• TERKINI
  • UAD BERDAMPAK
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Penyesalan Selalu Datang di Akhir

08/05/2023/in Feature /by Ard

Kajian di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan narasumber Muhammad Sayuti, M.Ed., Ph.D., Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Foto: Istimewa)

Selama ini kita sangat akrab dengan pernyataan bahwa amal itu dilihat dari niatnya, tetapi hal tersebut belumlah cukup. Menurut Muhammad Sayuti, M.Ed., Ph.D., Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam kesempatan ceramah di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, mengatakan bahwa sesungguhnya amal itu juga dilihat dari akhir atau ujungnya. Maksudnya bagaimana?

Suatu fenomena yang sudah melekat di masyarakat jika makin mendekati Hari Raya Idulfitri maka pusat perbelanjaan akan makin ramai. Inilah tantangan bagi umat muslim, apakah di akhir Ramadan makin dekat dengan masjid atau malah semakin dekat dengan mal. Kenikmatan duniawi memang melenakan, sering membuat manusia lupa bahwasanya betapa kesempatan menjumpai Ramadan yang diberikan oleh Allah sungguh berharga.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam ayat Al-Qur’an banyak diulang-ulang tentang penyesalan orang yang sudah meninggal. Kenapa?

“Setiap orang yang sudah wafat itu kecewa, tetapi kecewa dan menyesalnya orang yang sudah sampai ajal sudah berbeda level, tidak seperti kita dulu jika tidak lulus mata kuliah masih bisa mengulang. Sebab, manusia jika sudah ditentukan akhir usianya di dunia maka tidak ada kesempatan untuk mengulang kembali ke dunia,” jelas Ustaz Muhammad Sayuti.

Berkaitan dengan hal tersebut, ia bercerita tentang kisah seorang sahabat Nabi yang selalu salat berjamaah di masjid dan datang jauh lebih awal sebelum waktu salat tiba. Namun, di suatu subuh sahabat Nabi tersebut tidak datang dan ketika Nabi menanyakan keberadaannya kepada para jamaah yang lain tidak ada satu pun yang mengetahuinya.

Singkat cerita, selepas salat Subuh, Nabi ditemani beberapa jamaah lain mengunjungi rumahnya. Ternyata, rumahnya terhitung jauh hingga saat Duha Nabi baru sampai di rumahnya. Saat Nabi mengatakan maksud kedatangannya, alangkah terkejutnya Nabi dan lainnya karena sosok sahabat Nabi yang ia cari baru tadi pagi meninggal dunia.

Kemudian istri sahabat Nabi tersebut berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya ia berteriak 3 kali dengan masing-masing teriakan disertai 1 kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya.”

Rasulullah bertanya, “Apa saja kalimat yang diucapkannya?”. “Di masing-masing teriakannya, ia berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak lebih banyak’,” jawab istri sahabat.

“Pertama, ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh’, kalimat tersebut merupakan bentuk penyesalan mengapa rumahnya tidak lebih jauh sehingga pahala yang ia dapatkan jauh lebih besar lagi, karena ia tahu jika 1 langkah menuju masjid dihitung 1 kebaikan oleh Allah, otomatis makin jauh jarak rumah dengan masjid maka makin banyak pahala yang ia dapatkan,” terang Ustaz Muhammad Sayuti.

Kedua, “Aduh, kenapa tidak yang baru”, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa sahabat Nabi tersebut bersedekah baju bekas pantas pakai kepada tunawisma yang ditemuinya saat menuju masjid. Maka ia menyesal kenapa tidak yang baru dan lebih baik yang ia berikan, tentu pahalanya akan lebih besar.

Ketiga, “Aduh kenapa tidak lebih banyak”, dalam hal ini sahabat Nabi tersebut menyesal mengapa jumlah yang ia sedekahkan tidak lebih banyak lagi.

“Orang meninggal itu muda ya pantas, remaja ya pantas, anak-anak pun juga pantas, apalagi yang tua. Oleh karena itu, mari kita kencangkan ikat pinggang, mari kita manfaatkan sebaik mungkin serta perbanyak sedekah dan yakinlah tidak ada orang yang miskin karena bersedekah. Jangan sampai terjadi penyesalan di akhir hayat,” tuturnya.

Ia juga menegaskan jika bersedekah tidak hanya berbentuk uang, melainkan bisa berupa membersihkan masjid, bekerja, bahkan senyuman pun merupakan bagian dari sedekah. Sangat mudah, bukan? Jadi tinggal konsistensi dalam beramal yang perlu dikuatkan, karena sesungguhnya amal itu dilihat juga dari ujungnya apakah konsisten atau tidak. (SFL).

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-narasumber-Muhammad-Sayuti-M.Ed_.-Ph.D.-Sekretaris-Pimpinan-Pusat-Muhammadiyah-Foto-Istimewa.jpg 720 1600 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-05-08 08:38:392023-05-08 08:38:39Penyesalan Selalu Datang di Akhir

Kaum Milenial Penentu Peradaban Islam Masa Depan

05/05/2023/in Feature /by Ard

Kajian di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan narasumber Ustaz Drs. H. Anhar Anshori, M.S.I., Ph.D. (Foto: Catur Rohmiasih)

Masjid Islamic Center (IC) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan kajian dengan tema “Kaum Milenial sebagai Harapan Penentu Peradaban Islam di Masa Depan”. Tema tersebut dibawakan oleh Ustaz Drs. H. Anhar Anshori, M.S.I., Ph.D.

“Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar milenial? Tentu pikiran kita akan merujuk kepada anak muda yang tidak bisa dipisahkan dari teknologi,” ucap Anhar.

Pertanyaan tersebut disampaikan oleh Anhar yang juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD. Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti milenial ialah orang atau generasi yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an: kehidupan generasi, tidak dapat dilepaskan dari teknologi informasi, terutama internet.

Lekatnya kaum milenial dengan teknologi apakah menjadikan mereka tidak bisa menciptakan peradaban Islam di masa depan? Tentu saja sangat bisa. Namun, sebelum jauh memikirkan hal itu mari kita tengok pemuda di zaman ini. Mereka banyak yang tidak memahami akan syariat yang Allah Swt. turunkan. Malas menjalankan perintah Allah Swt. dan enggan menjalankan sunah Nabi.

Ada 3 upaya yang harus diperbaiki terlebih dulu dari kaum milenial saat ini. Pertama, kaum milenial harus mampu mengupayakan tegaknya tiang agama. Kedua memiliki semangat dan tekad kuat mempelajari syariat Islam. Ketiga, memiliki ilmu pengetahuan yang luas.

Poin pertama harus mampu mengupayakan tegaknya tiang agama. Tiang agama umat Islam ialah salat. Hal ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang berbunyi, “Pangkal atau pokok semua urusan adalah Islam, dan yang menjadi tiang atau penopang tegaknya Islam ialah salat fardu 5 waktu, sedangkan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.” (H.R. Buhkari dan Muslim).

Lebih lanjut, Anhar menjelaskan, “Ibarat sebuah bangunan yang kokoh lagi megah, tetapi jika tiangnya tidak ada maka ia akan roboh. Begitulah kiranya gambaran seorang yang tidak menegakkan salat. Perkara ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi, ‘Barang siapa yang mendirikan salat maka ia menegakkan agama. Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkannya maka ia telah merobohkan agama’.”

Poin kedua memiliki semangat dan tekad kuat mempelajari syariat Islam. Hal ini tidaklah terasa berat bagi seorang muslim karena mempelajari ilmu agama merupakan kewajiban. Sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi, “Mencari ilmu (agama) itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.” (H.R. Ibnu Abdil Barr). Selain itu dalil yang menunjukkan pentingnya mempelajari syariat Islam terdapat pada Surah Al-Mujaddalah ayat 11. Ayat ini, kurang lebih menceritakan semangat dalam menuntut ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum (dunia) serta berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan dan melakukan segala perbuatan sesuai dengan perintah Allah Swt.

Poin terakhir, memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Perintah ini terdapat pada Al-Qur’an Surah Al-Alaq ayat 1–5. Di dalamnya terdapat perintah untuk terus mempelajari ilmu pengetahuan dengan membaca. “Barang siapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu.” (H.R. Ahmad). Harapannya, dengan diamalkannya 3 poin yang sudah dijelaskan tadi, nantinya akan terwujud peradaban Islam yang maju dan mencerahkan yang tentunya menyejahterakan seluruh umat Islam dipimpin anak muda milenial saat ini.

“Terakhir pesan saya terkhusus mahasiswa maupun pelajar, belajarlah yang serius, tekun, dan ulet. Jadilah mahasiswa yang amanah. Pergunakan fasilitas yang diberikan orang tua dengan baik dan jujur. Jaga pergaulan sesama teman. Buat perubahan di masyarakat dan tunjukkan bahwa Anda dapat berguna di masyarakat dengan ilmu yang sudah didapat di bangku perkuliahan.” tutupnya. (ctr)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-narasumber-Ustaz-Drs.-H.-Anhar-Anshori-M.S.I.-Ph.D..jpg 768 1366 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-05-05 08:10:112023-05-05 08:10:11Kaum Milenial Penentu Peradaban Islam Masa Depan

Risalah “Islam Berkemajuan” Muhammadiyah

03/05/2023/in Feature /by Ard

Prof. Dr. Amin Abdullah, M.A. narasumber pengajian PWM DIY di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan tajuk “Islam Berkemajuan” (Foto: Humas dan Protokol UAD)

Prof. Dr. Amin Abdullah, M.A. didapuk menjadi narasumber dalam acara Pengajian Ramadan 1444 Hijriyah hari ketiga yang diinisiasi oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara ini bertempat di Ruang Amphitarium Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 2 April 2023. Amin menyampaikan topik “Islam Berkemajuan dan Fresh Ijtihad dan Tajdid (Pendekatan Burhani, Bayani, dan Irfani)” sebagai ceramah penutup dari rangkaian kegiatan Pengajian Ramadhan 1444 H tersebut.

Ia mengawali ceramah dengan menganalogikan agama sebagai sebuah rumah. Dalam kehidupan, rumah merupakan tempat yang penting untuk tumbuh kembang umat manusia. Apabila rumah dilengkapi dengan ventilasi, tentunya sang penghuni akan dapat menghirup udara luar dan hidup sehat. Namun, apabila rumah sebagai tempat tinggal dibuat tertutup, maka sang penghuni akan merasa terkungkung, sakit, bahkan merasa tidak betah tinggal di rumah. “Bayangkan bapak-ibu kita punya rumah tanpa ventilasi. Sangat berat untuk kesehatan kita sendiri. Kita harus membuka ventilasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengutip Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 13. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan Islam sebagai rumah saat ini perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman supaya mencapai Islam Berkemajuan. Maka, Muhammadiyah menawarkan pembaruan,” tuturnya.

Islam Berkemajuan

Masyarakat Islam sebagai kekuatan masyarakat madani menjunjung tinggi kemajemukan agama dan kesetaraan seluruh elemen kehidupan. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan agama yang berkemajuan, yang kehadirannya membawa rahmat bagi kehidupan umat manusia. Hal ini senada dengan istilah “Islam Berkemajuan” yang beberapa waktu lalu digelorakan pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta.

Islam yang berkemajuan berarti Islam yang memancarkan pencerahan bagi kehidupan, termasuk dalam ranah emansipasi dan humanisasi. Secara ideologis, Islam yang berkemajuan merupakan aktualisasi dari perluasan pandangan keagamaan melalui dakwah dan tajdid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi tetap menerapkan kontak kekinian dan proyeksi masa depan. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kompleksitas kehidupan modern abad ke-21 guna menghadirkan Islam sebagai ajaran yang adaptif, responsif dan implementatif terhadap problematika kemanusiaan, serta bisa membawa kemajuan bagi peradaban umat manusia.

Bukti nyata implementasi dari Islam Berkemajuan telah secara bertahap diwujudkan Muhammadiyah dalam berbagai praktik pranata-pranata modern. Di antaranya melalui amal usaha di berbagai bidang yang unggul seperti pendidikan, sosial, kesehatan, pemberdayaan, ekonomi, dan dakwah komunitas yang membuana di berbagai lapisan masyarakat.

Tipe-Tipe Perubahan

Dalam ceramahnya, Amin menyampaikan bahwa saat ini Muhammadiyah menghadapi 2 tipe perubahan. Pertama, perubahan disruptif yakni perubahan yang dimulai dari Masa Reformasi 1998 di mana praktiknya masih ada hingga saat ini yang kemudian membentuk oligarki besar-besaran di Indonesia. Lebih lanjut, Reformasi Politik 1998 memberi ruang lebih luas untuk kemerdekaan menyampaikan pendapat dalam hal apa pun termasuk ideologi sebagai identitas agama. Hadirnya berbagai macam ideologi berbasis Islam yang kemudian mengubah bentuk menjadi partai-partai politik, organisasi masyarakat sipil, gerakan budaya, gaya hidup urban, dan hiburan.

Selanjutnya, fenomena conservative turn (belok ke arah konservatif) yang merupakan fenomena terkait pemahaman dan praktik agama konservatif yang berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai hal yang paling benar. Gejala konservatisme adalah situasi yang terfasilitasi melalui berbagai kesempatan, seperti adanya internet, media massa, media sosial, rumah ibadah, sekolah, dan ruang publik lain yang kerap menjadi sarana untuk diseminasi ide-ide konservatif yang berakibat pada pembentukan identitas Islam.

Sebagai contoh adalah penggunaan aplikasi WhatsApp dan Telegram yang menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok pro-ekstremis pendukung Islamic State (IS) untuk menyebarluaskan dan mempropagandakan pesan-pesan serta memperkuat jaringan komunikasi. Dengan kata lain, kehadiran internet dan ruang publik baru memberi jalan lapang bagi paham keagamaan konservatif yang mengglobal untuk sampai ke orang-orang dan organisasi Islam yang ada di Indonesia. Fenomena ini terbilang sangat kompleks karena mengombinasikan unsur keagamaan dengan unsur ideologi, ekonomi, hingga politik. Hal ini merupakan ancaman nyata bagi otoritas keagamaan karena cukup berbahaya jika diadopsi oleh masyarakat Indonesia yang heterogen karena berpotensi memicu adanya perpecahan.

Apa Itu Fresh Ijtihad?

Ijtihad berasal dari lafal Ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras. Ijtihad dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih. Istilah ijtihad tampaknya sudah familiar di telinga umat muslim, tetapi implementasinya saat ini masih terkesan samar-samar terlihat. “Ijtihad dalam Islam dan Muhammadiyah perlu disegarkan lagi,” tandas Amin.

Al Azhar baru-baru ini dikabarkan mendirikan pusat tarjih sebagai tajdid pemikiran guna menafikan metodologi dalam memahami Islam. Sedangkan Muhammadiyah telah berkutat dengan hal serupa sejak lebih dari 100 tahun lalu sehingga menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang visioner. Namun, stagnasi metodologis dalam memahami Islam masih jauh dari kata maju mengingat persoalan-persoalan yang kompleks saat ini perlu solusi yang lebih inovatif.

Amin menjelaskan bahwa Muhammadiyah saat ini belum cukup inovatif dalam merespons perkembangan zaman. Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan warga persyarikatan untuk menghadapi tuntutan zaman yang kompleks di bidang pendidikan, khususnya bagi anak-anak muda yang akan mengemban Muhammadiyah di masa yang akan datang. Hal-hal tersebut meliputi pentingnya mengasah kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, mempertajam intuisi, meningkatkan keterampilan kreatif, memperkuat pendidikan karakter, dan memantapkan kepemimpinan.

Tajdid: Pembaruan Pemikiran Islam

Perubahan sosial di Indonesia dari waktu ke waktu berlangsung masif, terutama perubahan pada tren keagamaan. Agama memang bersifat Ilahi, tetapi interpretasi terhadap agama melibatkan manusia dan alam serta dunia sosial sekitarnya.

Islam mengenal adanya istilah tajdid dalam kehidupan beragama. Dikutip dari buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan karya Dr. Haedar Nashir, tajdid bermakna pembaruan. Istilah tajdid berkembang di kalangan Muhammadiyah sebagai suatu gerakan pembaruan. Sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah membawa gerakan dakwah dan tajdid dalam perkembangannya. “Muhammadiyah dengan tajdid harus bisa mempersembahkan sesuatu yang baru,” kata Amin.

“Islam” dan “Pemikiran atau Penafsiran Islam” dalam Islam Berkemajuan

Agama atau wahyu selalu bersifat pasif, sedangkan ilmu pengetahuan agama sifatnya relatif. Agama sering dikatakan sempurna dan komprehensif, berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bebas dan sering kontradiktif. Hal ini sejalan dengan pandangan Islam Berkemajuan yang merupakan karakter keislaman Muhammadiyah yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa pemahaman “Islam” sebagai “agama” harus bisa dibedakan dengan “pemikiran atau penafsiran Islam”. Jika dibandingkan, “Islam” sebagai agama merupakan sistem kepercayaan yang paten, sedangkan “pemikiran atau penafsiran Islam” cenderung terkoneksi dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis.

Istilah dan konsep “Islam Berkemajuan” yang dikembangkan Muhammadiyah merupakan suatu “pandangan keagamaan” yang digunakan sebagai pedoman warga persyarikatan untuk dapat menjalankan dakwah dengan kontak kekinian sebagai bingkai pemikiran Muhammadiyah dalam memasuki zaman yang kompleks. Dengan demikian, pemikiran atau penafsiran Islam harus selalu dikembangkan guna menghidupkan spirit pembaruan akan kemajuan peradaban umat Islam.

Permasalahan Manhaj dan Pentingnya Tajdidu Al-Manhaj

Istilah manhaj tentu bukan lagi istilah baru dalam Islam. Secara etimologi, manhaj berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti jalan yang jelas dan terang. Adapun secara istilah, adalah sebuah metode yang berisi kumpulan kaidah-kaidah dan batasan-batasan untuk memahami agama. Manhaj dapat diartikan sebagai keyakinan yang dianut oleh umat yang akan membimbing bagaimana seseorang beribadah. Namun, tidak semua manhaj dalam Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul. Beberapa di antaranya bahkan terkesan sangat jauh dari apa yang diajarkan Rasulullah saw. Para ulama mengatakan bahwa saat ini ada 6 tren pemikiran muslim kontemporer yang mempunyai manhaj yang berbeda-beda, yakni: The Legalist-Traditionalist (fuquha, mutakallimun), The Theological Puritans (skriptualis), The Political Islamist (penggerak banyaknya partai politik muslim), The Islamist Extremist (kelompok teroris), The Secular Muslim (bangsa-bangsa Eropa), dan The Progressive Ijtihadists (penggerak pembaruan Islam).

Perbedaan manhaj dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar, tetapi perbedaan ini juga kerap memicu kesalahpahaman. Manhaj yang sama, terkadang menghasilkan hukum yang berbeda. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang agama), baik dalam hal akidah maupun fikih.

Menanggapi hal ini, Amin menuturkan bahwa Muhammadiyah perlu menerapkan pembaruan dalam metode-metode yang digunakan dalam dakwah. Lantas, bagaimana mengetahui relevansi dari metode-metode yang digunakan?

Amin menyebutkan ada 5 hal yang harus diperhatikan sebelum menerapkan metode-metode tertentu dalam berdakwah. Pertama, cari tahu kelengkapan data dan referensi penelitian terdahulu. Kedua, periksa kembali kualitas bahan bacaan atau literatur yang digunakan. Ketiga, cermati cross-reference yang digunakan untuk mengukur seberapa luas extra religious knowledge yang digunakan. Keempat, ketahui disiplin ilmu mana yang digunakan guna melihat interpenetrasi pemanfaatan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan acuan. Terakhir, periksa kembali kesahihan metode pengambilan kesimpulan, opini, pendapat, dan pandangan keagamaan yang diterapkan.

Checklists Tajdidu Al-Manhaj dalam Islam Berkemajuan

Islam Berkemajuan menurut Amin bisa diwujudkan dengan beberapa checklists, di antaranya: nilai, visi peradaban, strategi keilmuan, dan pembaruan manhaj. Nilai mengacu pada penerapan konsep tauhid dalam setiap aspek kehidupan dengan konsep al-Qiyam al-Asasiyyah (menitikberatkan pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan, kesetaraan, hingga keselamatan). Sebagai contoh, umat Islam harus bisa berempati dan bersimpati terhadap penganut mazhab dan agama yang berbeda, tanpa kehilangan keyakinan agamanya.

Selanjutnya, visi peradaban harus mengacu pada dua hal, yakni: visi fikih peradaban yang berfokus pada penetrasi hukum-hukum Islam yang dinamis-dialektis dan/atau tidak statis, serta visi peradaban modern yang berfokus pada pendidikan dan kesejahteraan. Poin ini mengacu pada rekonstruksi potret Islam yang sering digambarkan tertutup, egois, sektarian, dan bersumbu pendek menjadi Islam yang bersifat fundamental dan tidak kaku.

Muhammadiyah merupakan gerakan berbasis ilmu pengetahuan. Namun, perubahan saat ini tidaklah mudah diprediksi. Maka, checklist ketiga yang berkaitan dengan etos dan strategi keilmuan berarti Muhammadiyah harus mampu mengawinkan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dengan cara-cara yang mudah diterima masyarakat. Dalam hal ini Amin mengambil contoh Bani Abbasiyah yang secara historis telah menjadi ikon suksesnya peradaban Islam di dunia. “Kita harus berpikiran terbuka seperti Bani Abbasiyah agar mampu menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia,” jelasnya.

Terakhir, pembaruan manhaj harus menjadi salah satu tujuan utama Muhammadiyah dalam berdakwah. Islam sebagai agama akan selalu pasif, tetapi pemikiran, penafsiran, serta metode Islam harus terus berkembang. Saat ini, warga Persyarikatan Muhammadiyah dalam menerapkan fresh ijtihad tidak boleh hanya mendengarkan tetapi juga harus bisa saling mengingatkan dan mengkritik. Caranya adalah dengan menerapkan pendekatan bayani (ilmu pengetahuan), burhani (akal pikiran), dan irfani (kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin).

Bayani menitikberatkan pada tafsir, hadis, dan fikih yang digunakan untuk memecahkan masalah ibadah mahdhah (khusus). Selain itu, burhani mengacu pada sistem pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah) yang digunakan untuk memberikan dinamika kepada pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) pada ibadah ghairu mahdhah (umum). Sedangkan irfani bermuara pada kepekaan nurani setiap umat manusia dalam menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil. Salah satu contoh nyatanya adalah melek dalam bermedia sosial sebagai salah satu media dakwah paling efektif abadi ini dengan mempertimbangkan setiap pendekatan. “Kita saat ini harus ramah kepada media sosial. Apalagi generasi boomers harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” tutupnya. (Lid)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prof.-Dr.-Amin-Abdullah-M.A.-narasumber-pengajian-PWM-DIY-di-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Humas-dan-Protokol-UAD.jpg 1200 1800 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-05-03 08:16:462023-05-03 08:16:46Risalah "Islam Berkemajuan" Muhammadiyah

Puasa dan Pendidikan Anak

28/04/2023/in Feature /by Ard

Kajian Dhuha “Puasa dan Pendidikan Anak” Masjid Islamic Center UAD dengan narasumber H. Muhammad Jamaludin Ahmad, S.Psi. (Foto: Istimewa)

Ada 3 hal penting yang termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 183. Pertama, modal puasa adalah iman, karena yang dipanggil dalam ayat tersebut hanyalah orang-orang yang beriman. Kedua, puasa sebagai proses, yaitu ditempa oleh Allah dalam sebuah madrasah Ramadan agar kemudian bisa menjadi orang yang bertakwa. Ketiga, orang yang bertakwa sebagai hasil. Salah satu makna yang dapat diambil dari kata takwa adalah pengendalian diri. Jadi, inti dari puasa adalah menempa diri agar mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang Allah dan mampu melaksanakan perintah-perintah Allah yang dalam konteks Ramadan adalah amaliah Ramadan serta seluruh amal yang menyertainya. Pengendalian diri ini merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan.

Itulah pemaparan pembuka yang disampaikan oleh H. Muhammad Jamaludin Ahmad, S.Psi., Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Kajian Dhuha yang dilaksanakan secara luring di lantai 2 Masjid Islamic Center (IC) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube pada Sabtu, 10 Ramadan 1444 H/1 April 2023.

Jamaludin Ahmad menuturkan, “Indikator orang yang berhasil puasanya dalam perspektif psikologi adalah orang yang dengan puasanya makin mampu mengendalikan diri. Oleh karena itu, untuk mampu mengendalikan diri butuh sebuah proses berlatih yakni membiasakan nilai-nilai baik untuk dijalankan dan menjauhi nilai-nilai yang dilarang. Sebab terbiasa berproses tersebut maka ia akan mampu mengendalikan dirinya dengan baik.”

Ia menambahkan, “Dalam dunia psikologi pengendalian diri itu menjadi ciri utama seseorang sehat jiwanya atau tidak. Jika seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, maka ia akan mengalami gangguan atau penyimpangan kepribadian. Orang yang berpuasa akan mendapat pahala, hikmah dan manfaat, serta dampak semakin sehat jiwanya, emosi maupun psikologinya.”

Puasa Ramadan Merupakan Model Pendidikan Keluarga

Puasa Ramadan menjadi salah satu model pendidikan keluarga yang patut dioptimalkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Ibadah puasa memberikan edukasi positif bagi sikap keberagamaan (religiusitas) anak di bawah bimbingan dan keteladanan orang tua, serta dukungan masyarakat lingkungannya.

Salat dan Puasa Harus Dilatih Sejak Dini

Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan orang tua untuk mendidik anaknya mendirikan salat sejak usia 7 tahun. Melalui perintah salat ini dapat disamakan dengan puasa. Mari latih anak-anak secara bertahap untuk melakukan puasa jika mereka kuat.

Hikmah Puasa

Adapun hikmah puasa berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 183‒188 yaitu orang beriman diproses meningkatkan kualitas imannya menjadi insan yang bertakwa. Puasa juga mendatangkan banyak manfaat dan kebaikan, menjadikan orang yang berpuasa lebih tambah rasa syukurnya kepada Allah, menjadikan manusia selalu berada pada jalan kebenaran/Islam, menjadi lebih bertakwa kepada Allah, dan menjadikan manusia tidak mau mencuri maupun berbuat curang.

Nilai-Nilai Penting dalam Puasa

Nilai-nilai penting dalam puasa yang dapat ditemui dan pelajari yaitu iman, proses latihan penempaan, disiplin, motif dan motivasi, rasa syukur, empati, literasi, mengelola emosi, dan lain sebagainya.

Puasa untuk Pendidikan Anak

Adapun untuk pendidikan anak, puasa juga dapat melatih dalam banyak bidang. Di antaranya sebagai berikut.

1. Pendidikan Akidah

Saat berpuasa mereka akan merasakan bahwa Allah senantiasa mengawasinya sehingga tidak berani makan dan minum meski ia bisa bersembunyi dari penglihatan orang tua, saudara maupun teman-temannya. Inilah pendidikan akidah yang fundamental, tidak sekadar meyakini keberadaan Allah tetapi juga teraplikasi dalam perilakunya.

2. Pendidikan Ibadah

Tidak hanya melaksanakan ibadah puasa saja, tetapi sejumlah ibadah lain juga dibiasakan dengan melibatkan keluarga secara bersama seperti salat fardu jamaah, Tarawih, zikir, tadarus, berinfak, dan zakat fitrah. Pembiasaan ibadah ini efektif dilakukan untuk mendidik anak agar menjadi hamba yang saleh.

3. Pendidikan Akhlak

Berbagai macam akhlak mulia ditanamkan dan dibiasakan saat berpuasa kepada anak seperti disiplin, jujur, sabar, berkata santun, tolong menolong, dan menghargai orang lain. Selama puasa anak dituntun menjauhi perilaku buruk. Sabda Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya menggunjing dan berdusta merusak puasa.” (H.R. At-Tirmidzi).

4. Pendidikan Psikologi/Emosi

Ketika puasa umat Islam dianjurkan untuk tidak marah, tidak mudah tersinggung, dan dilarang bertengkar atau berkelahi. Orang yang berpuasa dididik untuk memiliki kepribadian yang baik, peduli, dan berempati pada orang lain.

5. Pendidikan Komunikasi

Ketika orang sedang menjalankan puasa Ramadan, ia dilarang untuk bicara kotor dan bicara yang tidak ada gunanya. Ia diperintahkan untuk bicara yang baik, mulia dan bermakna akan mendatangkan pahala, manfaat, serta menguatkan silaturahmi dan ukhuwah.

6. Pendidikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Takwa bermakna menjaga atau memelihara diri dari yang dilarang Allah serta dari segala hal yang membahayakan dan menghancurkan keimanan maupun keislaman setiap diri manusia. Ketakwaan tidak akan terwujud pada orang yang berpuasa tetapi tidak peduli untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar kepada dirinya, keluarganya, maupun orang lain.

“Puncak orang yang berpuasa tidak akan melakukan kemungkaran. Melalui puasa Ramadan, anak-anak sejak dini dididik untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, salah dan benar, serta mudharat dan manfaatnya,” terang Jamal.

Sementara itu, terdapat 5 kecerdasan sesuai dengan 5 wahyu Allah yang turun awal yaitu intelektual/akal, emosional/psikologis, spiritual/ruhiyah, sosial/akhlak, dan ideologi/akidah. Kelimanya perlu ditanamkan kepada anak-anak. (zhr)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Dhuha-Puasa-dan-Pendidikan-Anak-Masjid-Islamic-Center-UAD-dengan-narasumber-H.-Muhammad-Jamaludin-Ahmad-S.Psi_.-Foto-Istimewa.jpg 719 1363 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-28 08:09:042023-04-28 08:09:04Puasa dan Pendidikan Anak

Seperti Apa Sifat Ikhlas?

23/04/2023/in Feature /by Ard

Kajian Buka Puasa Masjid IC Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan narasumber Ustaz Budi Jaya Putra, S.Th.I., M.H. membahas tentang sifat ikhlas (Foto: Catur Rohmiasih)

Kajian Jelang Buka Puasa yang berlangsung di Islamic Center (IC) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menjadi agenda rutin selama bulan Ramadan. Pada Senin, 27 Maret 2023, Ustaz Budi Jaya Putra, S.Th.I., M.H. selaku pembicara membahas tentang sifat ikhlas.

“Bersikap ikhlas dapat dikatakan seseorang yang memiliki bersih hati, tulus perbuatan tanpa pamrih dan pujian manusia. Sedangkan secara etimologi, ikhlas adalah sesuatu yang murni tidak tercampur dengan apa pun,” buka Ustaz Budi.

“Menjadikan segala amalan yang diperbuat hanya untuk Allah, tanpa pamrih, dan mengharap pujian manusia, adalah pengertian ikhlas secara sederhana. Engkau tidak mencari rida selain dari Allah sebagai saksi dan pemberi ganjaran atas amalmu,” lanjutnya.

Salah satu contoh perilaku ketidakikhlasan dalam kehidupan sehari-hari ialah perasaan selalu ingin dilihat dalam melakukan kebaikan. Contoh sederhananya ketika seorang beribadah hanya ingin dipuji dan disanjung sebagai seorang yang alim. Contoh lain bersedekah hanya ingin dijuluki dermawan, dan masih banyak lainnya.

Al-Qur’an surah Al-Bayyinah ayat 5 yang berarti, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar”. Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya seorang muslim memiliki sifat ikhlas dalam diri. Ikhlas beribadah yang di dalamnya menyangkut iman dan amal saleh seseorang.

“Jadi, melakukan segala amal kebaikan secara ikhlas itu penting. Pentingnya keikhlasan dalam sebuah perbuatan hendaknya diiringi pula dengan niat yang lurus. Karena dalam satu hadis dikatakan bahwa dari Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah saw. bersabda, ‘Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika keikhlasan dan hati yang berniat selalu tertanam dalam hati setiap orang beriman, niscaya tidak akan ada rasa kekecewaan sedikit pun. Karena dalam Islam tidak dianjurkan kecewa secara berlebihan apa pun masalahnya. Kecewalah dengan sewajarnya saja’.”

Perlu diketahui bahwasanya niat itu adalah maksud dan tujuan. Seseorang bisa dikatakan niat maka ia akan mengusahakannya. Niat bukan pula sekadar ucapan yang hanya di lisan saja melainkan harus dibarengi dengan usaha berpikir bagaimana dengan niat yang dimiliki bisa mendapatkan keberkahan. Seorang ulama besar bernama Fudhail bin Iyadh pernah berkata: meninggalkan amal karena manusia itu riya, beramal karena manusia itu syirik.

Budi menjelaskan lebih lanjut tanda orang beriman yang memiliki keikhlasan, di antaranya tidak ada bedanya seseorang ketika dipuji dan dicela, tidak menghiraukan pandangan dan penilaian dari manusia, keikhlasan merupakan benteng pertahanan seorang yang beriman. Dengan memiliki sifat ikhlas dan niat yang lurus maka hati kita akan senantiasa tenteram, damai, dan bahagia.

Terakhir, pada ceramahnya Budi mengutip perkataan seorang imam besar yaitu Imam Al Ghazali. Semua orang akan celaka kecuali orang yang berilmu dan semua orang yang berilmu akan celaka pula kecuali orang yang mengamalkan ilmu, semua orang yang mengamalkan ilmunya celaka kecuali orang yang ikhlas. Sungguh betapa beruntung seseorang memiliki sifat ikhlas yang tentu dirinya akan terhindar dari celaka yang sudah telah Allah tetapkan.

Setidaknya, ada 3 hal yang membuat setan menang dari manusia dan menghilangkan keikhlasan dalam diri manusia ketika beramal saleh. Pertama, menganggap dirinya lebih baik dari orang lain atau menganggap rendah orang lain. Kedua, merasa amal saleh yang dikerjakan sudah banyak. Ketiga, ketika seorang hamba lupa akan dosa-dosanya yang telah diperbuat. Semoga kita terhindar dari sifat ketidakikhlasan. (ctr)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Buka-Puasa-Masjid-IC-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-narasumber-Ustaz-Budi-Jaya-Putra-S.Th_.I.-M.H.-Foto-Catur-Rohmiasih.png 768 1366 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-23 07:02:452023-04-23 07:02:45Seperti Apa Sifat Ikhlas?

Folklore: Bercanda, Berproses, dan Berkarya

13/04/2023/in Feature /by Ard

Folklore, band yang beranggotakan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto: Istimewa)

Musik merupakan representasi dari cinta. Melalui musik kita mampu menemukan cinta dari sudut pandang mana pun baik pertemanan, kekeluargaan, dan segala jenis pemaknaan cinta yang ada di benak kita.

“Satu kata untuk musik itu cinta,” ungkap Faizal Meyrandi Zulfa selaku vokalis band Folklore.

Menengok ke belakang, Folklore terinspirasi dari nama mata kuliah pada Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Pemaknaan nama tersebut merujuk pada suatu cerita rakyat sehingga definisi folklore adalah orang-orang yang berkumpul, bercanda, dan menghasilkan suatu karya.

Pada 15 Maret 2023, mereka perdana merilis lagu berjudul “Hey Kekasihku” di beberapa platform musik seperti Spotify, SoundCloud, dan Apple Music. Faiz mengatakan, “Lagu ini ditulis oleh aku dengan notasi ide awal dari Robbi, pemain keyboard kami. Cerita di balik terciptanya lagu ini sangat lucu, ketika suatu sore kami stuck menggarap sebuah lagu berjudul ‘Lautan Sore’, tiba-tiba Robbi memainkan suatu aransemen yang diikuti oleh kami semua. Di situ terbitlah keseriusan sehingga lahir lagu ‘Hey Kekasihku’ dengan penulisan lirik yang sangat singkat.”

Tidak sampai sepekan setelah perilisan lagu itu, mereka merilis official music video-nya pada kanal YouTube Folklore Band. Video yang dilihat lebih dari 1.000 penonton menuai banyak sekali pujian karena lagunya yang asyik dan nyaman didengarkan. Serta lagu tersebut dianggap sangat peduli terhadap remaja-remaja pada zaman sekarang.

Pada wawancara di Obah Kopi 29 Maret 2023, Faiz mengatakan makna lagu “Hey Kekasihku” sangat tertulis frontal dan lugas pada lirik lagunya, yaitu menggambarkan seorang pengecut yang tidak berani mengambil langkah serta risiko untuk memulai sebuah pendekatan kepada perempuan. Terlepas dari itu, Folklore merupakan band yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa Yogyakarta, khususnya mahasiswa UAD. Penampilan mereka selalu dipadati dengan riuh penonton, serta penggemar genre ska dan rock.

“Lagu perdana kami juga merupakan suatu pembuktian bahwa kami sukses memadukan 2 genre ska dan rock pada suatu lagu. Walaupun genre ini memang terbilang cukup subjektif, kami menganggapnya begitu,” jelas Faiz.

Banyak hal yang Folklore lalui sejak 2020, mulai dari terciptanya karya-karya, bahkan mereka memiliki 7 lagu yang sudah diaransemen. Namun, di luar dari karya tersebut, dampak Folklore bagi hidup personelnya sangat besar. Faiz mengaku menemukan persaudaraan yang sangat erat di sini, persaudaraan yang sepertinya tidak akan pernah putus sampai kapan pun.

“Dampak untuk hidupku juga cukup besar, di sini aku merantau dan hidup sendiri. Namun setelah bertemu mereka aku menemukan keluarga dalam bentuk yang baru, saling membutuhkan, saling perhatian, dan peduli satu sama lain,” kata Bangkit selaku basis.

Tentu saja untuk mencapai titik sekarang, Folklore tidak akan terlepas dari dukungan eksternal yaitu masing-masing keluarga, terutama keluarga Robbi yang telah memfasilitasi beberapa hal yang diperlukan. Selain itu juga ada teman-teman dan pencinta Folklore.

Ada satu hal yang perlu digarisbawahi, Folklore tidak dibentuk untuk benar-benar menjadi musisi, mereka hanya perkumpulan anak-anak yang menghasilkan karya, bercanda, dan berproses. Namun kembali pada tujuan awal, bagi mereka kuliah dan keluarga adalah prioritas.

“Bahkan kami pernah melewatkan manggung karena salah satu di antara kami masih membutuhkan waktu bersama keluarga di rumah. Kami tidak ingin band ini menghambat hubungan apalagi hubungan kami dengan orang tua, karena yang kami khawatirkan adalah bandnya menjadi nomor 1 tetapi kuliah dan hidup kami berantakan,” ungkap Faiz.

“Iya, dan bagi kami lulus tepat waktu jauh lebih penting,” timpal Bangkit.

Faiz sangat berharap band ini akan memiliki kebahagiaan yang berumur panjang agar dapat selalu menciptakan karya dan menghibur banyak orang, terbuka satu sama lain, serta bisa menyelesaikan masalah atau suatu ketersinggungan satu sama lain tanpa berlama-lama.

“Dan rencananya, kisah Bayu dan Lisa dalam lagu ‘Hey Kekasihku’ akan kami lanjutkan di lagu-lagu berikutnya yang akan kami rilis dalam waktu dekat, semoga rezeki yang datang banyak,” tutup Faiz. (Syf)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Folklore-band-yang-beranggotakan-mahasiswa-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto-Istimewa-scaled.jpg 1707 2560 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-13 09:53:572023-04-13 09:53:57Folklore: Bercanda, Berproses, dan Berkarya

Orang-Orang yang Dirindukan Surga

13/04/2023/in Feature /by Ard

Kajian Jelang Buka Puasa Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan narasumber Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiah Ariati Dina Puspitasari, M.Pd. (Foto: Catur)

Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiah Ariati Dina Puspitasari, M.Pd. berkesempatan menjadi pemateri pada Kajian Rutin Jelang Buka Puasa di Islamic Center (IC) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 2 April 2023. Ia membahas tentang orang-orang yang dirindukan surga.

Perempuan yang lebih sering dipanggil Adip itu berkata, surga merupakan tempat terindah yang dijanjikan Allah Swt. untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Di dalam surga berisi kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tiap umat Islam tentu mendambakan kehidupan akhirat yang penuh dengan nikmat seperti di surga.

“Menjadi penghuni surga adalah dambaan setiap manusia di muka bumi ini, yang mana sebagai tempat kehidupan abadi di akhirat nanti. Tahukah kalian, orang-orang seperti apakah yang dirindukan surga?”

Lebih lanjut ia memaparkan, ada 4 golongan manusia yang dirindukan surga. Hal itu berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. yang berbunyi: “Surga merindukan 4 golongan yaitu orang yang membaca Al-Qur’an, seorang muslim yang mampu menjaga lisannya (ucapan) untuk tidak menyakiti orang lain, muslim yang memberi makan orang lapar, dan muslim yang melaksanakan puasa di bulan Ramadan.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).

Taalil-Qur’ani (pembaca Al-Qur’an)

Golongan pertama adalah orang-orang yang lisannya senantiasa digunakan untuk membaca kalam Allah Swt. setiap waktu dan di setiap kesempatan yang ada. Bahkan, saat lapang maupun sempit. Kita teramat butuh Al-Qur’an, tetapi sering meninggalkannya dengan berbagai alasan. Selain dirindukan oleh surga, orang yang rajin membaca Al-Qur’an hatinya akan menjadi tenang. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Ar-Rad ayat 28 yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

“Ayat itu menerangkan bahwasanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tenang. Jika dimaknai lebih dalam, Al-Qur’an adalah obat hati bagi manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat,” ucap Adip.

Wa haafizhul-lisan (orang yang menjaga lisannya)

Golongan kedua yakni muslim yang pandai menjaga lapisan. Lisan adalah salah satu anggota tubuh yang merupakan nikmat dari Allah, tetapi juga dapat menjadi bumerang jika kita tidak pandai mengontrolnya. Menjaga lisan perlu dilatih agar lisan senantiasa mengucapkan perkataan yang baik. Seperti yang kita tahu, berdasarkan fungsinya, lisan berguna untuk menyampaikan berbagai macam hal. Tak hanya informasi, tetapi juga pertanyaan, prasangka, bahkan jika tak dijaga juga dapat membuat kita menyampaikan fitnah.

“Dengan beragam fungsi lisan, maka hendaknya kita betul-betul menjaganya agar tidak menyeret kita kepada perbuatan buruk. Jika kita menggunakan lisan untuk membicarakan keburukan orang lain hingga menyampaikan fitnah, artinya kita makin banyak menghabiskan waktu untuk menggunakannya melakukan hal-hal yang tidak baik.”

Wa muth’imul-ji’aan (orang-orang yang memberi makan pada yang kelaparan)

Golongan ketiga adalah orang yang senantiasa membantu orang yang membutuhkan. Allah Swt. akan membalas kebaikan yang dilakukan oleh hambanya. Bahkan, kelak di hari kiamat Allah Swt. akan memberikan makan dari buah-buahan surga.

“Makan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Bayangkan jika ada orang yang tidak mendapatkan nikmat untuk makan, betapa kurang hidupnya. Karenanya, kita perlu sadar bahwa kesempatan membantu sesama juga dapat dilakukan dengan memberi makan pada golongan tersebut. Dengan melakukannya, kita telah punya andil untuk menyelamatkan keberlangsungan suatu kehidupan,” lanjut Adip.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Siapa pun mukmin memberikan makan mukmin yang kelaparan, pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Siapa pun mukmin yang memberi minum mukmin yang kehausan, pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya minum dari minuman surga. Siapa pun mukmin yang memberikan pakaian mukmin lainnya supaya tidak telanjang, pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya pakaian dari perhiasan surga.” (H.R. Tirmidzi).

Selain hadis tersebut, ada sebuah hadits lain yang menjelaskan, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun kaum mukmin yang memberi makan mukmin lain yang kelaparan, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya makanan dan buah-buahan surga.” (H.R. Tirmidzi).

Wa shoimiin fii syahri romadhon (orang yang berpuasa di bulan Ramadan)

Puasa di bulan Ramadan merupakan rukun Islam yang berarti wajib dilaksanakan oleh seluruh muslim. Ternyata ibadah tersebut tak sekadar kewajiban, tetapi juga dapat mengantarkan kita untuk masuk dalam golongan yang dirindukan surga. Maka, bersyukurlah bagi mereka yang senantiasa melaksanakan puasa Ramadan. Sebab kehadiran mereka dirindukan oleh surga.

Allah Swt. juga telah menyediakan pintu surga bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang berasal dari Sahl r.a. Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa, pada hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain mereka. Lalu dikatakan, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Mereka pun bangkit, tidak ada seorang pun yang masuk kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tidak seorang pun masuk lagi.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah hadits lain, Nabi Muhammad saw. bersabda yang artinya: “Surga memiliki 8 buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu Ar-Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.” (H.R. Bukhari).

Terakhir, kajian ditutup dengan sebuah pantun yang diucapkan Adip. “Makan sate di Imogiri, kalau masih lapar tambah bakso urat, ayo teman-teman rajin ngaji, agar selamat dunia akhirat.” (ctr)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Jelang-Buka-Puasa-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-narasumber-Ketua-Pimpinan-Pusat-‘Aisyiah-Ariati-Dina-Puspitasari-M.Pd_.-Foto-Catur.jpg 768 1366 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-13 07:45:492023-04-13 07:45:49Orang-Orang yang Dirindukan Surga

Kebudayaan dan Persoalan yang Dihadirkan oleh Allah Swt.

12/04/2023/in Feature /by Ard

Pengajian Ramadan PWM DIY di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan pemateri Drs. Achmad Charris Zubair (Foto: Humas dan Protokol UAD)

Seorang ahli budaya asal Kotagede Yogyakarta, yaitu Drs. Achmad Charris Zubair, membeberkan arti kebudayaan yakni sebagai upaya untuk menemukan jawaban terhadap segala persoalan yang dihadirkan oleh Allah Swt. Hadirnya budaya di kehidupan manusia ditujukan agar setiap mereka dapat memilah persoalan yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Hal tersebut disampaikan pada saat ia memberikan materi pengajian Ramadan 1444 Hijriah dengan tema “Metode Dakwah Islam Berkemajuan di Masyarakat Jawa” di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Sabtu, 1 April 2023.

Achmad menjelaskan bahwa segala persoalan yang terjadi di berbagai lingkungan masyarakat memiliki perbedaan. “Kalau kita berbicara mengenai kebudayaan, merupakan cara menjawab manusia atas persoalan-persoalan yang dihadirkan oleh Allah sang Maha Pencipta dalam rangka membedakan. Sebab, lahir di Kutub Utara akan berbeda persoalannya yang lahir di Indonesia,” jelasnya.

Setiap ayat Al-Qur’an yang dihadirkan oleh Allah Swt. adalah sebuah karunia untuk umat manusia. Sebab, kata Achmad, itulah petunjuk sebagai hamba-Nya dalam menjawab semua permasalahan yang ada di dunia.

“Saya melihat bahwa sesungguhnya ayat-ayat karunia dari Allah harus dijawab oleh manusia yang ditakdirkan untuk lahir. Makanya, kita akan melihat karakter orang Jawa akan berbeda dengan orang yang lahir di tempat yang lain,” ujar Achmad.

Ia menambahkan, nilai kebudayaan tidak terlepas dari segala aspek kehidupan. Adanya perbedaan dalam menjawab segala persoalan di dunia akan menciptakan nilai kebudayaan baru. “Sehingga, nanti akan melahirkan nilai budaya. Nilai budaya itu sifatnya abstrak dan nilai inilah yang nanti akan mengantarkan.”

Achmad menganggap bahwa setiap manusia akan mengalami sebuah pengakuan saat menghadapi persoalan hidup. Bentuk pengakuan itu berlaku secara menyeluruh oleh setiap umat manusia yang hidup di dunia.

“Pada umumnya, ini menurut para ahli, setiap orang itu pasti akan mengakui sesuatu zat yang mengatasi hidupnya. Karena kita lahir saja tidak bisa apa-apa, kita lahir saja tidak bisa nolak, tidak bisa minta, lahir sebagai laki-laki sebagai juga tidak bisa, itu sesuatu yang tidak bisa kita atur,” jelas Achmad.

Meskipun demikian, setiap manusia selalu memiliki sesuatu yang dapat mengendalikan kehidupan mereka. Adanya nilai kebudayaan yang terdapat di setiap manusia berguna untuk menuntun jalan saat menghadapi segala persoalan di dunia.

“Dengan demikian, ada sesuatu yang melekat di dalam sanubari kita, pasti ada sesuatu yang menguasai hidup kita ini, itulah nilai budaya. Nilai kebudayaan akan mengantarkan pandangan hidup, pandangan hidup akan membentuk sistem normatif, sistem normatif akan membentuk sikap perilaku, sikap perilaku mengantarkan kita kepada karya-karya budaya,” tutupnya. (Han)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Pengajian-Ramadan-PWM-DIY-di-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-pemateri-Drs.-Achmad-Charris-Zubair-Foto-Humas-dan-Protokol-UAD-1.jpg 1333 2000 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-12 11:49:252023-04-12 11:49:25Kebudayaan dan Persoalan yang Dihadirkan oleh Allah Swt.

Tipu Daya Setan dan Cara Mengatasinya

04/04/2023/in Feature /by Ard

Kajian Menjelang Berbuka Puasa Ramadan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto: Istimewa)

Sebelum manusia diciptakan oleh Allah, terlebih dahulu Allah telah menciptakan musuh-musuh manusia, seperti iblis, setan, dan jin. Allah menciptakan setan itu sebagai musuh yang nyata bagi manusia, hal tersebut dinyatakan dalam Q.S. Yusuf: 5. Sementara ini, dalam Q.S. Fatir: 6, Allah juga berfirman, “Sungguh setan itu adalah musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”.

Itulah pemaparan pembuka yang disampaikan Ustaz Drs. H. Anhar Anshory, M.S.I., Ph.D., dalam kesempatan Kajian Menjelang Berbuka di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (29-3-23) yang menjelaskan bahwa golongan-golongan setan itu berasal dari jin dan iblis.

Iblis berasal dari kata abrasa yang berarti frustrasi, pembangkang, karena ia membangkang dari perintah Allah. Kemudian jin berasal dari kata najana yakni sesuatu yang tidak tampak. Oleh karena itu mengapa sebelum terbentuknya bayi secara sempurna dikatakan sebagai janin? Karena wujudnya masih ada di dalam kandungan dan tidak tampak secara langsung di depan mata kepala. Kata jin bisa juga berasal dari kata junnah artinya perisai, dan janna-jannihi-jin yang artinya sesuatu yang tersembunyi. Selanjutnya adalah setan yang berasal dari kata satana yang berarti menjauh, menjauh dari perintah dan rahmat Allah Swt.

Mengulas kembali kisah setan yang tidak mau bersujud kepada manusia, pada saat itu Allah menyuruh malaikat bersujud kepada Nabi Adam, kecuali iblis atau setan. Setan dengan sombongnya tidak mau sujud kepada manusia (Adam), karena ia tercipta dari api sehingga merasa lebih tinggi dan hebat. Setan sombong tetapi tidak memiliki analisis yang bagus.

“Mengapa? Sebab realitasnya dilihat dari sifatnya api itu tidak bisa memusnahkan tanah, tetapi tanah dapat memadamkan api. Selain itu tanah adalah tempat tumbuh berbagai tanaman dan sebagai lahan penghidupan bagi apa yang diperlukan oleh manusia di bumi,” terang Ustaz Anhar Anshory.

Tidak hanya sampai di situ, setan juga menyindir dengan berkata kepada Allah, “Mengapa Engkau menjadikan manusia itu menjadi khalifah padahal kerajaannya hanya menumpahkan darah?” Lantas Allah menjawab, “Aku lebih tahu daripada kamu (setan).” Manusia itu lebih hebat, Adam dapat menyebutkan nama-nama benda dan tidak terlepas dari pertolongan Allah, sedangkan setan itu lemah. Namun pertanyaannya adalah, mengapa banyak manusia yang tertipu? Hal itu dikarenakan manusia tidak bisa memahami dan membangun potensi dirinya, sehingga tidak memiliki kekuatan untuk membelenggu setan.

“Mendengar kata belenggu, maka berkaitan erat dengan puasa, karena wa shufadatissyayaathiin, dan setan itu dirantai atau dibelenggu. Lalu siapa pelakunya? Pelakunya bukanlah Allah. Jika selama ini kita berpikir bahwa mereka dibelenggu atau dirantai selama Ramadan oleh Allah itu merupakan persepsi yang kurang tepat. Sebab sebenarnya orang-orang yang melakukan puasa atas dasar iman dan lillahi ta’ala itulah yang membelenggu.

“Jadi di bulan Ramadan ini bagaimana kita dapat menjadikan setan itu terbelenggu agar tidak dapat menggoda sehingga merusak puasa yang kita jalankan dalam rangka meningkatkan kualitas puasa kita? Semuanya tergantung bagaimana kesiapan iman dalam diri kita.”

Strategi Setan Melawan Manusia

Terdapat beberapa cara setan melawan manusia, di antaranya sebagai berikut.

  1. Menyesatkan (Tadhill)
  2. Bisikan (waswasah), secara umum ditegaskan dalam Q.S. An-Naas bahwa setan membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia. Kemudian dalam hadis Nabi juga menyatakan bahwa keistimewaannya yaitu bisa menyelinap ke dalam aliran darah manusia.
  3. Lupa (nisyan), Q.S. Al-An’am: 68. Sifat lupa merupakan salah satu sifat manusiawi yang dimiliki manusia dan bersifat kodrati seperti yang dialami oleh para orang tua. Namun, ada lupa yang tidak bersifat kodrati yakni lupa yang disebabkan oleh setan yang menjadikan manusia lupa terhadap larangan-larangan Allah.
  4. Angan-angan kosong (tamani), Q.S. Al-Mujadilah: 19. Setan menjadikan manusia berangan-angan sehingga manusia lalai, bahkan sekadar angan-angan tanpa usaha apa pun. Tentu hal tersebut menjadi suatu kemustahilan yang dapat menjadikan manusia stress akibat angan-angan yang tidak tercapai.
  5. Memandang baik perbuatan maksiat, Q.S. Al-Hijr: 39‒40. Contoh dalam ranah pemilu, mereka banyak yang memandang bahwa sogok-menyogok adalah suatu fenomena yang sah-sah saja. Padahal Nabi telah menegaskan bahwa “Dilaknat oleh Allah orang yang menyogok dan disogok.”
  6. Janji palsu (wa’dun), Q.S. Ibrahim: 22. Jadi setan itu memang mendorong manusia bermain janji. Bahkan dahulu dibolehkan memerangi orang-orang yang mengingkari janji atau munafik.
  7. Tipu daya setan (kaidun), Q.S. An-Nisa’: 76. Manusia ditipu dengan kenikmatan dunia seolah-olah dunia adalah sumber kebahagiaan yang sempurna padahal Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa dunia itu adalah kesenangan yang bersifat menipu.
  8. Hambatan (shaddun), Q.S. An-Naml: 24.
  9. Permusuhan (‘adwah), Q.S. Al-Maidah: 91.
  10. Menakut-nakuti (Takhwaif)

Sebagai muslim yang beriman jangan takut menegakkan kebenaran, dan jangan menggadaikan kebenaran dengan dunia.

Usaha Melawan Setan

Beberapa hal yang perlu kita tingkatkan dan lakukan untuk melawan godaan setan di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Ikhlas dalam Beragama

Setan berkata “Aku akan mampu menjadikan mereka (manusia) memandang sesuatu yang tidak baik menjadi baik, yang sesuatu itu bertentangan dengan Islam. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas dalam beragama, aku tidak mampu.” Ikhlas berasal dari kata khalis artinya suci, dan bersih secara batiniah, sedangkan secara terminologis ikhlas adalah kebersihan hati dalam melakukan ibadah semata-mata mengharapkan cinta dan rida Allah. Maka, ketika kita mampu ikhlas celah setan untuk merusak ibadah kita akan semakin sempit, begitu pun sebaliknya.

  1. Ber-Islam secara Kafah

Dalam hal ini jangan hanya lidah kita saja yang masuk Islam, tetapi hati kita turut beriman, serta pikiran kita juga harus cerdas dan terus belajar serta memahami apa yang kita dimaknai karena syariat (ilmu) dan keimananan tidak dapat dipisahkan. Jika hanya sekadar beriman tetapi tidak memahami syariat maka akan terjadi ketimpangan. Oleh karena itu, masuk Islam secara kafah adalah lidah kita mengatakan aku beriman, hati kita ikhlas beriman karena Allah, dan pikiran kita bergerak untuk belajar dan memahami apa yang kita imani.

  1. Secara Praktis

Hal-hal praktis yang dapat kita laksanakan sehari-hari adalah meliputi membaca Al-Fatihah dengan memahami maksud ayat-Nya, membaca mauizatain yakni bacaan taawud dengan memaknai maknanya, membaca ayat kursi beserta memaknai maknanya, membaca Q.S. Al-Baqarah lengkap, membaca zikir baik secara bil-qolbi (hati) maupun bil-amal (perbuatan), dan berwudu. (SFL).

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Menjelang-Berbuka-Puasa-Ramadan-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto-Istimewa.jpg 1073 1913 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-04 08:44:252023-04-04 08:44:25Tipu Daya Setan dan Cara Mengatasinya

Spiritualitas yang Terkoyak di Masyarakat Indonesia

02/04/2023/1 Comment/in Feature /by Ard

Kajian Tarawih Ramadan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan pemateri Muhammad Aziz, S.T., M.Cs. (Foto: Siti Mawaddah)

“Apakah benar bahwa saat ini spiritualitas masyarakat Indonesia telah terkoyak?” tanya Muhammad Aziz, S.T., M.Cs. selaku pemateri dalam kajian tarawih pada Jumat, 3 Ramadan 1444 H/24 Maret 2023, yang berlangsung secara luring di kompleks Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) serta disiarkan langsung pada kanal YouTube Masjid Islamic Center UAD.

Melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, spiritualitas berasal dari kata spiritual yang berarti berhubungan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Sedangkan kata terkoyak berasal dari kata koyak yang memiliki arti cabik, robek, atau sobek. Koyak yang mendapat prefiks (imbuhan yang ditambahkan pada bagian awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar) berfungsi membentuk kata kerja pasif pada kata terkoyak.

Jadi, spiritualitas yang terkoyak bisa diartikan sebagai ekspresi keberagamaan seseorang dalam rangka melakukan relasi dengan Tuhan, tetapi sedang mengalami kegelisahan, kegalauan, kepribadian ganda, dan lain-lain. Mengutip dari istilah Buya Asy-Syafi’i, “Spiritualitas yang terkoyak adalah kondisi seseorang yang sedang mengalami kesulitan berkomunikasi dan berunding dengan Allah.”

Kembali lagi dengan pertanyaan di awal mengenai spiritualitas masyarakat Indonesia. Ada 2 fenomena paling menarik dari hal tersebut. Fenomena pertama yang menunjukkan kebalikan dari terkoyaknya spiritualitas, sedangkan fenomena kedua menunjukkan adanya kekoyakan tersebut.

Fenomena pertama, dilihat dari realitas sosial di Indonesia memiliki grafik naik pada pola keberagamaan yang dibuktikan dari tahun ke tahun. Contohnya, orang yang ingin dan telah mendaftarkan diri untuk beribadah haji makin banyak. Hal ini menyebabkan daftar tunggu calon haji semakin panjang. “Katanya di Yogyakarta kalau mendaftar ibadah haji hari ini, butuh waktu 30 tahun untuk menunggu giliran berangkat,” celetuk Aziz. Sehingga alternatif untuk pemenuhan hasrat ke Baitullah dialihkan kepada ibadah umrah.

Mengetahui data ini, membuat perasaan menjadi senang karena dapat diasumsikan bahwa perekonomian masyarakat Indonesia makin baik dan kesadaran keberagamaan semakin baik pula. Lalu, apakah data ini dapat menunjukkan keseluruhan masyarakat Indonesia?

Masuk ke fenomena kedua, di mana kita juga dapat melihat orang–orang mengalami kesulitan secara ekonomi beserta kekeringan secara spiritual. Namun kasus yang paling mencolok saat ini adalah tindakan korupsi yang merajalela. Seperti topik yang sedang hangat dibicarakan di media sosial yaitu Direktorat Jenderal Pajak yang pamer kemewahan dan kekayaannya. Bahkan, Mahfud MD dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan ada potensi pencucian uang di Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) mencapai 300 triliun rupiah. Mendengar angka sebesar ini bikin geleng-geleng kepala.

Pada tahun 2022, transparansi internasional meluncurkan corruption perception index yang mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi dengan rentang indeks 0–100, dengan 0 dipersepsikan sangat korup dan 100 sangat bersih. Indonesia berada pada skor 34 pada urutan 110 dari 180 negara yang diukur. Di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat 7 di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada negara kita? Padahal Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi sangat disayangkan masih masuk sebagai negara dengan indeks tingkat korupsi yang tinggi.”

Selain korupsi yang merajalela, masalah yang masih mengakar kuat pada mayoritas masyarakat muslim di Indonesia yaitu memahami agama dalam tahap lahiriah saja. Salat sekadar ritual, membaca Al-Qur’an tidak sampai di tahap memahami maknanya termasuk pada aspek pengamalan, bersedekah dengan harapan akan dilipatgandakan hartanya oleh Allah, pergi umrah dengan memakai hijab yang benar tetapi saat pulang dilepaskan kembali, dan masih banyak lagi.

Untuk mengatasi krisis spiritualitas ini, dalam khazanah Muhammadiyah terdapat 3 model pendekatan ijtihad (usaha yang sungguh-sungguh) dalam keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih yang kerangka metodologi pengembangan pemikirannya yaitu pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Artinya Islam dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat, tidak sepotong-sepotong atau sebagian. Apabila Islam dipelajari secara parsial atau sebagian, apalagi bukan yang menjadi pokok ajarannya, hal ini biasanya mampu mengundang perpecahan umat.

Manusia dituntut tidak hanya beragama secara ritual, tetapi juga beragama secara spiritual. Agama tidak hanya dipahami sebagai sebuah tuntunan ritual ibadah, tetapi merupakan satu kesatuan antara aspek eksoterik dan esoteris sehingga kenikmatan dan keindahan dalam beragama tidak hanya bersandar pada aspek rasio tetapi juga aspek batin.

Allah berfirman di dalam sura Al-A’raf ayat 179, “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Sudah saatnya Muhammadiyah untuk memberikan pemahaman khususnya kepada warga persyarikatan dan umat Islam tentang aspek penting dalam ajaran agama. Yaitu, aspek spiritual sambil menyosialisasikan melalui forum formal dan informal Muhammadiyah, bahkan di setiap pelatihan perkaderan sekaligus memberikan pencerahan untuk bangsa ini. Harapannya, mampu mencegah sekurang-kurangnya meminimalisasi tindakan-tindakan yang mengoyak bangsa dan melukai umat Islam. (Ema)

uad.ac.id

https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Tarawih-Ramadan-di-Masjid-Islamic-Center-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-dengan-pemateri-Muhammad-Aziz-S.T.-M.Cs_.-Foto-Siti-Mawaddah-scaled.jpg 1451 2560 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-04-02 15:45:112023-04-02 15:45:11Spiritualitas yang Terkoyak di Masyarakat Indonesia
Page 38 of 71«‹3637383940›»

TERKINI

  • PPKO BEM Fakultas Psikologi Beri Pelatihan di Sekolah Perempuan Poetri Mardika07/11/2025
  • Hanif Menapaki Perjalanan Panjang Penuh Doa dan Usaha07/11/2025
  • Membangun Generasi Berdaya dengan Iman dan Karya07/11/2025
  • Program Studi Akuntansi UAD Sandang Akreditasi Unggul07/11/2025
  • Tak Menyerah Meski Tanpa Orang Tua, Nona Carolina Buktikan Mimpi Bisa Dicapai07/11/2025

PRESTASI

  • KPS FH UAD Raih Juara II dalam Kompetisi Surat Gugatan Lokajaya Law Fair 202507/11/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Gold Medal di National Writing Competition (NWC) Universitas Andalas 202507/11/2025
  • Staf Humas UAD Raih Juara II Lomba Desain Poster Internasional SEIFA 202507/11/2025
  • Mahasiswa UAD Torehkan Prestasi Internasional di Ahmad Dahlan International Seminar #3 Competition 202507/11/2025
  • Mahasiswa Psikologi UAD Raih Juara II Nasional Lomba Fotografi AP2TPI 202506/11/2025

FEATURE

  • Hakikat Takwa dalam Kehidupan28/10/2025
  • Tali Allah adalah Tali Persatuan28/10/2025
  • Meraih Amalan Ahli Surga22/10/2025
  • Perjalanan Salsabilla Raih Gelar Sarjana dalam 3,3 Tahun20/10/2025
  • Unlock Your Next Level15/10/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top