Sebelas Institusi Lokal Dukung UAD Jadikan Jamu-Spa sebagai Ikon Yogyakarta
“Ada 11 lembaga yang mendukung dan akan terus bertemu secara rutin membahas langkah-langkah mewujudkan Yogyakarta sebagai kota jamu-spa,” kata Kintoko, ketua panitia seminar internasional dengan topik “Herbal Medicines Industrialization as Complementary Therapy on Natural Disasters” dan lokakarya jamu-spa dengan topik “Yogyakarta Istimewa Menuju Kota Jamu-Spa” di Royal Ambarrukmo Hotel, Rabu (7/1/2015) lalu.
Pihak yang hadir dalam lokakarya ini antara lain dari Dinas Pariwisata, Kesehatan, Perdagangan dan Perindustrian, Pertanian, Pendidikan, dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan. Selain itu, turut hadir Paguyuban Produsen Jamu DIY, Assosiasi Spa Theraphy Indonesia (ASTI) DIY, Ikatan Apoteker Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan (UAD), serta Fakultas Farmasi UAD.
Menurut Kintoko, Yogyakarta sangat kaya ramuan dan tanaman berkhasiat obat yang sudah digunakan oleh masyarakat secara turun temurun. Kota gudeg ini juga memiliki kekayaan aroma terapi yang dapat digunakan sebagai produk spa. Sayangnya, potensi ini belum dikelola secara baik dan di-brand secara khusus sebagai nilai jual tersendiri.
“Kita akan ada sekretariat bersama. Sebanyak 11 lembaga ini akan membahas konsepnya secara matang dan jenis produk yang menjadi ciri khas jamu-spa Yogyakarta.”
Produk tersebut akan diluncurkan secara resmi bersamaan dengan deklarasi Yogyakarta Kota Jamu-Spa pada Januari 2016 mendatang. Semua itu tidak terlepas dari peran Fakultas Farmasi. Mengenai penyusunan konsep dan implikasinya, sudah dibahas dengan berbagai pihak.
Tujuan lain diadakannya lokakarya tersebut adalah untuk menggelorakan konsumsi jamu tradisional dan spa. “Kami ingin warisan leluhur dijaga dan diberdayakan. Selain itu juga mengangkat budaya jamu dan spa asli Yogyakarta, bukan khas daerah lain,” kata Ketua DPD ASTI, Lastiani Warih Wulandari, dalam acara yang menghadirkan narasumber ahli obat-obatan tradisional asal Tiongkok dan Thailand itu.
Menurut Wulan, sebagai kota wisata dan budaya, Yogyakarta memiliki daya lain yang potensial untuk dikembangkan, yaitu spa. Selama ini, spa belum mengadopsi nilai-nilai luhur peninggalan Keraton Mataram.
Tercatat, ada sekitar 200 spa di Yogyakarta. Dari jumlah itu, hanya 30 persen saja yang mengadopsi nilai-nilai lokal wisdom, seperti penggunaan bahan terapi, pengelolaan manajerial spa, dan pakaian seluruh pegawai spa.
“Jika Bali memiliki spa yang khas, Yogyakarta sudah selayaknya turut mengembangkannya. Seluruh bahan terapi, metode, pengelolaan, dan pakaian yang digunakan terapi serta pegawai harus mengadopsi lokal wisdom,” papar pemilik Spa Putri Kedaton Group ini.