Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U. dalam Stadium General Darul Arqam Madya PC IMM Djazki Yogyakarta (Dok. Istimewa)
Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta (PC IMM Djazki Yogyakarta) menyelenggarakan studium generale Darul Arqam Madya (DAM) dengan pemateri Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan. Tema DAM yang diusung tahun ini adalah “Fresh Ijtihad: Reposisi Gerakan Intelektual Islam Progresif”. Kegiatan diselenggarakan di Aula Islamic Center Kampus IV UAD, Jln. Ringroad Selatan, Tamanan, Bantul, Yogyakarta, Rabu 22 Mei 2024.
Acara dimulai dengan pembukaan, kalam Ilahi, menyanyikan Mars Muhammadiyah, Mars IMM, serta penyampaian beberapa sambutan. Pada kesempatan sambutan, Aris Madani, S.Pd.I. selaku Ketua Pimpinan Daerah Kota Yogyakarta berpesan kepada seluruh peserta DAM untuk memanfaatkan kesempatan dalam setiap forum dengan sebaik mungkin mulai dari memperhatikan pemaparan materi hingga berdiskusi niatkan betul-betul untuk menggali wawasan secara mendalam.
Mohammad Haidar Albana, S.I.Kom. selaku Ketua PC IMM Djazki Yogyakarta turut menyampaikan sambutannya. Menurut Haidar, DAM ini merupakan bentuk naik kelas kader IMM menuju kaderisasi jenjang yang lebih tinggi. Menjadi kader Madya adalah sebuah pengabdian intelektual dan tenaga dalam mengurusi IMM ke depannya agar lebih baik dan hebat. Lalu, secara substantif tema yang diangkat merupakan rekonstruksi pemikiran keislaman kader-kader IMM Djazki khususnya, dan IMM pada umumnya, agar menjadikan Islam sebagai alat perubahan sosial dalam membangun peradaban semesta dan kemanusiaan.
Acara dilanjutkan dengan sesi penyampaian keynote speakers oleh Drs. M. Afnan Hadikusumo. Ia menyatakan bahwa tema yang diangkat dalam DAM ini sangat bagus dan menarik. Menurutnya, mahasiswa memerlukan ijtihad agar bisa memandang Islam lebih luas dan progresif dalam menjawab tantangan zaman. Ia menambahkan, “Saya bangga melihat kader IMM terkait belajar dan berkarya, agar ke depannya bisa menjadi penerus kepemimpinan umat dan Muhammadiyah di masa depan.”
Kegiatan tersebut turut menghadirkan Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U. sebagai narasumber dipandu oleh Luluk Latifah selaku moderator. Prof. Munir memulai pembahasan dengan menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan secara mutlak dan tunggal. Umat Islam tidak boleh berhenti berpikir karena dunia Islam harus terus menerus bertahan di tengah perubahan zaman. Contoh dari penafsiran Al-Qur’an secara tunggal adalah terjadinya fenomena demo besar-besaran pada tahun 2016. Saat itu, umat Islam justru membuat Tuhan yang seharusnya bersifat gaib menjadi bersifat kamanungsan. Tentu ada banyak pendapat yang berbeda pada saat itu. Ia juga menyertakan beberapa contoh lain seperti persoalan memajukan waktu azan dan fungsi sosial ekonomi dari ibadah kurban.
Lebih lanjut, ia menyayangkan bagaimana agama menjadi terlembaga. Banyak ulama hebat dan cerdas tetapi tidak berani tampil berbeda. Tentunya pendapat tersebut juga merujuk pada ulama organisasi Muhammadiyah yang organisatoris. Ia kemudian melanjutkan penjelasannya terkait bagaimana menjadi progresif dengan mengintegrasikan pendekatan irfani dan pemikiran lateral.
Di sela penyampaian materi tentang menjadi progresif, Prof. Munir menyampaikan pemikirannya terkait “Berbagi Kapling Surga”. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus bekerja sama dengan umat agama lain untuk mencapai surga guna menghindari pendapat bahwa surga hanyalah milik umat Islam. Dalam pemaparannya, ia mengajak para peserta untuk membaca pemikiran Daniel Golmen dan Danah Zohar terkait kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional dilakukan dengan menahan nafsu sehingga manusia dapat bersedia untuk berbagi. Sedangkan kecerdasan spiritual harus dipahami bukan hanya sekadar “agama” karena manusia harus berpikir unitif. Hal ini berarti bahwa berpikir semesta atau semua hal di dunia ini saling berkesinambungan.
Pada akhir penyampaian materi, Prof. Munir menekankan bahwa Islam harus berfungsi atau bersifat “fungsional”. Memasuki sesi tanya jawab, ia menjelaskan kepada para peserta yang bertanya terkait keadaan sosial yang justru tidak mampu menghadapi berbagai ijtihad yang dihadirkan di hadapan umat Islam. Hal ini berarti umat Islam harus bersikap berani agar dapat berpikir jauh melampaui zaman.
Tak lupa, ia mengapresiasi Muhammadiyah karena dapat mendomestikasi Islam. Islam dahulu dikenal dengan hal mistik yang hanya dimiliki sebagian orang. Orang-orang tertentu yang memiliki kemistikan Islam lantas memperjualbelikannya. Kemudian Muhammadiyah hadir dan berhasil menjadikan Islam dapat dimiliki siapapun. Kegiatan diakhiri dengan penutupan dan pengkondisian peserta DAM menuju Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial Yogyakarta untuk mengikuti serangkaian kegiatan DAM selama lima hari kedepan. (zin/lid)
uad.ac.id