Wajah Muram Benteng Terakhir Keadilan
Anang Masduki*
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Baron Acton (1834–1902).
Kutipan kalimat di atas seolah mengambarkan secara komprehensif situasi negeri ini. Sejak kamis malam 3/10/2013 masyarakat negeri ini diguncang dengan pemberitaan tertangkapnya Akil Mochtar, ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK, diduga menerima suap sekitar 4 milyar. Tidak tanggung-tanggung, suap itu menyangkut dua kasus sekaligus. Yaitu terkait kasus sengketa pilkada di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan pilkada Lebak, Banten yang sedang ditangani oleh MK.
Karena menyangkut penjaga benteng terakhir keadilan di negeri ini, pemberitaan semua media fokus pada kasus ini, termasuk media luar negeri beramai-ramai menjadikan berita ini sebagai headline. Bahkan di dalam negeri yang sebentar lagi akan menerima tamu puluhan kepala Negara guna menyelengarakan konferensi APEC di Bali seolah pemberitaannya tenggelam oleh riuhnya pemberitaan kasus ini.
Selain menarik diberitakan, kasus ini juga menciderai rasa keadilan pada masyarakat. Hal ini terkait kewenangan yang diberikan UU pada lembaga bernama Mahkamah Konstitusi. Di mana lembaga agung ini memiliki beberapa kewenangan penting. Pertama, ia berwenang menguji produk undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan kewenangan yang begitu besar, tentu yang menjadi hakim konstitusi adalah orang-orang terbaik. Namun fakta ternyata berkata lain. Sampai-sampai presiden SBY keesokan harinya mengelar jumpa pers untuk memberikan reaksi dan menyatakan keprihatinannya.
Sosok Akil Mochtar bukannya orang yang bersih dari gosip. Sekitar tahun 2010 Refli Harun pernah menulis sebuah artikel di salah satu media. Bahwa ketika menjadi pengacara salah satu kandidat bupati kabupaten Simalungun yang saat itu sedang bersengketa di MK, ia pernah menyaksikan ada sejumlah uang yang menurut kliennya akan diberikan pada hakim Akil Mochtar. Namun, saat itu nama Akil Mochtar direhabilitasi karena menurut komite etik dan juga menurut KPK tidak ada bukti.
Tidak mudah mengembalikan marwah atau wibawa benteng terakhir keadilan, MK. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, yang tertangkap adalah sosok ketua MK, seorang ketua hakim yang seharusnya memberi teladan dalam proses penegakan hukum yang bersih dan adil. Menyangkut hal ini, sosok ketua MK sebelumnya berharap KPK menuntut hukuman seberat-beratnya, bahkan Jimly Asshiddiqie menyarankan dituntut dengan hukuman mati. Kedua, kasus ini makin meneguhkan betapa rusaknya seluruh elemen dempkrasi di Negara ini. Kasus ini menyeret bukan hanya lembaga yudikatif, yaitu Akil Mochtar, melainkan juga lembaga eksekutif yaitu kepala daerah Gunung Mas dan Lebak, dan lembaga legislatif yaitu anggota DPR dengan inisial CN. Ini menunjukan bahwa korupsi telah berhasil memberangus seluruh elemen dan sendi Negara. Artinya, Indonesia sedang mengalami situasi darurat terhadap penyakit yang bernama korupsi. Lantas di mana sebenarnya peran pemimpin tertinggi bangsa ini?. Ketiga, kasus ini akan menimbulkan persepsi publik bahwa semua hakim di MK jangan-jangan juga mudah disuap, mengingat sang ketua dengan mudah menerima suap. Dikhawatirkan imbasnya ke depan adalah siapa pun yang menang dalam sengketa di MK, jangan-jangan ada praktek suap di belakangnya.
Meskipun demikian, sejumlah hakim MK yang lain seperti Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar meminta tidak mengaitkan antara kasus pribadi dengan institusi. Ibarat lumbung padi yang dihuni tikus, maka jangan dibakar lumbungnya, melainkan ambil tikusnya.
Ada yang perlu dikoreksi terkait sistem ketatanegaraan kita. Pemilihan kepala daerah dengan sistem pemilihan langsung, ternyata memerlukan ongkos politik yang tidak sedikit (high cost). Sehingga hampir sebagian dari Bupati/Wali Kota maupun Gubernur yang terpilih di Negara ini terjerat kasus korupsi. Itu semua guna mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan selama kampanye. Korupsi bukan hanya disebabkan oleh mental pejabat yang korup, melainkan juga oleh sistem yang memberi keleluasaan untuk melakukannya. Selain high cost system pemilihan langsung juga banyak menimbulkan konflik horisontal yang melibatkan antarpendukung. Bahkan banyak yang telah menjadi korban. Tercatat selama tahun 2013 saja korban tewas mencapai 50 orang. Tentu hal ini tidak perlu diteruskan. Maka sudah saatnya undang-undang tersebut ditinjau ulang.
*penulis adalah Dosen Komunikasi UAD dan Direktur Eksekutif Dassein Institute

Tapak Suci Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Raih Juara Umum III pada Kejuaraan Nasional Tapak Suci Indonesia Open UNAIR CUP ke II yang berlangsung di Gedung Olahraga kampus C jalan Mulyorejo Surabaya pada Tanggal 2-6 Oktober 2013 Rabu-Sabtu.
“Wireless Sensor Network (jaringan sensor nirkabel) adalah suatu jaringan nirkabel yang terdiri dari kumpulan node sensor yang tersebar di suatu area tertentu (sensor field). Tiap node sensor memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data dan berkomunikasi dengan node sensor lainnya. Kemajuan teknologi Wireless Sensor Network (WSN) yang pesat tidak lepas dari fakta bahwa sekitar 98% prosesor bukan hanya berada di dalam sebuah PC/Laptop, namun juga sudah terdapat di dalam beberapa aplikasi lainnya seperti di dalam aplikasi militer, kesehatan, remote control, chip robotic, alat komunikasi, dan mesin-mesin industri yang telah terintegrasi dengan sensor. Dengan adanya teknologi WSN, kita dapat memonitor dan mengontrol temperatur, kelembaban, kondisi cahaya, level derau, pergerakan suatu objek dan sebagainya.
UAD melaksanakan penandatanganan surat perjanjian kerja sama dengan Universiti Sultan Zainal Abidin Malaysia (UnisZa) Malaysia pada hari Sabtu (28/09/2013) lalu. Acara berlangsung di ruang sidang utama Kampus I UAD. Penandatangan dilakukan oleh Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum. dan Vice Chancellor (Rektor) UnisZa, Prof. Dr. Yahaya bin Ibrahim dengan saksi Director of Vice Chancellor Office UnisZa Dr. Ahmad Azrin bin Adnan dan Wakil Rektor IV UAD, Prof. Sarbiran, M.Ed. Ph.D.
Auditorium Kampus I UAD menjadi saksi dicetuskannya “Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu 2014”. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Fakultas Hukum UAD menjalin kerja sama dalam Seminar Nasional “Peran Perguruan Tinggi dan Sekolah dalam Pengawasan Pemilu 2014” yang diselenggarakan hari Jumat (27/9). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mendorong masyarakat, terutama mahasiswa dan pelajar untuk menyukseskan pemilu 2014. Seminar ini dihadiri oleh Dr. Muhammad, S.IP., M.Si. (Ketua Bawaslu RI), Dr. Ferry Rizky Kurniawan (anggota KPU RI), Dr. Zaenal Arifin, S.H., LL.M. (Pengamat Politik dan Pegiat Anti Korupsi), dan Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H (Dekan Fakultas Hukum UAD).
Yogyakarta (8/10), sebelas stand produk Posdaya Universitas se-DIY dan Jateng berkumpul di gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pameran Produk Posdaya diselenggarakan dalam rangka mensyukuri kelahiran UIN Sunan Kalijaga ke-62 serta memamerkan produk posdaya dari sebelas universitas se-DIY dan Jateng.
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi” (QS Al-Mutaffifin ayat 1-3)