Mengupas Pendidikan Kefarmasian di Indonesia
“Saat ini di Indonesia mempunyai empat Program Sarjana Farmasi, yaitu Sains dan Teknologi Farmasi, Farmasi Klinik dan Komunitas, Farmasi, dan Farmasi Klinis. Empat itu kemudian disederhanakan menjadi dua, Farmasi dan Sains Farmasi,” ucap Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc. selaku Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI).
Ia melanjutkan, menurut data format Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT), tercatat Program Studi Farmasi di Indonesia sejumlah 295 dari berbagai universitas. Oleh karena itu, kemampuan akademik Farmasi dan keterampilan profesi Apoteker harus sejalan dengan dasar-dasar kemampuan akademik sesuai kurikulum. Hal tersebut akan berdampak pada garansi mutu pendidikan, khususnya bidang Farmasi, sehingga nantinya dapat menjalankan praktik secara beretika dan bertanggung jawab diselaraskan kurikulum yang berlaku, Sumber Daya Manusia (SDM), serta peran mahasiswa tersebut.
“Struktur kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker sekurang-kurangnya itu Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilakukan minimal 1.200 jam dengan 26 SKS. Studi kasus sebagai pengantar PKPA mencakup 4 SKS dan Ujian Apoteker adalah 2 SKS. Sesuai dengan Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, mahasiswa di bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi itu harus mengikuti uji kompetensi secara nasional. Jadi, sebelum lulus Apoteker harus lulus uji kompetensi,” papar Daryono.
Lebih lanjut Dr. apt. Dwi Utami, M.Si. yang merupakan Kepala Program Studi (Kaprodi) S1 Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menjelaskan mengenai implementasi kurikulum Program Studi S1 Farmasi. Tahapan penyusunan kurikulum dimulai dari penyusunan profil lulusan, rumusan capaian pembelajaran, masuk dalam mata kuliah, dan struktur kurikulumnya. Saat penyusunan kurikulum, dosen juga melakukan survei terhadap mahasiswa sehingga implementasi kurikulum dapat dirasakan oleh seluruh sivitas akademika Program Studi Farmasi. Kompetensi Sarjana Farmasi ini difokuskan pada menguasai konsep teoretis.
“Kompetensi Sarjana Farmasi harus paham tentang sosio farmasi, hukum dan etika farmasi, teknik komunikasi, dan keselamatan kerja. Sebab, dimungkinkan ada ilmu sosial humaniora yang masuk untuk mengakomodasi literasi manusia,” papar Dwi.
Terakhir Dwi menyampaikan, domain pembelajaran implementasi kurikulum S1 Farmasi mengakomodasi tiga hal yaitu aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Kognitif merupakan kemampuan berpikir, psikomotor berkaitan dengan keterampilan anggota badan yang memerlukan koordinasi saraf dan otot, serta afektif berorientasi dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap. Ketiga aspek ini harus dibangun secara kolaboratif, komprehensif, dan saling bersinergi satu sama lain.
Penjelasan Daryono dan Dwi tersebut berlangsung pada Minggu, 19 Juni 2022, dalam Webinar Mata Kastrad dengan tajuk “Kupas Bersama Pendidikan Kefarmasian di Indonesia” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Acara digelar secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube BEM Farmasi UAD. (frd)