Kontribusi Keilmuan Ulama dalam Peradaban Indonesia
“Mengapa sains Islam yang dulu pernah mengungguli prestasi sains di peradaban Yunani, Persia, dan India, tetapi sekarang justru ketinggalan? Prof. Ahmad Hasan menulis dalam sebuah makalah yang berjudul Factor the Behind the Decline of Islamic After the Sixteenth Century, terdapat asumsi yang tidak benar terkait sains di dalam Islam muncul akibat Imam Ghazali mengkritik filsafat. Padahal kenyataannya, sesudah Imam Ghazali mengkritik filsafat Yunani pun sains dalam Islam tetap berjalan. Terbukti bahwa seorang astronot bernama Ibnu Syatir sampai abad ke-15 masih bertahan dengan astronomi pusat studinya dan itulah yang memengaruhi Copernicus, Bruno, Galileo Galilei, yang menemukan teori heliosentris. Jadi sains tidak mati dengan kritik Imam Ghazali.”
Kutipan di atas merupakan salah satu hal yang disampaikan oleh Prof. Dr. K.H. Hamid Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil. selaku Rektor Universitas Darussalam Gontor pada Tablig Akbar Ramadan di Kampus (RDK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang diselenggarakan oleh Masjid Islamic Center UAD. Acara ini disiarkan secara daring melalui platform Zoom Meeting dan kanal YouTube Masjid Islamic Center UAD, juga secara luring bertempat di Masjid Islamic Center UAD pada Sabtu, 16 April 2022.
Hamid memaparkan, “Empat faktor kekuatan peradaban Islam yaitu lembaga pendidikan dan penelitian, kekuasaan, ekonomi, dan stabilitas politik. Ketika sebuah peradaban di bangun maka faktor kompetensi sumber daya manusia yang harus ada yaitu konsep ilmu seperti halnya kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi, konsep sosial seperti halnya kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, serta konsep hidup seperti kesanggupan berjuang untuk hidup.”
Dari Tafaqquh Al-Qur’an menjadi tiga gerakan peradaban yaitu gerakan pendidikan dan keilmuan, gerakan politik, serta gerakan dakwah dan ekonomi. Al-Qur’an apabila diklasifikasikan menjadi syariat (ilmu), akidah (iman), dan akhlak (amal), tidak ada pemisahan di antara ketiga tersebut. Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci terkadang disebut makdubah yaitu makanan. Makdubah ketika dimakan menjadi adab dalam diri seseorang yang isinya ilmu, iman, dan amal. Sehingga orang yang berilmu, beramal, dan beriman ketika jumlahnya dari individu menjadi masyarakat, masyarakat menjadi umat, hingga menjadi peradaban.
Lebih lanjut Hamid menjelaskan sejarah kedatangan Islam di nusantara yaitu dimulai pada abad 8–9 Masehi telah terdapat perdagangan internasional orang Arab, Turki, Persia, ke Cina dan Asia Tenggara, tetapi Islam belum tersebar. Islam datang ke nusantara sejak abad 12–13 Masehi dibawa oleh penduduk dunia Islam yang melakukan migrasi karena beberapa hal yaitu Perang Salib, pemberontakan di negeri-negeri Islam, perselisihan mazhab, dan jatuhnya Baghdad tahun 1258 sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah. Pada abad itu pula tidak sedikit dari tarekat-tarekat sufi ini yang mengikat hubungan dengan organisasi dagang dan pengrajin di berbagai negeri Islam, serta menguasai kegiatan pelayaran di Afrika Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kedatangan imigrasi Islam membawa beberapa aktivitas seperti komunitas-komunitas Islam, terjadi perkawinan pedagang asing dengan perempuan setempat, pembukaan lembaga pendidikan Islam, serta adanya kegiatan dakwah para mubalig.
“Periode islamisasi nusantara dibagi menjadi tiga yaitu periode pertama abad 13–14 mengajarkan syariah, periode kedua terjadi abad 15–18 akhir tersebarnya tasawuf. Melalui tasawuflah masuknya semangat intelektual dan rasional yang tinggi ke dalam pikiran masyarakat waktu itu, ia membangkitkan semangat intelektualisme dan rasionalisme yang tidak wujud pada era pra-Islam. Periode ketiga terjadi abad 18–19 ditandai dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan seperti lahirnya pengajian di masjid, lahirnya pesantren, dan madrasah,” ucap Hamid.
Di akhir, Hamid menyampaikan bahwa individu yang beradab akan menghasilkan komunitas beradab, lalu dari komunitas tersebut menghasilkan masyarakat beradab, maka akan menghasilkan bangsa yang beradab hingga menghasilkan peradaban Islam. Peran ulama membangun peradaban sangat sentral, apabila ulama rusak maka masyarakat pun akan ikut rusak, apabila ulama sehat dan benar maka masyarakat pun akan sehat, dan ulama tersebut akan terinstitusikan. (frd)