Melihat Sisi Ketenagakerjaan di Era Industri 5.0
Dalam sesi seminar dan diskusi di Konferensi Nasional V Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) pada Jumat, 04-11-2022 di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Prof. Dr. Aidul Fitricioda Azhari, S.H., M.Hum. dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) banyak menyampaikan tentang revolusi industri dan fenomena ketenagakerjaan.
“Globalisasi membuat tenaga kerja diposisikan sebagai komoditas, bukan buruh. Dalam artian bahwa semua yang ada dalam diri mereka bisa diperjualbelikan, termasuk kemampuan, kognitif, otak, hingga otot,” papar Prof. Aidul.
Sebelum melangkah lebih jauh, ia memberikan bekal kepada para peserta seminar seputar sejarah revolusi industri di dunia. Secara ringkas, terdapat 6 fase dalam sejarah revolusi industri, yaitu Revolusi 1.0 yang berkisar pada tahun 1780 dan fokus pada mechanisation; Revolusi 2.0 pada 1870 fokus pada electrification; Revolusi 3.0 pada tahun 1970 untuk automation; Revolusi 3.5 pada 1980 tentang globalisation; Revolusi 4.0 yang sedang terjadi sekarang yaitu digitalisation; serta Revolusi 5.0 di masa depan yang akan fokus pada personalisation.
Saat ini, dunia akan segera memasuki Era Industri 5.0, di mana pengalaman konsumen menjadi fokus utama yang hendak dicapai. Kustomisasi yang tinggi juga menjadi salah satu karakteristiknya. Selain itu, Era 5.0 menuntut untuk pasokan yang responsif dan terdistribusi, pengalaman interaktif produk, serta kembalinya sistem ke tenaga kerja.
Untuk bisa menghadapi Era 5.0, seorang individu setidaknya harus memiliki 4 kompetensi dasar berikut ini. Technical competency, yaitu berhubungan dengan hard skills yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan baru, contohnya kemampuan coding, information security, dan kemampuan memahami manusia serta budaya. Critical competency, sebuah metode pendekatan untuk menyelesaikan problematika dan tugas, contohnya kreativitas, entrepreneurship, dan analisis.
Personal competency, yaitu kemampuan diri untuk menghadapi tantangan secara efektif, contohnya kegesitan, kemauan untuk terus belajar, dan daya tahan mental yang kuat. Terakhir, social competency, yaitu tentang cara kita menjadi lebih terbuka dan peka untuk bekerja bersama, contohnya kecerdasan emosional, teamwork and cooperation, serta kemampuan interkultural.
Agar bisa memiliki semua kemampuan yang telah disebutkan tadi, ada beberapa hal yang saling berkaitan dan membawa efek domino kepada satu sama lain. Misalnya, kebijakan pendidikan yang dipengaruhi oleh infrastruktur. Sementara pembangunan infrastruktur terkadang tidak merata karena adanya ketimpangan sosial ekonomi. Hal tersebut kemudian akan berhubungan dengan otonomi daerah yang juga berimbas pada kebijakan industri. (tsa)