Bagaimana Cara Perguruan Tinggi Menjadi Startup Company?
“Negara berkembang seperti Indonesia boleh mengadopsi satu inovasi yang disebut dengan open innovation atau inovasi terbuka, karena ia bersifat amati, tiru, dan modifikasi. Sebagai negara berkembang yang cenderung menjadi pengikut, kita harus terus melakukan inovasi dari apa yang telah ada sebelumnya, tetapi dengan syarat tidak menjiplak.”
Penyampaian tersebut lontarkan oleh Sang Kompiang Wirawan, S.T., M.T., Ph.D., selaku Deputi Direktur Universitas Gajah Mada (YGM) Science Techno Park, dalam lawatannya ke Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Seminar Strategi Merancang Luaran Inovasi Bernilai Komersial. Acara itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UAD bersama Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI) UAD.
Diselenggarakan di Amphitarium Kampus Utama UAD, pada Kamis, 19 Oktober 2022, Kompiang selaku salah satu narasumber memberikan materi tentang bagaimana produk inovasi bisa menghasilkan nilai komersial, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
“Sivitas akademika harus mampu menemukan celah untuk melakukan sebuah inovasi yang jauh lebih berkembang dan terbarukan. Tujuannya agar tidak menyalahi aspek komersial yang nantinya bisa berdampak pada somasi ataupun gugatan terhadap hak paten suatu inovasi yang sebelumnya telah ada,” tambah Kompiang.
Menurutnya, perguruan tinggi sebagai salah satu wadah inovasi lahir memiliki kesempatan besar untuk bisa menghasilkan nilai komersial dan kemudian tumbuh sebagai startup company. Perguruan tinggi memiliki berbagai peluang untuk mendapatkan pendapatan, adapun peluang-peluang tersebut di antaranya dimulai dari penerimaan mahasiswa baru. Dengan meningkatkan fasilitas di kampus maka akan mendapatkan perhatian khusus bagi para calon mahasiswa baru yang hendak mendaftar.
Tahapan selanjutnya, perguruan tinggi mengirimkan tenaga-tenaga ahlinya untuk menduduki jabatan tinggi serta strategis di jaringan usaha ataupun di suatu instansi negeri dan pemerintahan. Jika tahapan kedua telah selesai, selanjutnya ialah dengan melakukan jasa sewa fasilitas kampus yang berbentuk laboratorium dan sejenisnya. Tentu melakukan hal ini jangan sampai mengganggu aktivitas pendidikan di kampus itu sendiri.
Berlanjut ke tahapan berikutnya, Kompiang menyampaikan agar para sivitas akademika harus mengikuti riset kolaborasi. “Untuk mendapatkan grand yang prestisius maka unit yang bertanggung jawab di suatu perguruan tinggi (LPPM) harus bisa menunjukkan kemampuan dalam mengelola inventor, karena dengan mengikuti riset kolaborasi akan berdampak pada peningkatan reputasi.”
Pada tahapan akhir, Kompiang mengatakan bahwa di tahap ini memiliki kesulitan tersendiri, sebab produk inovasi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi harus dilisensikan kepada unit usaha dan dikomersilkan pula oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. (did)