Kisah Sultan Hassanal Bolkiah, Pedagang Kaki Lima, dan Naifnya Calon Mempelai Wanita
Dalam Islam, pernikahan adalah salah satu ibadah yang bernilai kebaikan sangat besar. Untuk melaksanakannya, pernikahan haruslah sempurna dari rukun dan syaratnya. Dari pendapat mayoritas ulama, meski bukan termasuk dari rukun dan syarat nikah, pemberian mahar oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita tidak boleh dianggap remeh. Bahkan, dianggap berdosa dan dinilai telah meninggalkan kewajiban jika calon mempelai pria tidak memberikan mahar, walaupun pernikahannya dinyatakan sah.
“Apa yang dimaksud dengan mahar? Sejatinya di dalam menerangkan segala sesuatu haruslah berangkat dari definisinya terlebih dahulu, agar tidak keliru dalam memahaminya kemudian,” ucap Ustaz Budi Jaya Putra, S.Th.I., M.H., saat menjadi pemateri kajian jelang buka puasa di Masjid Islamic Center, Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
“Secara bahasa, mahar adalah kata serapan dari bahasa Arab ‘muhuruun’ yang bermakna ‘maskawin’, ialah seserahan berupa barang atau uang yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita ketika melangsungkan pernikahan.”
Tayang secara langsung di kanal YouTube Masjid Islamic Center UAD, pada Senin, 11 April 2022, Kepala Pusat Tarjih UAD itu menjelaskan secara mudah perihal mahar dan bagaimana perilaku bijak dalam menyikapi nilai mahar yang akan diberikan di dalam suatu pernikahan.
Adapun dalil tentang pemberian mahar, Ustaz Budi menyampaikan bahwa ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang bisa dijadikan landasan, salah satunya ialah Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4. “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”
Ustaz Budi beranggapan bahwa pada umumnya masyarakat di Indonesia telah memahami hakikat maupun posisi penting mahar dalam suatu pernikahan. Namun, pemahaman ini sering kali tidak berjalan lurus dengan pemahaman terhadap nilai materi ataupun wujud mahar itu sendiri. Dengan dalil yang diperoleh dari Al-Qur’an dan hadis tanpa memahami asbabul wurud-nya, calon mempelai wanita kerap salah kaprah lagi naif.
Mengutip dari Hadis Riwayat Ahmad, di zaman Rasulullah terjadi pernikahan dengan mahar sepasang sandal, “Lalu adakah mahasiswa UAD saat ini yang kelak berkenan menikah atau dinikahkan dengan mahar sepasang sandal pula?” gurau Ustaz Budi.
Sepasang sandal, zirah perang, sampai hafalan Al-Qur’an merupakan beberapa wujud mahar yang diberikan pada saat itu di zaman Rasulullah. Tapi bukan tanpa alasan, itu diberikan oleh para calon mempelai pria dikarenakan mereka tergolong tidak mampu dari segi materi.
“Karena pria yang datang kepada Rasulullah untuk minta dinikahkan adalah seorang yang tidak mampu, maka solusinya ialah dengan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar nikah. Namun jika seorang mempelai pria mampu dalam artian ekonomi maupun materi, bijak kiranya mahar berupa sesuatu yang bernilai,” Ustaz Budi menambahkan.
Sebagai penguat dari penjabaran yang disampaikan, Ustaz Budi turut menyertakan Hadis Riwayat Sunan Abu Dawud 2117, “Dari Uqbah Bin ‘Amir (diriwayatkan) Rasulullah saw. bersabda, sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah baginya (calon suami).”
“Bisa disaksikan dari hadis ini, bahwa yang ditekankan ialah ‘paling mudah bagi calon suami’, dan yang mudah tidak selalu bermakna murah. Dari sinilah salah kaprah biasanya bermula, karena ingin dianggap calon istri yang salihah oleh calon suaminya, tanpa melihat asbabul wurud dalil, calon mempelai wanita menganggap yang mudah bagi calon mempelai suaminya ialah yang murah. Alhasil, si calon mempelai wanita pasrah saja perihal mahar. Padahal siapa tahu, calon mempelai prianya bisa saja mengusahakan mahar yang lebih baik dan bernilai.”
Tidak puas dengan penjelasan yang baru saja disampaikannya, Ustaz Budi memberikan analogi sederhana kepada para jamaah, dengan menggunakan sosok Sultan Hassanal Bolkiah dan pedagang kaki lima sebagai perumpamaan.
“Sultan Hassanal Bolkiah akan dengan mudah memberikan uang senilai tiga puluh miliar sebagai mahar pernikahan. Tapi sebaliknya, seorang pedagang kaki lima akan mencolok mata Anda jika ia ditagih nilai rupiah yang sama sebagai mahar. Dari sini sangat jelas terlihat bahwa mudah belum tentu murah dan pemberian mahar disesuaikan dengan kesanggupan calon mempelai pria, di situlah letak ‘mudah’ yang dimaksudkan.”
Masih satu benang merah, Ustaz Budi berpesan agar para wanita memperhatikan asal muasal pria yang akan mempersuntingnya kelak. Jika pria itu mampu atau kaya, mintalah mahar yang bernilai besar padanya. Lalu sebaliknya, jangan memaksakan mahar yang bernilai besar kepada pria yang tidak mampu.
“Sekali lagi ingat pesan Rasulullah, ‘yang memudahkan mempelai pria’, paham ya?”
Khusus pula kepada pria sampai menyepelekan persoalan mahar dan memberikan mahar berupa barang yang tidak bermanfaat bagi calon mempelai wanita. “Perlu diketahui, bahwa yang berhak meminta mahar ialah calon mempelai wanita, bukan ibu maupun keluarganya sendiri,” tekan Ustaz Budi.
Sebagai ultimatum, Ustaz Budi menceritakan kisah Rasulullah saat mempersunting istrinya, Khadijah. Dalam berbagai riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah memberikan 20 unta muda sebagai mahar pernikahannya. Jika dikonversi dalam bentuk rupiah, maka akan didapati nilai fantastis sebesar 600 juta rupiah. “Jika benar-benar ingin mengikuti sunah Rasulullah terkait pemberian mahar, beliau telah mencontohkannya saat meminang Khadijah. Dengan memberikan 20 unta betina muda sebagai mahar, Rasulullah menegaskan kepada umatnya jika mampu maka hendaklah calon mempelai pria memberikan mahar yang bernilai besar. Sekali lagi ingat, dilakukan kalau dirasa mudah dan jangan dipaksa bila memberatkan.” (didi)