Salah satu kegiatan masyarakat di Maluku Utara (Foto: Risalatun Nadhiroh mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD))
Penulis Risalatun Nadhiroh
Peserta Program Pertukaran Mahasiswa Kampus Merdeka Kemendikbudristek RI
Mahasiswa Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Terapan, Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Provinsi Maluku Utara merupakan kota yang dikenal dengan rempahnya. Sesuai dengan catatan sejarah internasional, Maluku Utara merupakan bumi penghasil rempah-rempah terbaik sedunia sesuai dengan pendapat Touwe. S (2015). Tanah asal rempah-rempah adalah Maluku terutama Maluku Tengah dengan palanya dan Maluku Utara dengan cengkehnya. Namun, kali ini saya tidak akan membahas mengenai kekayaan alam ataupun sejarah di masa lalu yang dimiliki Maluku Utara.
Saya akan menelisik lebih dalam penobatan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi dengan penduduk paling bahagia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini. Benarkah Maluku Utara merupakan provinsi dengan penduduk paling bahagia di Indonesia? Kira-kira apa saja faktor yang membuat Provinsi Maluku Utara menyandang gelar tersebut? Apakah sesuai?
Dengan adanya penobatan tersebut, tanpa pikir panjang saya ingin sekali mengunjungi provinsi ini secara langsung. Dengan privilese sebagai seorang mahasiswa, saya memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan program pertukaran mahasiswa di Maluku Utara, tepatnya di Kota Ternate. Saat pertama kali tiba, banyak perbedaan didapatkan. Selain zona waktu yang berbeda 2 jam lebih cepat dari WIB, terdapat perbedaan seperti adat, tradisi, budaya, serta kebiasaan dari tempat asal saya tinggal.
Hal pertama yang membuat terkejut adalah ketika banyak motor terparkir di depan rumah dan toko dengan kondisi beserta kuncinya. Saya penasaran dan mulai bertanya kepada masyarakat lokal dan dosen di kampus. Jawaban-jawabannya membuat takjub, di mana setiap orang yang ditanya mengemukakan jawaban hampir sama. Mereka memaparkan bahwa masyarakat Ternate memiliki nilai moral yang tinggi sehingga tindak kejahatan seperti pencurian sangat jarang terjadi. Mereka leluasa meletakkan barang-barang tanpa khawatir akan kehilangan barang tersebut.
Saya sedikit meragukan pemaparan masyarakat mengenai hal tersebut, sampai satu waktu seorang teman lupa membawa pulang laptop yang ada di ruang kelas kuliah. Saat dicari, benar saja laptop tersebut tidak ada. Namun, ketika keluar ruangan kelas seorang pegawai kampus memanggil dan menanyakan apakah laptop yang ia bawa adalah milik teman saya. Ia mengatakan bahwa seorang mahasiswa menemukannya di dalam kelas dan menyerahkannya kepada pegawai kampus. Berdasar cerita tersebut saya mulai meyakini apa yang telah dikatakan masyarakat sekitar mengenai minimnya tindak kejahatan di Maluku Utara.
Empat bulan berada di sini dan mengunjungi berbagai tempat serta berinteraksi dengan banyak orang, membuat saya secara tidak langsung merasakan menjadi “penduduk paling bahagia”. Maluku Utara memiliki tingkat pengangguran rendah, yaitu berada pada angka 4,71% pada Agustus 2021, data ini berdasarkan sumber dari Badan Pusat Statistik 2021. Angka tersebut menunjukkan di bawah rata-rata nasional yang berada pada angka 6,49%. Hal itu terbukti dengan tidak adanya gelandangan maupun pengemis di Maluku Utara. Pengamen jalanan yang sering ditemui di Jawa, tidak ditemui di lampu merah atau jalanan mana pun di berbagai kota ini.
Saya juga menaruh perhatian pada pertukaran uang yang cepat di Maluku Utara utamanya di Kota Ternate. Meskipun UMP Maluku Utara sebesar Rp2.862.231,00 masyarakat mampu bertahan hidup dengan harga bahan pokok yang menurut pandanga saya cukup mahal. Masyarakat umumnya memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama. Maka dari itu, dengan pengeluaran yang besar mereka juga bisa dengan mudah mendapatkannya kembali uang yang sudah mereka keluarkan.
Fakta menarik selanjutnya adalah masyarakat, khususnya Ternate memiliki kultur cenderung egalitarian, terbuka, dan tidak terikat oleh aturan yang kaku sehingga warganya dapat berekspresi secara terbuka tanpa khawatir. Contohnya angkot di sini memutar musik dengan suara sangat keras. Masyarakat Ternate juga berisik tanpa kenal waktu, karaoke atau menyetel musik dengan suara keras sampai tengah malam tanpa ada yang menegur. Hewan peliharaan juga dibiarkan hidup liar sampai jalan raya sehingga pemilik tidak memerlukan tenaga serta biaya lebih untuk merawatnya, bahkan tanpa takut ternaknya hilang di ambil orang. Hal ini juga menunjukkan jika tingkat egalitarian masyarakat Maluku Utara sangat dominan, khususnya di Ternate.
Dari berbagai pengalaman tersebut, saya dapat menyimpulkan jika Maluku Utara layak mendapat gelar provinsi dengan penduduk paling bahagia karena tingkat kejahatan yang rendah, ekonomi bagus, masyarakat juga memiliki jiwa sosial yang tinggi, tingkat pengangguran rendah, serta pola pikir yang cenderung terbuka, dan tidak terikat oleh aturan yang kaku. Tidak heran jika gelar tersebut cocok dengan kondisi di Maluku Utara saat ini. Banyak faktor-faktor yang tidak disadari dan ternyata membuat masyarakat Maluku Utara menjadi penduduk paling bahagia di Indonesia.
uad.ac.id