Dikotomi Ilmu Pengetahuan, Benarkah Terjadi?
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang seiring dengan bergulirnya kehidupan. Manusia dengan kecerdasannya telah membawa kemajuan dari kehidupan purba sampai kepada era modern. Sejarah telah mencatat bahwa penemuan alat dan perangkat untuk mempermudah pekerjaan adalah produk dari ilmu pengetahuan. Sumbangsih para ilmuwan untuk kemajuan peradaban ini sungguh sangat besar.
Setiap zaman pasti ada ilmuwan yang tercatat dengan tinta emas. James Watt sebagai penemu mesin uap, Isaac Newton dengan teori gaya gravitasi, Alexander Graham Bell menjadi penemu telepon, Albert Einstein bersama teori relativitas, Louis Pasteur dengan prinsip sterilisasi dan pencetus vaksin, Thomas Edison sebagai inventor lampu pijar dan electrical devices, serta masih banyak ilmuwan lainnya yang merupakan generasi di era Abad XVII dan XVIII. Penemuan mereka telah memberikan banyak kontribusi pada kemajuan ilmu dan teknologi.
Ternyata di era sebelum itu telah hadir pula para ilmuwan yang lahir sebelum Abad Pertengahan. Nama-nama mereka memang kurang masyhur di buku-buku sains, tetapi karya-karya mereka telah memberi kontribusi besar untuk kemajuan dunia. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Ibnu Sina dengan keahliannya di bidang kedokteran, Al-Farabi dengan keahliannya di bidang sains dan filsafat, Al-Khawarizmi ahli di bidang matematika peletak dasar aljabar dan trigonometri, Al-Haitam adalah bapak optik modern dan peletak dasar mikroskop, serta Al-Zahrawi yang dijuluki bapak bedah modern dengan penggunaan jarum suntik, forcep, jarum jahit luka, pisau bedah, dan alat-alat bedah lainnya.
Tokoh dan ilmuwan yang terkenal pada masa sebelum Abad Pertengahan merupakan ilmuwan muslim. Sejarah menuliskan bahwa mereka tidak saja ahli dalam sains tetapi juga mafhum (paham) ilmu agama. Mengapa hal tersebut hanya terjadi pada masa sebelum Abad Pertengahan? Mengapa tidak terwujud pada masa sekarang?
Benar. Ternyata saat ini terjadi paradigma untuk memisahkan ilmu agama dari ilmu pengetahuan (ilmu umum). Aturan agama dianggap sebagai suatu hal yang menghambat perkembangan sains dan teknologi. Bahkan sebagian berpendapat bahwa agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja, sedangkan untuk aktivitas selain ibadah dibebaskan dari kekangan aturan yang menghambat kebebasan akal untuk berkreasi. Akibat dari kebebasan ini, dunia akan dihadapkan pada kehancuran tata nilai dan etika. Sebagai contoh adalah adanya proyek besar pabrik penghasil bayi, adanya penelitian mikrobiologi tentang bakteri pemusnah massal, bom nuklir, dan hal-hal, yang jauh dari etika dan peri kemanusiaan. Banyak anggapan kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari kebebasan imajinasi yang tidak terhalangi oleh apa pun termasuk aturan agama. Jika akal dibatasi oleh aturan agama, maka akan kerdil dan tidak akan memberikan kemajuan yang berarti bagi dunia.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang didominasi oleh paham liberal (red: kebebasan tanpa batas) tersebut mengakibatkan sebagian kelompok yang lain merasa khawatir dan fobia (takut) dengan pemikiran yang “kebablasan” tersebut. Sekelompok masyarakat ini kemudian antipati dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan menutup diri dengan perkembangan sains dan teknologi serta membatasi diri pada ibadah-ibadah ritual tanpa memperhatikan kehidupannya di dunia. Hal ini beberapa terjadi pada umat Islam dan kelompok lain yang merasa khawatir. Akibatnya kebodohan, keterpurukan, serta keterbelakangan terjadi tanpa bisa dihindari.
Dua fenomena ekstrem yang terjadi ini dipengaruhi oleh adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini terjadi pada kurikulum pendidikan di sekolah sampai di perguruan tinggi. Terasa atau tidak, ternyata dalam kehidupan kita juga memisahkan aktivitas agama dan aktivitas duniawi. Agama hanya sekadar dijadikan hiasan di masjid dan tempat ibadah dan ilmu pengetahuanlah yang menjadi nakhoda kemajuan teknologi. Norma dan aturan agama dibatasi pada aspek hubungan manusia dengan Tuhan sedangkan hubungan manusia dengan manusia dilakukan dengan paham kebebasan individu. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam di mana ada pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablum minanas). Paham kebebasan yang kebablasan juga akan berpotensi melanggar etika kemanusiaan. Sejalan dengan pendapat Albert Einstein yang menyatakan, “ilmu tanpa agama, buta dan agama tanpa ilmu, lumpuh”. Kalimat bijaksana ini menggambarkan bahwa betapa kedua hal tersebut penting dan tidak bisa dipisahkan.
Namun demikian, di tengah zaman dengan arus liberalisasi berbungkus modernitas ini masih tetap ada seseorang atau sekelompok orang yang menyadari hakikat ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Seperti kata bijak Albert Einstein bahwa ilmu tanpa agama, buta. Hal ini dapat diartikan bahwa orang berilmu tetapi tidak punya pedoman agama maka ia akan berjalan tanpa arah. Sedangkan agama tanpa ilmu, lumpuh artinya bahwa agama tanpa ilmu pengetahuan tidak akan membawa kemajuan peradaban. Marilah kita bangun generasi ini dengan agama dan ilmu pengetahuan.
Penulis apt. Hardi Astuti Witasari, S.F., M.Sc.
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan kandidat Ph.D.