Nabi Ibrahim: Tentang Kurban dan Sosok Panutan
Salah satu kisah dalam Al-Qur’an yang banyak memberikan keteladanan terdapat di Surah As-Saffat Ayat 101–110. Surah ini menceritakan sosok Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih anak tercinta yang telah dinanti-nanti selama 86 tahun lamanya. Anak itu bernama Nabi Ismail a.s. yang sampai saat ini kisah keduanya dikenal dengan prosesi kurban. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kurban sendiri ialah persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta, yang disembelih pada hari Lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan muslim kepada-Nya.
Pembahasan tersebut, disampaikan pada Kajian Rutin Ahad Pagi Masjid Islamic Center (IC) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tanggal 4-6-2023 lalu bersama pemateri Ustaz Dr. Ustadzi Hamzah, M.Ag. Kajian yang berlangsung kurang lebih selama 1 jam ini membahas “Istikamah Meneladani Nabi Ibrahim Alaihi Salam.”
“Kisah dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat Ayat 101–110 sudah sangat sering kita semua dengar, tetapi tetap penting dikaji dan dibahas kembali agar sama-sama mendapatkan ilmu dan wawasan baru,” tuturnya.
Kisah masyhur yang datang dari Nabi Ibrahim itu sangat menyentuh hati. Bagaimana tidak? Seorang Nabi diuji keimanannya oleh Allah Swt. harus patuh untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail. Penantian panjang mengharapkan kehadiran seorang anak, ternyata setelah remaja Allah perintahkan untuk menyembelihnya.
Bukan Nabi Ibrahim namanya, jika tidak patuh dengan perintah Allah. Dengan hati yang penuh akan keikhlasan, rida, dan keyakinan bahwa perintah ini merupakan ujian keimanan yang diberikan Allah Swt. kepadanya, hal itu pun tetap dilakukannya. Ia patuh dan yakin bahwa Allah Swt. tidak akan menguji di luar batas kemampuan hambanya. Setelah dikuatkan hatinya, seorang bapak dan anak ini melakukan apa yang diperintahkan Allah Swt. Tanpa ada pikiran buruk sedikit pun. Hal yang luar biasa terjadi. Allah Swt. ganti sesembelihan itu dengan sebuah domba.
“Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa apa pun yang Allah Swt. perintahkan tidak mungkin mencelakakan manusia. Perlu diketahui, arti istikamah bukan hanya sekadar memiliki sikap ajeg atau melakukan sesuatu hal secara berkelanjutan. Namun, lebih dari itu. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-Ahqaf ayat 13, yang berbunyi, ‘Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah Swt., kemudian mereka tetap istikamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita’. Artinya, bahwa seseorang yang memiliki istikamah dalam hatinya akan selalu memiliki sikap berkelanjutan untuk mengabdi hanya kepada Allah,” ucap Ustaz Ustadzi.
Jadi, apa pun yang kita lakukan hendaknya harus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, dapat dimulai dari diri sendiri bahwa apa yang kita miliki sekarang yang berupa materi maupun kenikmatan lainnya, seperti kesehatan, harus selalu digunakan hanya untuk Allah Swt. yang sebaik-baik pemberi nikmat.
Terakhir, ia mengatakan, “Ujian kita belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ujian Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka berdua tetap melaksanakan perintah Allah dengan istikamah tanpa mengeluh sedikit pun. Maka dari itu, mari pergunakan segala nikmat dari Allah Swt. dengan baik sesuai porsinya. Ingat hanya untuk Allah Swt. kita hidup dan mengabdi. Jangan sampai nikmat yang telah diperoleh dengan susah payah hanya membuat Allah murka dan tidak rida dengan kita. Semoga kita semua diberikan keistikamahan oleh Allah Swt. dan menjadi hamba yang taat, sabar, dan pandai bersyukur.” (ctr)