Proses Politik yang Benar Pasti Hasilkan Pemerintahan Demokratis
Dalam Pemilu sebelumnya, persoalan hukum dan politik memang kerap menghantui masyarakat Indonesia. Berbagai persoalan tersebut muncul seolah-olah ingin mengubah beberapa peraturan dalam Pemilu yang bersangkutan. Namun, peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak sedahsyat menjelang Pemilu 2024.
Hal tersebut disampaikan M. Husnu Abadi, S.H., M.Hum., Ph.D. dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR). Ia menjelaskan, komitmen untuk tetap pada konstitusi belum bisa dipegang 100 persen oleh pemerintah. Maka dari itu muncul isu-isu yang dapat menggagalkan Pemilu 2024, seperti pengajuan ujian UU ke Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan masalah presidensial. Hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang sehingga menjadi persoalan hukum yang mungkin bisa mengubah sistem Pemilu 2024 yang belum final.
Dalam beberapa waktu terakhir, bisa dilihat banyak kekuatan politik merekomendasikan Pemilu tersebut ditunda. Salah satunya pernyataan Ketua Partai Persatuan Pembangunan yang mengatakan sebaiknya Pemilu dan Pilpres ditunda karena berbagai alasan seperti recovery bidang ekonomi dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut disangkal oleh kekuatan yang lainnya bahwa Pemilu tetap harus dilaksanakan pada 2024.
“Perang tanding antargagasan ini dimaknai sebagai persoalan hukum dan politik yang tidak sepenuhnya selesai, ditambah lagi Pemilu itu memerlukan persiapan yang lama dan matang. Bahkan, untuk Pemilu sebelumnya diperlukan waktu 2 tahun sebagai waktu persiapan, mengingat bahwa untuk memilih peserta birokrasi itu sangat memakan waktu, apalagi persyaratannya menyita administratif yang cukup besar,” ungkap Husnu Abadi sebagai pembicara utama webinar nasional tentang “Beberapa Masalah Politik dan Hukum yang Belum Selesai” pada 11-2-2023.
Ia menambahkan, untuk menyeleksi partai politik dan siapa yang berhak masuk parlemen sudah ada instrumen untuk menyederhanakannya, tidak cukup pada parlemen tingkat pusat saja, tetapi juga berlaku pada parlemen tingkat daerah. Namun pada kenyataannya, hingga sekarang belum ada proses penyederhanaan tersebut, artinya sinkronisasi antarparlemen belum terjadi.
Beberapa catatan tersebut, memungkinkan kaum akademisi untuk melakukan evaluasi terus menerus, dan jangan sampai Pemilu memakan biaya lebih besar. Pemilu dapat dilakukan dengan penghematan tanpa membebani administratif berkepanjangan untuk negara.
Di akhir acara, Husnu Abadi menutup penyampaian materinya dalam webinar yang diselenggarakan Magister Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu dengan harapan besar. Semoga webinar nasional yang diikuti lebih dari 200 peserta dari berbagai latar belakang dan profesi itu, dapat menjadi pemantik diskusi-diskusi selanjutnya agar mengundang pemikiran bersama untuk mengevaluasi Pemilu yang akan datang. (syf)