Oleh: Sudaryanto, M.Pd.
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Ahmad Dahlan;
Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, China
Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari Kongres Bahasa Indonesia X pada 28-31 Oktober lalu di Jakarta ialah memantapkan program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Sebagai seorang pengajar BIPA, saya sangat mengapresiasi adanya rekomendasi tersebut. Pertanyaannya, apa dan bagaimana cara agar kita dapat memantapkan program BIPA, khususnya di luar negeri, seperti di negara-negara ASEAN dan China?
Ira Hapsary (2013) dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyampaikan, pengajaran BIPA sudah dilaksanakan di seluruh negara ASEAN, baik di KBRI, universitas, maupun lembaga kursus. Sekadar contoh, di Myanmar ada Sekolah Indonesia KBRI Yangoon, dan di Thailand ada 6 universitas yang telah mengajarkan bahasa Indonesia, yaitu Mae Fah Luang University, Prince Songkhla University, dan Wailalak University.
Selanjutnya, di Laos ada kursus bahasa Indonesia di KBRI Vientiane, dan di Filipina ada KBRI Manila, Atemeo University, dan Sekolah Indonesia Davao, KJRI Davao. Kesemua itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memiliki peluang untuk dipelajari oleh negara lain, khususnya di lingkup ASEAN. Terlebih, posisi geopolitik Indonesia di lingkup ASEAN cukup besar, mengingat jasa Indonesia yang luar biasa terhadap perkembangan ASEAN saat ini.
BIPA di China
Di atas sudah diulas mengenai perkembangan BIPA di negara ASEAN, lantas bagaimana perkembangan BIPA di China? Di tempat saya mengajar saat ini, Guangxi University for Nationalities (GXUN) Nanning, China, pengajaran BIPA cukup berkembang. Ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, tenaga pengajar BIPA. Materi apapun dapat dikemas dengan mudah dan menyenangkan apabila tenaga pengajar BIPA kreatif.
Kreativitas tenaga pengajar BIPA tentu muncul tidak secara instan. Di sinilah letak pentingnya pelatihan, workshop, temu ilmiah, atau srawung antarpengajar dan penggiat BIPA. Di Bali, ada APBIPA yang diketuai oleh Nyoman Riasa. Sementara itu, di tiap-tiap universitas ada pula tim pengajar BIPA. Belum lagi lembaga kursus yang membuka jasa layanan BIPA. Maka, alangkah baiknya jika semua pengajar BIPA dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Kedua, aktivitas pembelajaran BIPA di kelas. Pengalaman saya menunjukkan, permainan di kelas diperlukan untuk membuat siswa senang belajar dan tidak bosan. Misalnya, sebelum menyampaikan materi menyimak lagu bahasa Indonesia, mahasiswa saya suruh untuk melakukan senam otak (brain gym). Hasilnya mereka pun senang dan bisa tertawa. Dengan begitu, pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan bagi saya dan mereka.
Ketiga, bahan ajar BIPA. Ada komentar bahwa mengajar BIPA di dalam negeri cukup mudah, mengingat semua hal dapat langsung dijadikan sebagai bahan ajar. Misalnya, mahasiswa asing ingin belajar tentang transportasi, pengajar BIPA cukup mengajak mahasiswa ke terminal atau stasiun. Tapi ceritanya lain jika mengajar BIPA di luar negeri. Semua bahan ajar perlu dipersiapkan sejak di Tanah Air, dan bila mungkin dimodifikasi dengan kondisi di luar negeri.
Bahkan, kegiatan BIPA bisa berupa memasak makanan khas Indonesia. Beberapa hari lalu, saya mengajak mahasiswa saya untuk membuat makanan perkedel. Mereka pun antusias sekali, mulai dari mengupas kentang dan menggorengnya, menghaluskan dan mencampuradukkan kentang dengan bumbu, hingga membikin perkedel. Komentar mereka cukup singkat: enak! Inilah salah satu keasyikan mengajar BIPA yang saya rasakan.
Dua Usulan
Melalui artikel ini, saya ingin mengusulkan dua hal guna menindaklanjuti program BIPA sebagai salah satu rekomendasi dari KBI X. Pertama, perlu adanya pembukaan, penambahan, dan pengembangan pusat-pusat pengajaran BIPA di luar negeri. Hal itu perlu dilakukan, antara lain, mengingat pentingnya menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu alat diplomasi budaya Indonesia dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara lain di dunia.
Kedua, perlu adanya penyiapan tenaga pengajar dan bahan ajar BIPA yang memadai untuk pengajaran bahasa Indonesia bagi orang asing, termasuk warga negara ASEAN. Meskipun belum memiliki data yang akurat, tapi saya yakin peminat bahasa Indonesia di luar negeri semakin lama semakin bertambah. Sekadar contoh, jumlah mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia GXUN pada angkatan 2012 ada 19 orang, dan angkatan tahun ini bertambah jadi 24 orang.
Akhirnya, melalui pemantapan kinerja program BIPA di luar negeri, saya cukup optimis bahwa bahasa Indonesia akan banyak dipelajari oleh orang asing. Namun, rasa optimis tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan berbagai ikhtiar yang mendukung seperti dua usulan di atas. Hemat saya, program BIPA juga diarahkan untuk menjadikan bahasa Indonesia lebih bermartabat di negeri sendiri, serta berharga di mata orang asing. Setujukah Anda?[]