Rendra Widyatama (Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan)
Di tengah masyarakat, kita sering mendengar lembaga pendidikan yang mengatakan mengkampanyekan dirinya sebagai berbiaya murah tapi berkualitas. Artinya, lembaga pendidikan tersebut mematok biaya pendidikan yang murah, namun tetap mampu menjaga kualitas diri sebagai lembaga yang berkualitas. Dalam perspektif komunikasi pemasaran, citra seperti ini sebenarnya mengundang sejumlah dilema. Apa sajakah?
Kecenderungan
Pada umumnya, lembaga pendidikan tinggi (swasta) di Indonesia menggantungkan biaya operasional dari uang sumbangan pendidkan dari peserta didiknya. Berkurangnya jumlah peserta didik berarti pemasukan institusi tersebut berkurang.
Penurunan jumlah peserta didik pada sebuah lembag tentu menjadi masalah sangat serius. Sebab biaya operasional lembaga akan terganggu. Karena perguruan tinggi di samping melakukan pengajaran juga harus menjalankan kegiatan penelitian dan pengabdian, tentu aktifitas-aktifitas tersebut akan terganggu. Umum terjadi, kegiatan di luar pengajaran akan berkurang. Bahkan dalam banyak kasus akan dipangkas alias dihilangkan.
Tentu saja, keadaan seperti ini membawa konsekuensi besar. Sebab sudah jamak dipahami, selama ini saja, dosen sering mengeluh karenea kecilnya dana penelitian yang disediakan. Bagaimana jadinya, kalau dana yang sudah mepet tersebut semakin dikurangi? Bagi yang tidak menyadari bahwa penelitian dan pengabdian adalah sebagai kewajiban, mungkin dua hal tersebut malah tidak akan dilakukan.
Jadi, pengurangan dana bagi pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, sudah tentu akan bepengaruh pada kuantitas dan kualitas kampus yang bersangkutan. Bila seperti ini, tentu kampanye murah tapi berkualitas tidak akan pernah memperlihatkan hasilnya.
Budaya
Selain logika di atas, tagline murah tapi berkualitas juga terhambat pada faktor budaya. Luas dan kuat berlaku di masyarakat, adanya persepsi bahwa harga akan berbanding lurus dengan kualitas. Harga yang mahal berarti kualtias yang tinggi. Sebaliknya, harga yang murah akan menunjukkan kualitas yang rendah pula. Persepsi seperti ini sudah dikenal kuat, luas dan berakar di tengah masyarakat sehingga sudah menjadi keyakinan dan budaya.
Keadaan tersebut tentu tidak dapat diabaikan. Konsep murah tapi berkualitas, jelas berbanding terbalik dengan persepsi, keyakinan dan budaya masyarakat. Pemaksaan tema kampanye murah tapi berkualitas dipastikan tidak akan bisa mewujudkan harapan. Bila demikian, akan sia-sia saja kampanye yang dilakukan, alias menghambur-hamburkan uang. Iklan yang berhasil adalah iklan yang sejalan dan atau didukung oleh budaya. Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Solusi
Ada dua saran yang bisa saya berikan. Pertama, hentikan saja kampanye murah tapi berkualitas tersebut. Alihkan saja biaya promosi untuk pos kegiatan yang lain.
Bila tema promosi murah tapi berkualitas tetap akan dilakukan, maka Anda perlu melakukan langkah kedua yang tidak gampang. Caranya, sertailah promosi yang dilakukan tersebut dengan mempublikasikan prestasi-prestasi yang diraih oleh lembaga dan civitas akademika sebanyak-banyaknya. Tanpa tindakan seperti ini, kampanye murah tapi berkualitas hanya seperti menegakkan benang basah saja.
Pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah keterbatasan dana yang ada, bagaimanakah kita dapat berprestasi?
Pertanyaan sederhana tersebut bukanlah pertanyaan mustahil yang tidak ada jawabanya. Mungkin terdengar sok, berlagu, dan sisi positifnya heroik. Di tengah keterbatasan (khusunya dana) namun dituntut melahirkan banyak prestasi, maka diperlukan sikap positif sebagai kunci utama. Secara mendasar, kunci dari sikap ini adalah, kita harus pandai menghargai diri sendiri. Sekecil apapun hal positif yang ada pada kita, sampaikanlah sebagai sebuah prestasi. Sederhana, bukan?