Bagaimana Seorang Muslim Membangun Keadaban Digital?
“Meskipun zaman sudah maju, data-data di internet tidak selalu valid, termasuk data-data saya.”
Kalimat tersebut disampaikan oleh dosen UIN Sunan Kalijaga Saptoni, S.Ag., M.A., pembicara Pengajian Ramadan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta yang digelar pada 2 April 2023 di Amphitarium Kampus Utama Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ungkapan ini mungkin bisa merepresentasikan keresahan-keresahan yang dialami oleh siapa saja, apalagi mereka yang hidup di ambang dunia nyata dan maya. Ini membuka lebar mata, pikiran, dan hati kita, sebagai umat muslim, bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak dalam menyelami era digital sehingga terbangun keadaban yang berorientasi kepada kemaslahatan?
Keadaban dan Kemajuan Teknologi
Saptoni menceritakan kasus menarik yang terjadi di Universitas Minnesotta. Seorang profesor dipecat karena menampilkan manuskrip lukisan tahun 1436 M berjudul Mi’raj Namek sebagai bahan ajar sejarah di perkuliahannya. Terdapat penggambaran Malaikat Jibril, Nabi Idris dan Nabi Nuh, serta Nabi Muhammad saw. yang sedang menunggangi burok. Kemudian, salah seorang mahasiswa memprotes hal tersebut dengan dalih lukisan dilarang dalam Islam, apalagi lukisan Nabi Muhammad saw. Asosiasi mahasiswa pun bergerak untuk menuntut sang dosen.
“Ini sebagai pengantar bahwa di dunia ini, keadaban tidak linear dengan kemajuan teknologi. Agama dan beberapa hal lain juga ternyata masih kekeh dengan sesuatu yang dianggap paten,” terangnya.
Keadaban merujuk pada akhlak, tingkat kecerdasan lahir batin, serta kebaikan budi pekerti. Ia menilai, keadaban tak sejalan dengan teknologi yang mengalami kemajuan sangat pesat. Keadaban berhenti di hal-hal yang kaku (rigid), sedangkan teknologi membuat kemajuan dunia sangat pesat, terutama dalam komunikasi dan penyebaran informasi. Tiga puluh tahun lalu, layanan pesan singkat atau sms tradisional dikirim pertama kali. Namun, 30 tahun kemudian, 1 platform media sosial (WhatsApp) saja dapat mengirimkan lebih dari 100 miliar pesan per hari.
Migrasi dan “Gado-Gado Sosial”
“Satu hal yang berefek ketika melihat masyarakat dengan perkembangan keadaban yang tidak linear dengan teknologi adalah keambiguitasan ilmu sosial.”
Saptoni menyatakan, masyarakat kita berangsur-angsur mengalami migrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Namun, intensitas informasi yang diterima begitu besar dalam kurun waktu yang singkat. Beragam lapis masyarakat dari tradisional hingga konsumtif berada di 1 garis yang sama membentuk “gado-gado sosial”. Meskipun demikian, pola pikir tradisional masih melekat di berbagai lapis masyarakat. Hal ini menunjukkan kompleksitas yang tidak bisa diuraikan dengan pendekatan sederhana.
Ia juga khawatir akan persepsi masyarakat global tentang Islam. “Saya takut, jangan-jangan Islam hanya direpresentasikan dengan gambar-gambar yang tampak sakral dan suci. Ternyata, bayang-bayang masa lalu masih sangat pekat. Kita masih sering belajar sejarah hanya untuk bernostalgia, fragmen-fragmen kecil sejarah yang sesuai selera dengan mata dan telinga (membahagiakan) diamini sebagai bagian dari agama yang tidak boleh diubah, tidak bisa cair untuk masa sekarang. Maka, agama kurang inovatif.”
Inovasi Agama
Ada 3 hal yang harus kita perhatikan untuk mengembangkan keadaban digital dan komunikasi: tauhid, akhlak, dan hikmah. Pertama, tauhid. Tauhid berkembang dari teologi al maun, tidak hanya sekadar teologi tentang iman, akhlak, akhirat, surga, dan neraka, tetapi juga implementasi secara sosial, melandasi literasi sosial kita dengan tauhid di ranah komunikasi media.
Kedua, akhlak, dari akhlak sebagai komunikator, komunikan, akhlak terhadap pesan, hingga media. Dewasa ini, sulit untuk menerapkan akhlak terhadap pesan. Kita tidak terbiasa memperlakukan pesan sebagai sesuatu yang sakral sehingga semua disampaikan tanpa berpikir matang.
“Kebiasaan masyarakat media sekarang, yang penting cepat dan up to date (terkini),” tambah Saptoni.
Akhlak terhadap media pun kadang-kadang menjebak. Media bukan musuh, bukan juga teman. Media tidak hanya mempunyai kepentingan, tetapi juga merangkul kita sebagai konsumen. Jika terlalu percaya atau antipati dengan media, kita akan terjebak.
Ketiga, hikmah. Syariat dibangun dan dilandasi oleh hikmah dan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat. Syariat yang terkonstruksi berupa keadilan, rahmat, dan hikmah itu sendiri. “Jika dahulu suatu hal dianggap menegakkan keadilan, tetapi sekarang mengarah ke kesewenang-wenangan, itu bukan lagi syariat. Agama harus berinovasi.”
Prinsip Pokok Membangun Keadaban Digital
Keadaban digital perlu dibangun dengan memperhatikan beberapa prinsip pokok: al amanah wa al nazahah (tanggung jawab dan netralitas), al diqqah fi al bahs wa al hukm (cermat dan investigatif), dan il tizam al adab (tetap beretika). Sebagai seorang muslim, kita harus bertanggung jawab dalam membangun peradaban media, tidak hanya sekadar konsumen. Kemudian, kita juga harus cermat dan investigatif (teliti) dalam memutuskan sesuatu (berita dan informasi) dengan tetap beriktikad dalam kondisi apa pun dan menjunjung etika serta prinsip pokok dalam bermedia.
“Iman dan aman harus kita sandingkan. Ketika beriman, kita juga harus menjaga keamanan berkomunikasi. Fakta tidak sama dengan berita. Banyak berita mengalami distorsi sehingga menimbulkan hoaks, harus saring sebelum sharing. Penting untuk cerdas bermedia. Kecerdasan perlu kita pupuk bersama anak dan cucu karena kita semua adalah penduduk dunia maya,” terangnya. (nov)