Oleh Hendra Darmawan
Pemilihan Umum (pemilu) adalah sarana untuk memperbaiki arah kepemimpinan Nasional, regenerasi, mengembalikan Indonesia sesuai dengan cita-cita the Founding Fathers, menjadikan Indonesia Negara yang berdaulat, sejahtera, adil dan makmur. Partisipasi masyarakat tidak terkecuali pelajar sebagai pemilih pemula sangat menentukan harapan masa depan itu. HPL, hari perkiraan lahir dalam kontek pemilu 9 April 2014 adalah HPL bagi kepemimpinan nasional yang baru. Regenerasi lima tahunan dalam konteks kepemimpinan nasional harus terjadi. Estafet kepemimpinan itu harus disambut oleh calon pemimpin pengganti baik itu dari kalangan yang lebih muda atau tua.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R. Siti Zuhro optimis bahwa angka Golput pada Pemilu 2014 tidak akan berada di angka 50 persen. Siti memperkirakan angkanya akan berada pada 30-an persen. Angka tersebut masih bisa ditekan seminimal mungkin jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mau blusukan ke daerah-daerah hingga kepelosok-pelosok sekalipun untuk mensosialisasikan pemilu (web.antara.com). Dia katakan, 60 persen kantung-kantung suara itu berada di daerah-daerah, bukan di kota-kota urban atau provinsi. Karenanya, meskipun adanya sikap apatis dan tidak percaya lagi publik terhadap politikus dan pejabat negara, intensitas sosialisasi akan bisa memobilisasi masyarakat untuk mencoblos pada Pemilu mendatang.
Momentum 2014 menempatkan pelajar sebagai pemilih pemula yang digadang-gadang suaranya juga menentukan arah kepemimpinan nasional, arah legislasi dan yang pasti menjadi incaran banyak para caleg dan aktivis partai. Dalam tradisi sekolah masa lalu ada konsul-konsul perdaerah, embrio kepempiminan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dimunculkan dari bawah (grass root). Ada banyak pelajar senior yang diidolakan dan dapat menjadi kandidat ketua OSIS mewakili konsulnya, atau kelasnya masing-masing. Sistem keterwakilan, pencalonan, pendelegasian telah menjadi tradisi yang melekat pada siswa kala itu. Entah tauladan itu apakah masih eksis hari ini atau tidak sebagai proses pendidikan politik sejak dini. Para guru, kepala sekolah dan pihak-pihak terkait termasuk didalamnya komite sekolah, sangat berkesempatan untuk melakukan pendidikan politik jauh-jauh hari sebelum 2014. Isu tanggung jawab politik intelektual dalam hal ini pelajar yang juga menjadi pemilih pemula harus menjadi mainstreaming, isu yang diarusutamakan. Pelajar tidak lagi ditakut-takuti bahwasanya politik itu kotor, politik itu jahat. Ibn Khaldun (2012), menegaskan dengan gamblang hanyalah manusia sebagai makhluk Allah yang satu-satunya diberi potensi untuk berpolitik. Sehingga berpolitk harusnya menjadi manifestasi tertinggi dari prilaku terbaik manusia, akhlak manusia, etika manusia. Dengan terejawantahkannya akhlak karimah itu maka politik menjadi sesuatu yang mulia.
Tan Malaka muda, Sukarno muda, Sjahrir muda telah mencontohkan bagaimana pelajar harus melek realitas, melek politik dan melek kebijakan. Model debat semu yang biasa diselenggarakan bagi mahasiswa Fakultas Hukum, perlu dikenalkan pada pelajar, agar mereka tune in dengan isu-isu kebijakan pemerintah tentang pendidikan. Dengan pelajar melek isu politik pendidikan (politically literate), mereka tidak akan gamang realitas politik kekinian.
Pemilu Berintegritas
Pada tahun 2011, Electoral Integrity Group, mendeklarasikan keadilan Pemilu dengan judul “Towards an international Statement of Principles of Electoral Justice, terdiri atas 11 prinsip. Setahun kemudian Stockholm, global commission on election. Integrity dalam Pemilu, dalam laporan Deepening Democracy: A strategy for Improving the Integrity of Elections Worldwide. Ramlan Surbakti mengutip laporan di atas (Kompas 10/02/2014) dan mengharap pemilu di Indonesia dapat mengusung prinsip-prinsip integritas. Kita menginginkan pemilu 2014 itu bernilai keteladanan dalam berpolitik bagi bangsa Indonesia. Sejak tahapan-tahapannya sampai penentuan siapa mereka yang terpilih oleh rakyat. Stephen L Carter (1999), mendefinisikan integritas adalah “it is a journey not destiny”. Integritas adalah proses yang berkelanjutan dalam membangaun kapasitas baik individu maupun institusi dengan warna kebajiakan, keadaban public.
Dosa Sosial
Jauh sebelum Gustavo Gutierez mendeliberasikan teologi pembebasan, Rasyid ridha telah mempopulerkan Istilah dosa sosial (adz dzanbu al ijtimaiyyah) dipopulerkan oleh Syeh Muhammad Abduh dan ditulis ulang oleh muridnya Rasyid ridha dalam Tafsir Almanar Jilid 4 Surat Ali-Imran ayat 121. Keterangan itu terkait dengan upaya pembiaran sebagian kaum Muslimin terhadap mereka yang tidak konsisten berperang dan berjuang dijalan Alloh lalu meninggalkan medan perang karena tergoda dengan harta rampasan, meskipun mereka telah menang sekali dalam sebuah Ghazwah. Kaum muslimin tidak mengira bahwa kemenangan mereka atas campur tangan Alloh, sehingga mereka terlena dengan kemenangan yang baru sekali mereka raih. Mereka yang sadar dan tidak tergoda dengan kenikmatan sesaaat punya tanggung jawab untuk mengingatkan mereka, membangkitkan mereka dari kedzaliman, agar kembali ke jalan yang lurus. Jika mereka yang sadar itu membiarkan, mereka telah melakukan dosa sosial.
Ada kesamaan istilah dipostulatkan Gutierez dan Ridha. Konferensi para bishop di Medellin yang menjadi cikal bakal tradisi teologi pembebasan tiba pada konsep dosa sosial (structure of sin). Kemiskinan, ketertindasan, kebodohan adalah ekspresi tuhan dimuka bumi untuk menunjukkan dosa-dosa manusia. Keadaan yang demikian tidak boleh dibiarkan, karena pembiaran akan mengakibatkan dosa social.Konsep dosa social (social sins) yang lain diintrodusir oleh Gandhi. Salah satu dosa social menurut gandi adalah politik tanpa prinsip (Politics Without Principle). Politik tanpa prinsip inilah yang kita waspadai dan harus menjadi concern kita bersama. Jangan sampai pendidikan politik tidak terjadi dan hanya terjebak pada politik transaksional,demokrasi “wani piro”, dan kebusukan-kebusukan yang lain.
Partisipasi, Hindari dosa sosial
Perubahan paradigma, bahawasanya hanya melalui jalur politiklah obsesi-obsesi keummatan, public dapat dengan cepat terwujud. Tidak heran kalo akhir-akhir ini ada pragmatisme sesaat yang dilakukan kalangan tertentu baik oleh caleg maupun partai politk yang sejak lama tidak pernah dekat dengan rakyat, dengan konstituennya, baru akhir-akhir ini mendekat kembali demi meraih apa yang disebut status quo-terpilihnya kembali (re-elected) mereka dalam pileg atau pemilu 2014. Ikatan emosional, ikatan primordial dan terlebih ikatan patronase antara calon pempimpin dan calon konstituennya. Trust, kepercayaan antar kedua belah pihak adalah modal utama pemimpin dalam memulai karir politiknya. Sekali ia mengkhianati konstituennya, kepercayaan yang diembankan masyarakat padanya sulit untuk ditebus dalam waktu dekat. Meskipun kadang ingatan masyarakat sangatlah pendek, kadang tidak mengambil pelajaran dari kejadian sebelumnya, sehingga suara hanya digadaikan pada kepentingan sesaat, uang alakadar dan rela kedaulatan diabaikan. Ini dua hal yang paradox yang potensial menjadi dosa sosial pasca pemilu 2014, harus kita hindari dan antisipasi, camkanlah!.
*) Dosen PBI FKIP Univ. Ahmad Dahlan, mahasiswa American Studies, Graduate School of GMU.