Keutamaan Sayyidul Istighfar dalam Kehidupan
Kajian Rutin Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali diadakan pada Minggu, 14 Juli 2024. Rahmadi Wibowo Suwarno, Lc., M.A., M.Hum. selaku Kepala Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD didapuk menjadi pemateri kajian. Tema kajian yaitu tentang “Sayyidul Istighfar”.
Menurut agama, makmur itu terbagi menjadi dua, yaitu makmur dzahir dan makmur batin. Makmur dzahir itu yang biasa tampak, biasanya tercukupi kebutuhan primernya termasuk sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Makmur batin adalah hati yang tenang, dapat memaknai hidup, beribadah yang khusyuk.
Sayyidul istighfar yang sering dibaca ketika pagi dan sore adalah berasal dari sebuah hadis. Istighfar berasal dari kata ghofara yang artinya menutup atau menghapus. Selain menutup dosa, istighfar juga menutup bisikan hati yang buruk, niat jahat, dan sisi jasmani manusia yang tidak pantas dilihat (aib). Istighfar menurut ulama disebut dengan permohonan dengan perkataan atau perbuatan.
Istighfar adalah perintah agama dan manusia tidak akan terlepas dari perbuatan dosa, baik dosa yang tampak ataupun yang samar. Dosa adalah segala sesuatu yang menyalahi atau melanggar perintah Allah Swt., baik itu meninggalkan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Swt. atau melakukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya. Salah satu kitab yang dikarang oleh Adz-Dzahabi yang berjudul Al-Kabair yang artinya dosa besar dapat dijadikan referensi untuk mengetahui dosa. Salah satu contoh dosa yang paling besar adalah syirik.
Allah berfirman pada Surah Az-Zumar ayat 53, yang artinya: Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Sayyidul istighfar diawali dengan pengakuan atau i’tiraf yakni menunjukkan ketawadhuan seorang hamba kepada Allah. Bahkan di beberapa kitab syarah hadis, di antara keutamaan adab untuk memohon apa pun kepada Allah dianjurkan untuk mengawalinya dengan kerendahan diri.
Yusuf Al-Qardhawi menyebut di antara karakteristik ajaran agama Islam selain akhlaqiah dan ilahiah juga ada waqi’iah atau sesuai dalam kondisinya. Jadi dalam beragama tidak ada paksaan, dan dalam melakukan peribadahan sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kebahagiaan tertinggi seorang hamba adalah diampuni dosa-dosanya kemudian masuk surga. Selain ibadah-ibadah yang dilakukan hendaknya juga beristighfar, dengan salah satu adabnya yaitu memperbanyak pujian. (Lus)