
Foto Ilustrasi oleh Ilhamsyah Muhammad Nurdin, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Penulis: Ilhamsyah Muhammad Nurdin (Mahasiswa Magister Psikologi UAD)
Ramadan selalu datang dengan nuansa spiritual yang khas. Bulan ini menjadi momen refleksi, perbaikan diri, dan peningkatan ibadah bagi umat Islam. Namun, sebuah pertanyaan tajam dari Jalaluddin Rumi menggugah kesadaran kita: “Tuhan yang engkau sembah di bulan Ramadan adalah Tuhan yang sama yang engkau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda?” Refleksi ini mengantarkan kita pada perenungan mendalam tentang bagaimana manusia mempersepsi spiritualitas dalam kehidupannya dan bagaimana kita dapat mengantisipasi peralihan dari Ramadan ke bulan-bulan berikutnya tanpa kehilangan semangat ibadah.
Dalam perspektif psikologi, perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Ramadan menghadirkan kombinasi dari aspek spiritual, sosial, dan budaya yang mendorong seseorang untuk meningkatkan ibadahnya. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya. Ramadan menciptakan ekosistem sosial di mana ibadah menjadi norma kolektif, sehingga seseorang lebih mudah terlibat dalam aktivitas keagamaan secara lebih intensif. Selain itu, banyak orang beribadah di bulan Ramadan dengan harapan pengampunan dosa dan perasaan bersalah yang coba ditebus melalui peningkatan aktivitas spiritual. Momentum ini menciptakan suasana yang mendorong individu untuk lebih sadar akan hubungannya dengan Tuhan.
Akan tetapi, setelah Ramadan berlalu, banyak individu mengalami penurunan dalam intensitas ibadah mereka. Hal ini terjadi karena absennya lingkungan yang mendukung, hilangnya pola kebiasaan yang terbentuk, serta kembali munculnya distraksi kehidupan duniawi yang mengalihkan fokus dari ibadah. Setelah sebulan penuh melatih diri dalam disiplin spiritual, seharusnya manusia mampu menjadikan kebiasaan tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai ritual musiman. Jika ibadah hanya dipandang sebagai kewajiban tahunan, maka nilainya tidak akan bertransformasi menjadi karakter yang melekat dalam diri seseorang.
Salah satu alasan mengapa ibadah sering kali menurun setelah Ramadan adalah karena banyak orang hanya berfokus pada aspek ritual tanpa benar-benar memahami esensi spiritualnya. Ibadah yang dilakukan hanya karena dorongan eksternal, seperti suasana Ramadan yang mendukung, cenderung tidak bertahan lama ketika lingkungan berubah. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai external motivation, di mana perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor luar, bukan karena kesadaran intrinsik. Jika motivasi ibadah tidak berasal dari kesadaran diri, maka ketika stimulus luar menghilang, perilaku pun melemah.
Agar ibadah tidak menjadi fenomena musiman yang hanya meningkat di bulan Ramadan dan menurun setelahnya, diperlukan strategi spiritual dan psikologis untuk mempertahankan konsistensi dalam beribadah. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah perspektif tentang ibadah, melihatnya sebagai kebutuhan, bukan hanya kewajiban. Ibadah seharusnya menjadi ekspresi cinta kepada Tuhan, bukan sekadar rutinitas yang dilakukan karena kewajiban tahunan. Dengan memahami bahwa ibadah adalah jalan menuju kebahagiaan dan ketenangan batin, seseorang akan lebih termotivasi untuk menjadikannya bagian dari kehidupannya secara konsisten.
Menjaga kesinambungan ibadah juga dapat dilakukan dengan menetapkan target ibadah yang realistis. Setelah Ramadan, banyak orang kehilangan momentum karena kembali ke pola hidup sebelumnya tanpa adanya rencana spiritual yang jelas. Oleh karena itu, penting untuk membuat komitmen yang dapat dijalankan secara konsisten, seperti menjaga kebiasaan shalat malam meskipun hanya dua rakaat atau tetap melanjutkan tilawah Al-Qur’an secara rutin. Target yang realistis lebih mudah dipertahankan dibandingkan upaya yang terlalu drastis dan sulit dijalankan dalam jangka panjang.
Membangun lingkungan yang mendukung juga menjadi faktor penting dalam menjaga kesinambungan ibadah. Berinteraksi dengan komunitas religius atau memiliki teman yang memiliki semangat spiritual yang sama dapat membantu menjaga semangat ibadah tetap terjaga setelah Ramadan berakhir. Psikologi sosial menunjukkan bahwa perilaku individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika seseorang berada dalam lingkungan yang mendukung ibadah, maka kemungkinan besar ia akan lebih konsisten dalam menjalankan ibadahnya.
Selain itu, menerapkan teknik pengaturan diri dengan membuat jurnal refleksi ibadah dan melakukan muhasabah secara berkala juga bisa menjadi metode efektif untuk memastikan ibadah tetap berlanjut. Jurnal refleksi dapat membantu seseorang melihat perkembangan spiritualnya dari waktu ke waktu, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat ibadahnya meningkat atau menurun. Dengan demikian, seseorang dapat lebih sadar terhadap perubahan dirinya dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga kualitas ibadahnya.
Sebagai bentuk antisipasi dalam meninggalkan Ramadan, seseorang perlu memiliki kesadaran bahwa keberkahan bulan ini bukan hanya ada dalam ritualnya, tetapi dalam perubahan karakter yang dibentuk melalui latihan selama sebulan penuh. Kesungguhan yang dicurahkan dalam Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi kilasan momen, tetapi menjadi awal dari perjalanan panjang dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika kita mampu menjaga kebiasaan baik yang telah dibentuk, maka Ramadan tidak akan menjadi sekadar sebuah perayaan yang datang dan pergi, tetapi akan menjadi titik awal bagi perjalanan spiritual yang lebih mendalam sepanjang tahun.
Pada akhirnya, kita perlu memahami bahwa Tuhan yang kita sembah di bulan Ramadan adalah Tuhan yang sama di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, ibadah tidak seharusnya terikat waktu, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan yang utuh. Transformasi spiritual sejati bukan hanya terletak pada intensitas ibadah di bulan Ramadan, tetapi pada bagaimana kita mempertahankannya sepanjang tahun. Jika Ramadan berhasil mengajarkan kita disiplin, kesabaran, dan ketakwaan, maka sejatinya pelajaran itu tidak boleh berakhir ketika bulan suci berlalu. Kita tidak hanya mencari Tuhan di saat-saat tertentu, tetapi seharusnya selalu bersama-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. (Ilham)
uad.ac.id