Membaca Sastra, Menyimak Identitas dan Budaya
Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (PBSI UAD) Yogyakarta menyelenggarakan kuliah umum bertema “Membaca Sastra, Menyimak Identitas dan Budaya pada Sabtu, 28 Januari 2023. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara virtual melalui platform Zoom Meeting dan YouTube PBSI FKIP UAD.
Hadir sebagai pembicara Dr. Yenni Hayati, S.S., M.Hum. yakni Ketua Program Studi (Kaprodi) Departemen Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatra Barat. Muhammad Ardi bertindak sebagai moderator untuk acara yang diikuti oleh Kaprodi PBSI Roni Sulistiyono, S.Pd., M.Pd., dosen PBSI UAD, beberapa dosen Sastra Indonesia UNP, serta mahasiswa PBSI itu.
Yeni mengawali materinya dengan mengutip pernyataan dari Sutardji Calzoum Bachri bahwa karya sastra seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Artinya ketika seorang pengarang menorehkan identitas dirinya, maka ia juga telah menorehkan identitas bangsanya.
“Pada tahun 1920 lahir sebuah novel Siti Nurbaya yang mengungkap kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Dalam novel tersebut tidak ada lagi istana sentris, ia sudah berbicara tentang masyarakat sehari-hari. Artinya, jika kita ingin tahu keadaan sosial masyarakat Minangkabau tahun 1920 ke bawah, baca Siti Nurbaya,” jelas Yeni.
Dalam novel lain ia memberi gambaran, seperti halnya novel Tarian Bumi yang lahir 1990-an akhir atau awal-awal tahun 2000 yang menceritakan persoalan-persoalan masyarakat Bali. Menurutnya, meskipun yang dibicarakan tidak merepresentasikan masyarakat Bali, sedikit banyaknya pembaca menjadi tahu budaya Bali. Begitu pun juga dengan novel Salah Asuhan dan Ronggeng Dukuh Paruk.
“Artinya apa yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri bahwa pengarang menorehkan identitas dirinya dan kemudian menorehkan identitas bangsanya, itu benar-benar terbukti ketika kita membaca sebuah karya sastra.”
Selanjutnya Yeni menegaskan bahwa dalam karya sastra terdapat identitas yang terus menerus muncul, sehingga pembaca mengetahui atau mengatakan karya itu merepresentasikan masyarakat atau budaya tertentu. Jadi, masyarakat atau budaya diwakilkan oleh pengarang muncul di dalam karya sastra. Oleh karena itu, ketika pembaca membaca sebuah karya ia akan membaca pengarang dan membaca masyarakat yang diwakili oleh pengarang.
Kemudian, terdapat 3 identitas yang turut melekat dalam karya sastra yaitu identitas budaya, sosial, dan diri. Menurutnya, dengan membaca karya sastra daerah lain membuat seseorang mengetahui budaya daerah tersebut, sekalipun belum pernah mengunjungi daerah yang dijadikan latar dalam karya sastra.
“Misalnya acara dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ketika kita berbincang dengan orang Jawa tentang tradisi Ronggeng itu, beberapa hal banyak yang sama dengan tradisi asli dalam masyarakat Jawa yang bersangkutan dengan novel tersebut,” ungkapnya.
Terkait dengan identitas diri, Yeni mengatakan ketika tahun 1990-an lahir novel berjudul Lupus karya Hilman Hari Wijaya. Menurutnya, novel tersebut benar-benar merepresentasikan bagaimana remaja pada era itu. Mulai cara berpakaian ketika sekolah, bersikap dengan guru, kebiasaan belajar, nongkrong, dan gaya rambut.
Selanjutnya, yang terakhir adalah identitas sosial. Sama halnya dengan identitas budaya, menurut Yeni ketika membaca sebuah karya sastra maka pembaca juga akan membaca keadaan sosial masyarakat yang menjadi latar belakang cerita dalam karya sastra tersebut dibangun.
Ia menutup materinya dengan sebuah kutipan yang berbunyi, “sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban bangsa itu”. Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan setelah 1,5 jam berlalu kegiatan berakhir dengan diakhiri oleh doa dan dokumentasi. (SFL)