; b) tidak ada standar terhadap besaran jaminan sanggah banding yang bisa dijadikan cantolan hukum bagi pengaturan di bawahnya; dan c) adanya biaya dalam proses upaya hukum administratif pada saat sanggah banding menjadikan ketidakharmonisan antarregulasi, terutama UU No. 30/2014 yang menyebutkan upaya administrasi seharusnya tidak dibebani biaya.

Perpres 13/2021 kemudian mengatur besaran jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu) persen dari nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) maupun dari nilai Pagu Anggaran. Penempatan adanya jaminan sanggah banding sebesar 1% (satu persen) ini tidak inheren dengan tujuan hukum, terutama dalam perspektif pemenuhan hak warga negara yang seharusnya diakomodir oleh negara.

Norma Tidak Inheren

Ada bentuk ketidakcermatan dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) huruf e UU No. 2/2007 dengan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007. Jika benar-benar dipahami ketentuan Pasal 57 ayat (3) menyebutkan pencarian jaminan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan adanya pernyataan Pengguna Jasa atas wanprestasi yang dilakukan Penyedia Jasa.

Di sinilah pokok pengaturannya, karena pada ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU No. 2/2007 sebenarnya tidak mengakomodir bentuk jaminan sanggah banding, namun jaminan lainnya yang berkaitan dengan proses pengadaan. Pencampuran seperti ini jelas memunculkan ketidakpastian bahkan pertentangan di dalamnya.

Selanjutnya, di dalam regulasi baik UU No. 2/2007 maupun Perpres No.13/2021 tidak disebutkan berkaitan dengan status uang jaminan sanggah banding, apakah akan dikembalikan saat sanggah banding diterima ataupun tidak dikembalikan jika sanggah banding ditolak. Hal ini menjadi isu penting karena UU No. 2/2007 hanya mengatur berkaitan wansprestasi bukan upaya hukumnya.

Mungkin nanti perlu ada constitutional question berkaitan isu ini, namun seharusnya berkaitan terhadap sanggah banding tidak perlu secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan dikarenakan sudah diatur dalam UU No. 30/2014 terkait upaya hukum administratif yakni keberatan dan banding.

Penempatan upaya administratif melalui UU No. 30/2014 juga lebih mengakomodir hak warga negara atau Penyedia Jasa karena tidak dibebankan biaya, sehingga hak ini benar-benar teraktualisasi. Berbeda dengan penggunaan ketentuan UU No. 2/2007 dan Perpres No. 13/2021 yang menyaratkan adanya jaminan sanggah banding, sehingga akan menjadi pertanyaan besar, apakah negara segitunya setengah hati untuk mengakomodir hak warga negaranya dalam memperjuangkan haknya? Salam.

Sumber : https://koranbernas.id/disparitas-upaya-banding-administrasi-umum-vis-a-vis-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-26 09:42:392024-10-26 09:42:39Disparitas Upaya Banding Administrasi Umum vis a vis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Sampah dan Pertanggungjawaban Kita

22/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (7 Desember 2023)
Sartini Wardiwiyono

Segala kerusakan di muka Bumi 100% disebabkan oleh ulah manusia. Tidak perlu data untuk melihat hal ini. Alam nan indah permai yang diwariskan dari nenek moyang, mengalami kerusakan dan akan kita wariskan kepada anak cucu kita. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].” (QS Ar Rum :41)

Manusia diciptakan menjadi penanggung jawab yang harus mengurusi kemakmuran Bumi. “Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi [tanah] dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat [rahmat-Nya] dan memperkenankan [doa hamba-Nya]”. (QS Hud:61).

Semua manusia tanpa terkecuali bertugas untuk menjadi khalifah Allah agar memakmurkan Bumi. Tugas itu akan dipertanggungjawabkan. Keadilan pasti akan tegak di hari pembalasan. Semua akan menerimanya sesuai dengan kadar kerusakan yang diciptakan semasa hidup di dunia.

Bila kerusakan di muka Bumi dibiarkan tanpa ada pemberi peringatan, maka orang-orang berilmulah yang akan menerima akibat paling buruk di akhirat kelak. Bukankah para ilmuwanlah yang mampu membaca fenomena kerusakan alam? Ilmuwan pula yang mampu memprediksi sisi negatif dari inovasi yang mereka ciptakan? Ilmuwan dari segala bidang harus mempertanggungjawabkan anugerah ilmu yang dikaruniakan Allah pada mereka. “With great power comes great responsibility” perkataan Peter Parker yang terinspirasi dari Alkitab ini patut pula digarisbawahi.

Sampah Plastik
Kita ambil contoh sampah plastik. Sten Gustaf Thulin, inventor kantong plastik, menganggap kantong kertas sangat berbahaya karena merusak hutan. Kantong plastik bisa digunakan berkali-kali, sedangkan kantong kertas mahal dan hanya sekali pakai. Sekarang bagaimana hasilnya? Kantong plastik menjadi pembungkus sekali pakai karena nilai ekonomisnya lebih murah dari kertas dan menjadi masalah utama sampah dunia. Sampah plastik tidak hanya merusak kelestarian lingkungan, tetapi juga mengganggu kesehatan masyarakat. Banyak penyakit yang menimpa manusia modern karena pencemaran plastik di darat, air atau udara. Bahkan kantong plastik biodegradable yang digembar-gemborkan kalangan industri saat ini, tidak lebih berbahaya dari kantong plastik biasa. Tanpa komposter industri, sampah plastik biodegradable justru menjadi mikro plastik yang mudah terhirup dan masuk ke dalam tubuh kita.

Permasalahan sampah ini harus segera dicarikan solusi. Solusi terbaik adalah dengan meminta pertanggungjawaban dari pihak yang harus bertanggung jawab. Dari sektor industri, para pengusaha harus bertanggung jawab dengan hasil sampah produksi mereka. Mereka harus menyiapkan fasilitas untuk mengolah sampah yang mereka hasilkan.

Corporate social responsibility harus selalu digaungkan oleh ilmuwan sosial. Perundangan harus ditulis dengan detail oleh para teknokrat berdasarkan pada keseimbangan alam raya seutuhnya termasuk fenomena alam digital. Para ulama harus terus bergerak menyadarkan dan membimbing umatnya. Al mizaan yang Allah gariskan dalam firman-Nya haruslah menjadi acuan. “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca [keadilan]. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu.” (QS ar-Rahman [55]: 7-9).

Solusi lainnya adalah menyadarkan manusia untuk kembali menyadari tugasnya. Menjaga lingkungan adalah ibadah yang sangat mulia, tidak kalah dengan ibadah lain. Alam yang merupakan benda mati di mata kita adalah benda hidup di sisi Allah. Mereka adalah makhluk yang juga bertasbih dengan cara mereka sendiri. Rasulullah bersabda ketika berdiri di atas gunung Uhud, “Innahu yuhibunna wu nuhibbuhu” Sesungguhnya ia [Uhud] mencintai kita, begitu pula sesungguhnya kita mencintainya. Alam memiliki rasa cinta. Cinta yang tak pernah kita sadari dengan sepenuhnya.

Sampah harus kita kelola dengan baik agar tidak menjadi mesin pembunuh. Peristiwa nahas yang terjadi pada 2005 mengakibatkan 157 jiwa melayang dan dua kampung (Cilimus dan Pojok) hilang dari peta karena tergulung longsoran sampah dari TPA Leuwigajah. Nyawa-nyawa itu ada di pundak kita semua dan menanti pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/12/07/543/1157361/opini-sampah-dan-pertanggungjawaban-kita

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-22 09:41:422024-10-22 09:41:42Sampah dan Pertanggungjawaban Kita

Reviu Ulang Deklarasi HAM

22/10/2024/in Harian Jogja, Opini, Publikasi 2023 /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Jogja (28 November 2024)
Sobirin Malian

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia telah mengalami kemunduran (15 November 2023). Guterres menyerukan pembaharuan terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) setelah 75 tahun ditandatangani oleh anggotaPBB.

Menurut Gutteres, Deklarasi HAM yang ditandatangani 10 Desember 1948 itu layak direviu atau ditinjau kembali mengingat saat ini Piagam itu seakan diserang semua pihak. Mulai dari perang yang berkecamuk di Ukraina, agresi Israel atas Palestina, holocaust suku Uyghur oleh China dan etnis Rohingya di Myanmar, diskriminasi agama minoritas di India, dan lain sebagainya. Tak kalah serius adalah adanya ancaman terhadap hak-hak dari melonjaknya angka kemiskinan, kelaparan dan bencana iklim.

Gutteres mengatakan invasi Rusia ke Ukraina dan bombardir Israel ke Gaza Palestina, telah menjadi bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia yang paling masif dan brutal yang pernah terjadi di dunia sejak pasca Perang Dunia II.

Antonio Guterres mengatakan invasi ini telah menyebabkan kematian ribuan nyawa. Sedikitnya 15.000 anak-anak dan wanita menjadi korban, dan sejumlah fasilitas publik di Gaza hancur. Pengungsian pun meluas. Padahal, jika dibandingkan, abad yang lalu, kita telah menyaksikan kemajuan yang menakjubkan dalam hal penegakan HAM dan pembangunan manusia.

Standar Ganda

Penyebab pertama mengapa pelanggaran terus terjadi adalah: masif dan tak terkendalinya pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia saat ini tak lepas dari adanya standar ganda yang diterapkan oleh negara-negara pemilik hak veto di PBB. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis dan Inggris.

Standar ganda negara-negara tersebut telah membuat gagalnya berbagai usaha perdamaian yang disponsori PBB. Standar ganda di sini, terkesan di satu sisi (Amerika, China, Rusia, Prancis dan Inggris) itu mendukung adanya perdamaian, tapi di sisi lain mereka juga menyokong adanya peperangan dan memveto usaha damai internasional.

Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia. Keberadaan hak veto saat ini banyak mendapat kritikan dari masyarakat internasional karena telah disalahgunakan untuk kepentingan negara pemegang hak veto.

Salah satu contoh penyalahgunaan hak veto dapat dilihat pada kasus jatuhnya pesawat Malaysia Airlines di Ukraina. Rusia menjatuhkan veto terhadap draf resolusi No. S/2015/562 yang berisi tuntutan untuk membentuk lembaga peradilan khusus untuk menyelidiki kasus jatuhnya pesawat tersebut, sehingga Piagam tersebut tidak dapat diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB. Contoh lain, penyelesaian konflik Israel-Palestina. Tercatat tidak kurang 20 kali Amerika memveto keinginan Palestina untuk merdeka yang membuat nasib bangsa dan negara Palestina terus terkatung-katung.

Prinsip Persamaan

Keberadaan hak veto tersebut tentu bertentangan dengan prinsip persamaan kedaulatan. Prinsip persamaan kedaulatan menempatkan semua negara anggota PBB dalam kedudukan yang sama, baik dari segi hak dan kewajiban. Adanya hak veto membuat kelima negara anggota tetap DK PBB seakan memiliki kedaulatan yang lebih dibandingkan dengan negara anggota lainnya. Mereka memiliki hak yang melebihi negara-negara anggota PBB lain.

Penyebab kedua, lamban dan tak berdayanya hukum internasional dalam mengambil sikap untuk menghukum si pelanggar HAM. Memang mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat berdasarkan instrumen hukum internasional telah dilakukan oleh PBB dengan membentuk pengadilan pidana baik yang bersifat ad hoc seperti Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).

Sedangkan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yaitu International Criminal Court (ICC). Kesemua lembaga HAM Internasional dan prosedur yang harus ditempuh tampaknya terlalu panjang dan berliku. Lebih dari itu tidak cukup “berwibawa” dan dihormati oleh negara bandel seperti Israel. Atas dasar itulah penulis sepakat dengan Sekjen PBB Gutteres, bahwa Deklarasi HAM 1948 perlu ditinjau ulang dengan mereformasi sistem dan prosedurnya agar tidak bertele-tele. Dan tak kalah penting adalah adanya komitmen dan political will seluruh anggota PBB untuk mendukung penegakan hukum terhadap negara pelanggar HAM.

Negara-negara dengan hak veto di PBB saatnya menggunakan hati nurani di dalam penggunaan haknya dengan orientasi dan dedikasi demi perdamaian dunia agar Bumi makin damai. Bukan kepentingan politik negara yang merugikan perdamaian dan menciptakan kesenjangan kian jembar di antara negara-negara di dunia.

Sumber : https://opini.harianjogja.com/read/2023/11/28/543/1156384/opini-reviu-ulang-deklarasi-ham

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-22 09:17:372024-10-22 09:17:37Reviu Ulang Deklarasi HAM

Tantangan Bank Rakyat

20/10/2024/in Opini, Publikasi 2023, Suara Merdeka /by NewsUAD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara Merdeka (22 November 2023)

Sukardi

YOGYAKARTA, kedu.suaramerdeka.com – Rentenir merupakan usaha pengelolaan jasa keuangan illegal dengan beban bunga tinggi atas angsuran pengembalian yang bentuknya harian atau mingguan. Debitur yang tidak mampu membayar angsuran, dikenai pinalti tambahan beban angsuran, semakin banyak menunda pengembalian pinjaman semakin berat denda yang dikenakannya. Akibatnya, debitur yang bermasalah pengembalian angsuran bisa terkena beban yang berlipatganda. Rentenir berdalih menolong mengatasi permasalahan keuangan, tetapi dengan memberi beban bunga pengembalian yang tinggi, istilah orang Jawa ”nulung tapi menthung” (membantu sekaligus memukul).

Rentenir sering disebut lintah darat karena lintah pekerjaannya menghisap darah. Semakin lama dekat pada lintah, semakin banyak darah yang dihisap. Lintah darat penghisap dana masyarakat yang tinggalnya di darat. Rentenir pada umumnya dikelola oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan masyarakat, memahami kehidupan masyarakat bawah yang banyak mengalami permasalahan keuangan dan mampu membangun kesan bahwa ia mampu memberi solusi yang simpel, cepat atas persoalan keuangan yang dihadapi masyarakat.

Terbukti banyak warga yang terpikat. Pada tahun-tahun terakhir ini di berbagai daerah di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat banyak warga yang terjerat menjadi korban rentenir (pinjol) ilegal. Bank rakyat atau bank yang memiliki misi membantu rakyat kecil di pedesaan dan di daerah pinggiran termarjinalkan. Mau meringankan beban masyarakat, mau membantu menyiapkan modal usaha, dan mau mengangkat perekonomian masyarakat tetapi karyawannya sibuk.

Mereka padat agenda kerja di kantor, banyak pekerjaan yang menunggu membuat tidak lagi sempat blusukan ke pasar bertemu pedagang kecil, tidak lagi ke kampung-kampung membahas persoalan kesulitan perekonomian masyarakat kelas bawah. Mereka mengalami keterbatasan waktu untuk bergulat dengan masyarakat bawah yang terus dililit persoalan keuangan. Disamping itu, bank resmi tidak mungkin mencairkan pinjaman masyarakat tanpa prosedur administrasi dan persyaratan yang pasti.

Belum Mampu

Baitul Mal wa Tamwil (BMT) pun masih belum bisa memenuhi misinya. Sejak awal BMT ingin menghilangkan lintah darat di masyarakat. Lembaga ini, yang banyak keluar masuk ke lapangan, mengunjungi pedagang kecil, diharapkan menjadi pionir kuat mengatasi persoalan keuangan ummat.

Ternyata, mereka tetap belum bisa mengatasi keganasan rentenir. Bahkan pada BMT pun tidak bisa memberi pinjaman calon nasabah yang bermasalah yang tidak memiliki kemampuan angsuran. Mestinya BMT memiliki baitul mal, media penampung dana zakat, infak dan shodaqoh, sebagai dana sosial, diperuntukkan menolong umat lemah yang terlilit hutang dan benar benar tidak mampu mengembalikan pinjaman. Tampaknya BMT belum mampu menyediakan dana untuk segmen terakhir ini.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), semua mencairkan dana ke masyarakat selalu diawali dengan analisis kebutuhan dan kemampuan calon debitur. Tentu membutuhkan waktu dan selalu mempertimbangkan secara rasional kemampuan mengangsurnya. Rentenir tidak mempertimbangkan analisis kemampuan angsuran, rentenir secara cepat dapat mencairkan dana pinjaman. Mereka lebih cepat dan ”mudah” memberi pinjaman. Inilah tantangan BMT, BPR dan bank resmi lainnya, membantu masyarakat keluar dari ikatan rentenir.

Sumber : https://kedu.suaramerdeka.com/pendidikan/2110953024/tantangan-bank-rakyat

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png 0 0 NewsUAD https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png NewsUAD2024-10-20 10:00:362024-10-19 10:11:23Tantangan Bank Rakyat
Page 4 of 31«‹23456›»

TERKINI

  • IMM FEB UAD Gelar Pelatihan BETA05/06/2025
  • IMM PBII Gelar Diskusi Sigma dalam Semarak DAD 202505/06/2025
  • IMM Buya Hamka UAD Adakan Kegiatan Ngaji Berfaedah dan Al-Kahfi Day05/06/2025
  • Berinovasi Melalui Seminar Nasional “Innovation in Action”05/06/2025
  • Sumpah Dokter Periode II FK UAD 2025 Luluskan Dokter Baru05/06/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa FK UAD Raih Juara 3 Nasional Solo Pop Porseni 202504/06/2025
  • Kejutan Manis Tim Futsal UAD: Raih Juara 1 TUN FC 202504/06/2025
  • UKM Basket Putra UAD Juara 1 pada Kompetisi GBC 202504/06/2025
  • Mahasiswa UAD Juara 2 Lomba Desain Nasional03/06/2025
  • Mahasiswa FAI UAD Raih Juara 3 Lomba Qiroatul Akhbar02/06/2025

FEATURE

  • Memahami Social Media Insight05/06/2025
  • Menerapkan Flipped Classroom untuk Menjadi Guru Profesional05/06/2025
  • Kisah Asna Adira: Atasi Kendala Skripsi hingga Raih Predikat Lulusan Terbaik05/06/2025
  • Pentingnya Memahami Tantangan dan Tanggung Jawab Guru05/06/2025
  • AI dan Etika Menulis Ilmiah05/06/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top