Meramal Gagasan Koalisi Partai Islam di 2014
Anang Masduki*
Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Namun seolah ibarat timur dan barat. Partai islam sulit bernafas, apalagi mendulang suara, akhir-akhir ini. Sehingga pemilu tahun 2014, banyak pengamat yang memprediksi partai islam juga tidak akan banyak berkiprah. Memang partai islam pernah berjaya saat pemilu 1955, dimana partai Masyumi memperoleh kursi yang cukup signifikan. Selain itu, sepak terjang partai islam juga pernah menorehkan keberhasilan dengan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden tahun 1999.
Maka akhir-akhir ini muncul wacana koalisi partai-partai islam guna mengusung calon presiden pada pemilu 2014 mendatang. Wacana yang digagas oleh PPP beberapa waktu lalu menuai pro dan kontra. Ada yang mengapresiasi gagasan tersebut, namun juga ada yang mencibirnya. Masuk akal sebenarnya, karena kans partai islam memperoleh suara 20% untuk memenuhi ambang batas sehingga dapat mencalonkan presiden (presidential threshold) kecil, maka solusinya partai-partai islam harus melakukan koalisi, meski itu tidak mudah.
Selain faktor presidential threshold, ruang untuk koalisi semakin lebar karena fragmentasi politik yang terjadi pada partai-partai islam, akhir-akhir ini tidak bersifat idiologis. Ini bisa dicermati ketika melihat platform masing-masing partai. PKB yang lahir dari rahim NU dan PAN dari Muhammadiyah telah menjadi partai revormis yang terbuka. Bahkan PKS yang selama ini menjadi ikon partai dakwah juga telah menyatakan terbuka terhadap semua golongan. Sehingga kemudian faktor pragmatism politik (bagi-bagi kekuasaan) yang meneguhkan untuk mewujudkan koalisi tersebut.
Permasalahan yang muncul, siapa yang akan dijadikan calon presiden saat pemilu 2014 mendatang. Mengingat partai-partai islam minim kader yang memiliki elektabilitas yang tinggi. Sejumlah survey memperlihatkan justru kader partai nasionalis yang memiliki elektabilitas cukup tinggi. Sebut saja misalnya Jokowi, Prabowo Subianto.
Jika yang dimunculkan adalah Mahfud MD, Rhoma Irama atau Hidayat Nurwahid, secara popularitas memang cukup dikenal luas. Permasalahannya adalah, popularitas bukan penentu seseorang akan dipilih ketika pemilu. Dalam komunikasi politik, penentu seseorang dipilih adalah persepsi publik. Bagaimana sosok calon presiden tersebut. Istilah Jawanya, bibit, bobot dan bebet. Bibit merujuk pada tingkat keturunan seseorang, atau ketokohan seseorang. Bobot merujuk pada kekuasaan yang dimiliki seseorang. Adapun bebet merujuk pada seberapa banyak kekayaan yang dimiliki seseorang. Jangan sampai karena secara finansial lemah kemudian menjadikan presiden sebagai pekerjaan, bukan pengabdian.
Selain itu, Mahfud MD tidak memiliki partai politik. Adapun Hidayat Nurwahid, ketika pilkada Gubernur DKI saja tidak mampu unjuk gigi. Mahfud MD memang memiliki kedekatan dengan PKB dan tokoh NU, akan tetapi itu belum cukup sebagai modal untuk membangun koalisi partai-partai Islam. Dan jika maju menggunakan jalur independen, secara konstitusi ketatanegaraan di Indonesia belum membuka ruang untuk itu. Sungguh sebuah ironi jika partai-partai islam hanya menjadi pelengkap dan pengembira di pemilu 2014 mendatang.
*penulis adalah Dosen Komunikasi UAD dan aktivis Intelektual Muda Muhammadiyah (IMM)