• TERKINI
  • PRESTASI
  • FEATURE
  • OPINI
  • MEDIA
  • KIRIM BERITA
  • Menu
News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Pemilu dan Demokrasi yang Terbajak

20/02/2023/in Feature /by Ard

Seminar tentang Pemilu 2024 dan Demokrasi oleh MKM Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto: Novita)

Pakar Hukum Tata Negara Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. atau yang akrab disapa Bang Uceng berkesempatan menjadi narasumber dalam seminar nasional “Tantangan dan Harapan dalam Mewujudkan Pemilu 2024 yang Demokratis dan Konstitusional”. Acara ini diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Mahasiswa (MKM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Amphitarium lantai 9 Gedung Utama Kampus IV UAD (9-2-2023). Dr. Zainal lebih fokus menyampaikan tantangan Pemilu secara substantif.

Sebelum sampai pada pembahasan inti, ia bercerita mengapa memilih topik “Pemilu dan Demokrasi yang Terbajak”. Ia sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan Prof. Mahfud M.D. saat tahun baru.

“Saya tanya ke Prof. Mahfud, sebenarnya ia mau nyalon capres atau enggak. Kemudian, ia menjawab kalau belum terpikir karena Pemilu ada atau tidak saja masih harus mikir. Seorang Prof. Mahfud pun khawatir akan keberlangsungan Pemilu. Betapa mengerikannya kondisi itu,” terangnya.

Ketigaperiodean atau Third Termism

Pembicaraan tantangan terbesar Pemilu dan demokrasi adalah ketigaperiodean atau third termism. Third termism merupakan pembicaraan panjang adanya gejala negara-negara di dunia melakukan perpanjangan masa jabatan dengan berbagai alasan seperti kedaruratan, salah satunya Covid-19.

“Giorgio Agamben menuliskan bahwa demokrasi terbangun dari keadaan darurat. Prinsip-prinsip demokrasi selalu dibangun dari keadaan darurat. Keadaan ini maksudnya dalam keadaan chaos, seperti hak asasi menguat karena ada bunuh-bunuhan. Namun, sayangnya demokrasi akan sering menggunakan alasan kedaruratan untuk merusak demokrasi itu sendiri. Hal ini terjadi bukan hanya negara kita, tetapi juga negara-negara di dunia.”

Konsep atau istilah third termism berbeda-beda tiap negara. Di Turki, dikenal dengan istilah autocratic legalism atau otokratik legalism, bagaimana otoritarian dilegalkan. Kekuasaan yang berlaku terlalu lama menjadi ciri otokratik legalism ini. Di Indonesia pun sama, wacana 3 periode masih naik dan hangat diperbincangkan, tidak mati. Skenarionya adalah menafsirkan ulang Pasal 7 UUD 1945: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 kali masa jabatan”.

“Perdebatannya adalah penggunaan kata ‘dan’ dalam ‘Presiden dan Wakil Presiden’. Jadi, katanya, yang dibatasi 2 kali kalau mereka berpasangan secara bersamaan, tetapi kalau tidak, itu bisa selamanya. Dan gilanya menurut saya, ini bisa saja di-‘iya’-kan oleh kekuatan politik. Adapun yang mempersiapkan skenario lain untuk kembali ke perubahan pertama, yaitu dipilih oleh MPR. Saya pikir hal ini terjadi karena ada kebingungan yang belum terselesaikan di tingkat konstelasi capres-capresan ini,” jelas Dr. Zainal.

Third termism berbahaya karena dapat mengonstruksi negara menjadi otokratik legalism atau kudeta. Selain itu, dapat juga menghilangkan konstitusionalisme dan pembatasan kekuasaan. Inilah tantangan terbesar Pemilu.

Hoaks dan Disinformasi

“Saya bertemu dengan politisi yang menjelaskan secara detail pola-pola kecurangan yang dilakukan saat Pemilu 2019, legislatif maupun pilpres. Katanya, ‘saya adalah pendosa’. Dan pola kecurangan tersebut kemungkinan terulang. Bahkan, ada seorang bohir (cukong) yang saya temui yang sudah menyiapkan teknologi yang merusak atau membajak data Pemilu,” terang Dr. Zainal.

Tantangan berikutnya adalah hoaks dan disinformasi. Keduanya merupakan produk sehari-hari. Demokrasi yang besar memiliki potensi hoaks yang besar pula. Bahkan, demokrasi polis dianggap masih terlalu besar oleh Aristoteles. Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988) mengatakan bagaimana kesepakatan (consent) bisa dibangun atau dimanufaktur dan media punya ‘mesin’ untuk membangun kesepakatan itu. Citra seseorang dapat dibangun melalui media (second hand reality). Inilah jalan lahirnya hoaks dan disinformasi.

Lame-duck dan Cinderella Action

Indonesia sebagai negara demokrasi yang menyelenggarakan Pemilu secara langsung tidak memiliki peraturan yang tegas, yang menetapkan batas-batas apa saja yang boleh dan tidak dilakukan oleh Presiden menjelang berakhirnya masa jabatan. Di Amerika, dikenal dengan istilah lame-duck.

“Kita tidak punya aturan yang mengatur kuasa presiden antarwaktu kepemiluan, bagaimana jika mencalonkan diri lagi dan jika sudah tidak bisa mencalonkan, apa yang harus dibatasi. Ada istilah Cinderella action, Cinderella akan berubah tepat pukul 12 malam, sedangkan presiden akan berubah menjadi orang biasa karena masa jabatannya berakhir. Biasanya, ia akan melakukan hal-hal tertentu seperti menandatangani ratusan Keputusan Presiden (Kepres), Perpu, hingga SK. Hal-hal tersebut seharusnya dibatasi.”

Penyelenggara yang Curang dan Sistem yang Berubah-ubah

“Ada partai yang seharusnya lolos, tetapi tidak diloloskan, dan sebaliknya. Ada pula yang mengaku sebagai wakil partai padahal ia seorang anggota KPU sekaligus penyelenggara Pemilu,” ungkapnya.

Selain penyelenggara yang curang, Pemilu akan makin kacau apabila sistem yang digunakan berubah-ubah. Proporsional terbuka adalah sistem yang paling tepat. Proporsional terbuka mengembalikan kedaulatan rakyat secara kuat dengan menghadirkan relasi antara pemilih dan dipilih secara langsung. Pernah terjadi ketegangan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK): 1 partai mendukung proporsional tertutup, sedangkan 8 partai lainnya mendukung proporsional terbuka. Namun, anehnya, tidak ada teguran dari MK, suara DPR dibiarkan terpecah. Ini memungkinkan terjadinya perubahan sistem terbuka menjadi tertutup.

“Demokrasi kita dibangun atas dasar lesser evil. Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi the best among the world. Yang dibutuhkan adalah komitmen, jangan sampai konstitusi diubah seenaknya oleh para politisi. Kita semua harus terlibat: negasi dan tolak hoaks dan disinformasi. Ayo lawan kecurangan, jangan terima uangnya, tetapi laporkan. Jika kita biarkan Pemilu dibajak dan dirusak, saya kira Pemilu hanyalah sarana untuk membunuh Pemilu itu sendiri.” (nov)

uad.ac.id

Tags: Berita UAD, Dosen, Mahasiswa UAD, Muhammadiyah, News UAD, UAD, UAD Jogja, UAD Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, WeAreUAD
https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/Seminar-tentang-Pemilu-oleh-MKM-Universitas-Ahmad-Dahlan-UAD-Foto-Novita-scaled.jpg 1572 2560 Ard https://news.uad.ac.id/wp-content/uploads/logo-news-uad-2.png Ard2023-02-20 09:01:442023-02-20 09:01:44Pemilu dan Demokrasi yang Terbajak
You might also like
KINGPHOENIX UAD Raih Juara II dan Predikat Strategi Terbaik di KRTI 2024
KKN UAD Semarakkan Karnaval Takbir Jogja
UAD PTMA Terbaik 1 di Scimago Institution Rankings 2025
Maba FAI UAD Salurkan ‘Sedekah Pagi’ ke Lazismu DIY
Cegah Covid-19, UAD Lakukan Dekontaminasi Periodik
Mahasiswa KKN UAD Berpartisipasi dalam Tradisi Nyadran di Makam Genen

TERKINI

  • Mahasiswa Pendidikan Biologi UAD Lakukan Praktikum Lapangan Sistematis Hewan di Pantai Sepanjang09/07/2025
  • HMPS Teknologi Pangan UAD Raih Pendanaan PPK Ormawa 2025 Lewat Program Smart Farming09/07/2025
  • Mahasiswa Farmasi Gelar Edukasi dan Skrining Kesehatan bagi Lansia08/07/2025
  • Belajar Langsung di Balik Layar: Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD Kunjungi TVRI Jogja08/07/2025
  • KKN Alternatif Koperasi UAD Dorong Keberlanjutan Koperasi dengan Regenerasi08/07/2025

PRESTASI

  • Mahasiswa UAD Raih Bronze Medal dan Best Poster di Kompetisi Nasional Business Plan05/07/2025
  • Mahasiswa Gizi UAD Raih Juara I Lomba Poster Contest 2025 Tingkat Nasional05/07/2025
  • Mahasiswa UAD Raih Juara II dan The Golden Quill di National Creathink Festival 202505/07/2025
  • I-WASLABOT: Inovasi Mahasiswa UAD Raih Juara di PIKIR 202504/07/2025
  • Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD Raih Juara II dalam BE-FEST 202503/07/2025

TENTANG | KRU | KONTAK | REKAPITULASI

Scroll to top