Magot budi daya Laboratorium Pengelolaan Sampah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Murtigading, Bantul, Yogyakarta (Foto: Istimewa)
Rudi, salah satu warga Dusun Sanggrahan yang juga mantan mahasiswa jurusan Peternakan, mengungkap pembudidayaan magot bermula dari adanya prakarsa dirinya dan warga sekitar yang jengah dengan masalah sampah yang tak kunjung usai. Magot sebagai salah satu ekosistem pengurai sampah tercepat, menjadi solusi yang masyarakat Sanggrahan gunakan sebagai alat untuk mengatasi timbunan sampah rumah tangga yang tak ada habisnya itu. Pembudidayaan magot ini juga mendapat dukungan serta dampingan dari salah satu dosen Program Studi (Prodi) Manajemen Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Aditya Rechandy Christian, S.M., M.M.
Staf Lurah Dusun Sanggrahan, Terina, mengungkapkan budi daya magot sebelumnya sudah terlaksana di desanya, tetapi masih dalam skala kecil. Pembudidayaan ini baru berjalan kurang lebih satu tahun.
“Pembudidayaan magot memang menjadi salah satu bentuk kolaborasi yang dicanangkan oleh Dusun Sanggrahan, Kelurahan Murtigading, dengan UAD dalam pengembangan sarana Laboratorium Sampah Terpadu. UAD sebagai model kolaborasi sejauh ini sudah melaksanakan perannya, misalnya menyelenggarakan berbagai pelatihan,” tambah Terina.
Lebih lanjut, Rudi menjelaskan tentang jenis-jenis sampah. “Sampah rumah tangga terdapat dua macam, organik dan anorganik. Sampah organik berupa dedaunan yang sangat mudah terurai, sedangkan anorganik menjadi salah satu sampah yang sulit hancur.”
Sampah organik dapat diolah dengan komposter, dan sisa sayuran seperti bunga kol (bonggolnya) yang dicacah halus untuk menjadi kompos atau pupuk tanaman. Sisa dapur ini biasa diolah dengan alat berupa losida (lodong sisa dapur) yang berupa paralon untuk mengurai sisa-sisa sampah atau limbah dapur.
Berkenaan dengan magot, Rudi mengatakan, “Agar bisa mengundang lalat BSF, dapat dipancing dengan buah-buahan yang diletakkan di atas ember tumpuk, kemudian lalatnya bertelur, dan diberikan makanan untuk magot sesuai takarannya.”
Satu kilogram sampah dapat cepat diurai dengan 3 kilogram magot berdurasi 30 menit dengan perbandingan 3 bulan jika menggunakan komposter. Hasil penguraian sampah ini menghasilkan lendi (sisa-sisa cairan yang dikeluarkan oleh magot) yang dapat digunakan untuk pupuk cair. Kemudian, sisa-sisa magot tersebut diolah menjadi media tanam dan magotnya difungsikan sebagai makanan lele dan ayam yang dipanen dalam 15–20 hari. Hasil panen magot memiliki kandungan protein tinggi, yang sangat dibutuhkan untuk hewan-hewan ternak.
“Sejauh ini, pembudidayaan magot mendatangkan keuntungan untuk warga sekitar dan sudah ada kerja sama dengan Guwo Sari Training Center (GSTC) dalam usaha memasarkan produk dari olahan magot,” ungkap Terina.
“Tak hanya berfokus pada pembudidayaan magotnya saja, ada pula eco enzyme yang diolah dari sisa-sisa sampah dapur dengan perbandingan 7:3:1 (air, sisa dapur, dan tetes tebu atau gula aren). Model ini disebut dengan fermentasi yang dilakukan selama tiga bulan, yang dapat menghasilkan produk berupa sabun, hand sanitizer, dan desinfektan,” sambung Rudi.
Pengembangan Laboratorium Sampah Terpadu UAD dengan Dusun Sanggrahan dalam pembudidayaan magot tersebut, akhirnya tak hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga dapat mengurangi volume sampah yang dihasilkan oleh warga masyarakat di sana.
Dengan adanya magot ini, ke depannya diharapkan dapat menjadi usaha komersial, integrasi lahan baru, dan fokus pada makanan unggas dan ternak. Meski untuk saat ini, pembudidayaan magot masih berfokus untuk perikanan, makanan ternak, serta unggas. Sebab, seperti tujuan awal diadakannya program ini, yaitu untuk pengurangan volume sampah pada tingkat pedukuhan. (nad)