Khutbah Jumat oleh Yusuf Hanafiah, S.Pd.I., M.Pd. di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Lusi)
Mujaharah adalah sifat yang menampakkan kemaksiatan atau membuka aib sendiri dan merasa bangga atasnya. Salah satu contoh mujaharah yaitu yang sedang marak khususnya di wilayah Jogja terkait penyebaran miras.
Pengedaran miras yang menjamur bahkan beberapa ilegal merupakan praktik bagian mujaharah secara terang-terangan, tentu hal ini menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Praktik mujaharah sangat merugikan berbagai pihak, bagi pemodal, pemilik toko/outlet, pengedar (jasa delivery order), pembeli/konsumen, dan para oknum/para pihak yang melindungi aktivitas peredaran miras tersebut. Hal ini sudah pasti akan merusak moral generasi bangsa.
Berdasarkan Kitab Nadhrotun Naim jilid 11 halaman 5.555, disebutkan bahwa ada tiga tipologi perilaku mujaharah. Pertama, pelaku maksiat akan cenderung percaya diri dalam berbuat maksiat secara terbuka (tidak memiliki rasa malu). Kedua, membuka aib diri sendiri kepada khalayak. Ketiga, kecenderungan rasa bangga terhadap dosa yang telah diperbuat.
Kemudian imbas dari perbuatan mujaharah ada empat, yaitu perbuatan tersebut akan membuat Allah murka, pelaku tidak akan mendapat ampunan dibuktikan dengan hadis kullu ummatin muaffan illal mujahirin yang artinya “semua umat Nabi Muhammad berpotensi diampuni dosa-dosanya kecuali orang-orang yang gemar bermujaharah”. Khalayak umum akan mengucilkan para pelaku mujaharah, serta menjadi bahan gunjingan oleh khalayak umum.
Perilaku mujaharah merupakan hal yang tak lumrah di kalangan masyarakat. Kaum muslimin hendaknya peduli terhadap hal-hal mujaharah, karena dikhawatirkan akan muncul suatu opini kolektif bahwa perilaku tersebut normal, juga dikhawatirkan akan muncul pembenaran dengan dalih hak asasi manusia (HAM) terkait kebebasan berekspresi, dan meningkatkan roda perekonomian.
Upaya untuk menghindari hal-hal mujaharah bagi umat muslim adalah dengan menghidupkan spirit budaya amar makruf nahi munkar sebagaimana firman Allah pada Surah Ali Imran: 104 yang artinya “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Amar makruf nahi munkar dapat dilakukan sesuai dengan ilmu yang dimiliki dan dapat dilakukan dengan bervariasi, hal tersebut tidak selamanya disampaikan di atas mimbar saja. Contoh bagi mahasiswa dengan membuat konten media sosial tentang kontra maksiat. Bagi dosen dapat dilakukan dengan mendidik mahasiswa sesuai amar makruf nahi munkar. Bagi ahli hukum, yakni dengan menegakkan hukum sebaik-baiknya.
Apabila kemaksiatan didiamkan maka umat muslim patut merenunginya, sesuai dengan firman Allah pada Surah Al-Anfal: 25 yang artinya “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kemaksiatan yang didiamkan berpotensi merugikan orang beriman dan orang lain yang dapat berupa bencana. Oleh karena itu, perlu bagi seorang muslim untuk menjauhi perilaku mujaharah, terus menghidupkan budaya amar makruf nahi munkar, dan saling menasihati dengan kapasitas kemampuan masing-masing.
Hal ini disampaikan oleh Yusuf Hanafiah, S.Pd.I., M.Pd. selaku Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada khutbah Jumat 1 November 2024 bertepatan dengan 29 Rabiulakhir 1446 H bertempat di Masjid Islamic Center UAD. (Lus)
uad.ac.id