Kiblat dan Masyarakat Islam Ideal
Kajian Rutin Bakda Magrib Masjid Islamic Center UAD (Universitas Ahmad Dahlan) kembali digelar pada Rabu, 5 Januari 2021, melalui siaran langsung di kanal YouTube Masjid Islamic Center UAD. Dengan mengusung tema “Kiblat dan Masyarakat Islam Ideal” Al-Baqarah 142‒152 Bagian 1, kajian rutin yang diadakan oleh UAD, Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD, Masjid Islamic Center UAD, dan Pesantren Mahasiswa K.H. Ahmad Dahlan (Persada) menghadirkan Ustaz Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., M.Ag. sebagai pemateri. Ia juga merupakan dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UAD, anggota di Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, sekaligus sebagai Imam Besar Islamic Center UAD.
Umat Islam sebagai golongan penengah mempunyai tugas yang tidak ringan, di dalamnya terdapat tugas internal maupun eksternal, yakni meyakinkan keimanan di dalam diri sendiri serta meyakinkan keimanan atas orang lain, yang disebut sebagai syiar. Orang-orang yang beriman inilah akan selalu mendapat petunjuk dari Allah.
Dalam penyampaiannya terkait tema kajian, Nur mengungkapkan, “Kalau dilihat dari munasabah ayatnya, surah Al-Baqarah ayat 142 dan 152 ini erat terkait dengan ayat-ayat sebelumnya, terutama yang dimulai pada surah Al-Baqarah ayat 130. Dalam ayat-ayat sebelumnya ini, membahas tentang agama yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim, atau biasa disebut Millah Ibrahim, yang kemudian menjadi panduan dari para pemeluk agama-agama sesudahnya.”
“Pada surah Al-Baqarah ayat 135 bahwasanya hanif di ayat ini adalah orang yang cermat dalam menempuh jalan istikamah. Dengan kualitas hanif ini, maka apa yang dipraktikkan Nabi Ibrahim menjadi suatu tuntunan yang menekankan pada keberagaman etis, atau keberagaman iman kepada Allah dengan keterlibatan yang intens di dalam kehidupan,” jelas Nur.
Nur juga menyampaikan, pada keyakinan bahwa sebenarnya salat telah lebih dahulu dilakukan sebelum peristiwa Isra Miraj, ini bisa didasarkan pada Surah Hud ayat 114 dan Thaha ayat 132. Ia menerangkan bahwa fenomena ini juga bisa didasarkan pada suatu idealitas keberagaman Islam, yang berkerangka Millah Ibrahim.
Nur menambahkan, “Sebelumnya, arah kiblat ke Baitul Maqdis bukanlah berdasarkan wahyu, melainkan karena tradisi saja, kemudian Nabi Muhammad memohon kepada Allah agar memerintahkan peralihan arah kiblat ke Masjidil Haram. Inilah yang akhirnya menjadi perbedaan, dari yang semula arah kilat berdasar tradisi ke arah kiblat yang berdasarkan wahyu, atau perintah Allah melalui Al-Qur’an.” (didi)