Bimawa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) gelar seminar bertajuk “Miras dan Potensi Konflik Sosial dan Deklarasi Penolakan Miras di DIY” (Dok. BHP UAD)
Yogyakarta, minuman keras kini menjadi barang yang sangat mudah didapatkan, tak ubahnya seperti membeli es teh di angkringan pinggir jalan. Tidak hanya minuman oplosan lokal yang sudah lama menjadi sorotan karena dampaknya yang sering merenggut nyawa, kini minuman keras impor juga mulai beredar secara luas dengan kehadiran toko-toko khusus yang menjualnya secara terang-terangan. Fenomena ini menjadi lebih mencolok karena sebelumnya, minuman beralkohol hanya ditemukan di tempat-tempat tertentu seperti hotel, klub malam, minibar, supermarket, atau lokasi lain yang secara khusus melayani wisatawan
Saat ini, minuman keras mulai hadir di lingkungan yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, bahkan di area pinggiran kota. Pola peredarannya menyerupai sistem waralaba yang berkembang pesat, seolah menormalkan kehadirannya di tengah masyarakat. Kondisi tersebut kian mengkhawatirkan karena muncul di saat sebagian besar masyarakat menunjukkan sikap yang semakin permisif terhadap permasalahan seperti ini, baik karena kurangnya kesadaran akan dampak negatifnya maupun karena lemahnya pengawasan.
Dalam upaya proaktif mencegah dampak buruk miras dan potensi konflik sosial yang ditimbulkannya, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melalui Biro Kemahasiswaan dan Alumni (Bimawa) menyelenggarakan seminar bertajuk “Miras dan Potensi Konflik Sosial dan Deklarasi Penolakan Miras di DIY” dilaksanakan di Ruang Amphitharium Kampus IV pada Senin, 25 November 2024. Seminar ini menghadirkan narasumber yaitu Dr. Iwan Setiawan, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, yang membahas bahaya miras dan peran penting kita serta organisasi masyarakat Islam dalam menghadapinya.
Selain itu, Dr. Hadi Suyono, M.Si., dosen Psikologi UAD, menyajikan paparan mendalam mengenai dampak sosial peredaran miras dari perspektif psikologi sosial. Melalui kegiatan ini, UAD berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif bagi masyarakat.
Iwan dalam materinya menyampaikan bahwa situasi ini menimbulkan kegelisahan di kalangan para agamawan yang merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak buruk peredaran minuman keras yang semakin tak terkendali. Mereka tidak hanya mengangkat isu ini sebagai persoalan moral, tetapi juga sebagai ancaman nyata terhadap kesehatan, tatanan sosial, dan keberlanjutan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam upaya menyadarkan pemerintah dan masyarakat, para agamawan menekankan pentingnya tindakan bersama untuk mengatasi persoalan ini sebelum semakin banyak dampak negatif yang dirasakan. Mereka menyerukan penguasa untuk mengambil langkah tegas guna membatasi peredaran minuman keras dan meningkatkan pengawasan. Dengan mengutip kata-kata bijak dari puisi Rendra, mereka mengingatkan bahwa “orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan agar kehidupan tetap terjaga.” Pesan ini tidak hanya menjadi seruan moral, tetapi juga ajakan bagi seluruh elemen masyarakat untuk bangkit, bersikap proaktif, dan bersatu demi menjaga kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Tidak kalah menarik, Hadi sebagai pemateri kedua turut memberikan poin-poin penting dalam seminar ini yang harus kita ketahui. Harapannya, kita mampu mengondisikan diri agar terhindar dari kelompok dan pergaulan yang salah, terlebih kita sebagai mahasiswa yang seharusnya mampu andil mengedukasi masyarakat selain dengan edukasi pada diri sendiri.
Beberapa poin pondasi teoretis identitas sosial sebagai faktor minuman keras dalam penyebab konflik sosial adalah sebagai berikut.
Identitas Diri dan Loyalitas terhadap Kelompok
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk mempertahankan identitas diri yang berkaitan erat dengan kelompok tempat mereka bernaung. Dalam konteks konflik sosial yang dipicu oleh isu seperti peredaran minuman keras, anggota kelompok sering kali tampil membela kelompoknya ketika terjadi perselisihan dengan kelompok lain. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas, dengan harapan bahwa keberpihakan tersebut dapat mendatangkan penghargaan, baik dari anggota kelompok sendiri maupun dari pihak luar. Pembelaan ini sering kali tidak didasarkan pada pertimbangan objektif, melainkan semata-mata untuk memperkuat posisi kelompok dalam rangka menjaga reputasi atau status sosialnya.
Superioritas Kelompok dan Reaksi terhadap Ancaman
Kecenderungan untuk merasa bahwa kelompoknya lebih unggul dibandingkan kelompok lain dapat memicu konflik, terutama jika kelompok mereka merasa direndahkan atau diremehkan. Ketika kelompok tertentu menerima perlakuan yang dianggap sebagai ancaman terhadap martabat atau status mereka, reaksi yang muncul sering kali berupa serangan balik terhadap kelompok yang dianggap sebagai pelaku penghinaan. Sikap defensif ini dapat memperburuk hubungan antarkelompok, menciptakan lingkaran konflik yang sulit dihentikan.
Bias Kelompok dan Penilaian Tidak Objektif
Bias kelompok adalah salah satu penyebab utama munculnya konflik sosial. Anggota kelompok cenderung memandang kelompok mereka sendiri sebagai pihak yang selalu benar dan enggan mengakui kesalahan. Sebaliknya, kelompok lain sering kali dinilai secara negatif tanpa mempertimbangkan fakta atau bukti yang ada. Pola pikir ini menimbulkan pandangan hitam-putih, di mana kelompok sendiri dianggap superior, sementara kelompok lain dianggap sebagai sumber masalah. Ketidakmampuan untuk melihat perbedaan secara objektif ini semakin memperuncing konflik, terutama ketika isu seperti peredaran miras menjadi pemicu.
Perbandingan Sosial dan Polarisasi Kelompok
Identitas kelompok sering kali terbentuk melalui perbandingan dengan kelompok lain. Proses ini, meskipun wajar dalam dinamika sosial, dapat menjadi sumber perpecahan ketika perbedaan yang ada justru diperbesar dan digunakan untuk menegaskan superioritas kelompok tertentu. Alih-alih membangun hubungan yang harmonis, perbandingan semacam ini cenderung memperlebar jurang pemisah antarkelompok. Dalam kasus minuman keras, misalnya, perbedaan pandangan atau sikap terhadap miras dapat menjadi alasan untuk saling menjatuhkan, menciptakan ketegangan yang memicu konflik terbuka. (Lin)
uad.ac.id