Risalah “Islam Berkemajuan” Muhammadiyah
Prof. Dr. Amin Abdullah, M.A. didapuk menjadi narasumber dalam acara Pengajian Ramadan 1444 Hijriyah hari ketiga yang diinisiasi oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara ini bertempat di Ruang Amphitarium Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 2 April 2023. Amin menyampaikan topik “Islam Berkemajuan dan Fresh Ijtihad dan Tajdid (Pendekatan Burhani, Bayani, dan Irfani)” sebagai ceramah penutup dari rangkaian kegiatan Pengajian Ramadhan 1444 H tersebut.
Ia mengawali ceramah dengan menganalogikan agama sebagai sebuah rumah. Dalam kehidupan, rumah merupakan tempat yang penting untuk tumbuh kembang umat manusia. Apabila rumah dilengkapi dengan ventilasi, tentunya sang penghuni akan dapat menghirup udara luar dan hidup sehat. Namun, apabila rumah sebagai tempat tinggal dibuat tertutup, maka sang penghuni akan merasa terkungkung, sakit, bahkan merasa tidak betah tinggal di rumah. “Bayangkan bapak-ibu kita punya rumah tanpa ventilasi. Sangat berat untuk kesehatan kita sendiri. Kita harus membuka ventilasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengutip Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 13. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan Islam sebagai rumah saat ini perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman supaya mencapai Islam Berkemajuan. Maka, Muhammadiyah menawarkan pembaruan,” tuturnya.
Islam Berkemajuan
Masyarakat Islam sebagai kekuatan masyarakat madani menjunjung tinggi kemajemukan agama dan kesetaraan seluruh elemen kehidupan. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan agama yang berkemajuan, yang kehadirannya membawa rahmat bagi kehidupan umat manusia. Hal ini senada dengan istilah “Islam Berkemajuan” yang beberapa waktu lalu digelorakan pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta.
Islam yang berkemajuan berarti Islam yang memancarkan pencerahan bagi kehidupan, termasuk dalam ranah emansipasi dan humanisasi. Secara ideologis, Islam yang berkemajuan merupakan aktualisasi dari perluasan pandangan keagamaan melalui dakwah dan tajdid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi tetap menerapkan kontak kekinian dan proyeksi masa depan. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kompleksitas kehidupan modern abad ke-21 guna menghadirkan Islam sebagai ajaran yang adaptif, responsif dan implementatif terhadap problematika kemanusiaan, serta bisa membawa kemajuan bagi peradaban umat manusia.
Bukti nyata implementasi dari Islam Berkemajuan telah secara bertahap diwujudkan Muhammadiyah dalam berbagai praktik pranata-pranata modern. Di antaranya melalui amal usaha di berbagai bidang yang unggul seperti pendidikan, sosial, kesehatan, pemberdayaan, ekonomi, dan dakwah komunitas yang membuana di berbagai lapisan masyarakat.
Tipe-Tipe Perubahan
Dalam ceramahnya, Amin menyampaikan bahwa saat ini Muhammadiyah menghadapi 2 tipe perubahan. Pertama, perubahan disruptif yakni perubahan yang dimulai dari Masa Reformasi 1998 di mana praktiknya masih ada hingga saat ini yang kemudian membentuk oligarki besar-besaran di Indonesia. Lebih lanjut, Reformasi Politik 1998 memberi ruang lebih luas untuk kemerdekaan menyampaikan pendapat dalam hal apa pun termasuk ideologi sebagai identitas agama. Hadirnya berbagai macam ideologi berbasis Islam yang kemudian mengubah bentuk menjadi partai-partai politik, organisasi masyarakat sipil, gerakan budaya, gaya hidup urban, dan hiburan.
Selanjutnya, fenomena conservative turn (belok ke arah konservatif) yang merupakan fenomena terkait pemahaman dan praktik agama konservatif yang berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai hal yang paling benar. Gejala konservatisme adalah situasi yang terfasilitasi melalui berbagai kesempatan, seperti adanya internet, media massa, media sosial, rumah ibadah, sekolah, dan ruang publik lain yang kerap menjadi sarana untuk diseminasi ide-ide konservatif yang berakibat pada pembentukan identitas Islam.
Sebagai contoh adalah penggunaan aplikasi WhatsApp dan Telegram yang menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok pro-ekstremis pendukung Islamic State (IS) untuk menyebarluaskan dan mempropagandakan pesan-pesan serta memperkuat jaringan komunikasi. Dengan kata lain, kehadiran internet dan ruang publik baru memberi jalan lapang bagi paham keagamaan konservatif yang mengglobal untuk sampai ke orang-orang dan organisasi Islam yang ada di Indonesia. Fenomena ini terbilang sangat kompleks karena mengombinasikan unsur keagamaan dengan unsur ideologi, ekonomi, hingga politik. Hal ini merupakan ancaman nyata bagi otoritas keagamaan karena cukup berbahaya jika diadopsi oleh masyarakat Indonesia yang heterogen karena berpotensi memicu adanya perpecahan.
Apa Itu Fresh Ijtihad?
Ijtihad berasal dari lafal Ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras. Ijtihad dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih. Istilah ijtihad tampaknya sudah familiar di telinga umat muslim, tetapi implementasinya saat ini masih terkesan samar-samar terlihat. “Ijtihad dalam Islam dan Muhammadiyah perlu disegarkan lagi,” tandas Amin.
Al Azhar baru-baru ini dikabarkan mendirikan pusat tarjih sebagai tajdid pemikiran guna menafikan metodologi dalam memahami Islam. Sedangkan Muhammadiyah telah berkutat dengan hal serupa sejak lebih dari 100 tahun lalu sehingga menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang visioner. Namun, stagnasi metodologis dalam memahami Islam masih jauh dari kata maju mengingat persoalan-persoalan yang kompleks saat ini perlu solusi yang lebih inovatif.
Amin menjelaskan bahwa Muhammadiyah saat ini belum cukup inovatif dalam merespons perkembangan zaman. Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan warga persyarikatan untuk menghadapi tuntutan zaman yang kompleks di bidang pendidikan, khususnya bagi anak-anak muda yang akan mengemban Muhammadiyah di masa yang akan datang. Hal-hal tersebut meliputi pentingnya mengasah kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, mempertajam intuisi, meningkatkan keterampilan kreatif, memperkuat pendidikan karakter, dan memantapkan kepemimpinan.
Tajdid: Pembaruan Pemikiran Islam
Perubahan sosial di Indonesia dari waktu ke waktu berlangsung masif, terutama perubahan pada tren keagamaan. Agama memang bersifat Ilahi, tetapi interpretasi terhadap agama melibatkan manusia dan alam serta dunia sosial sekitarnya.
Islam mengenal adanya istilah tajdid dalam kehidupan beragama. Dikutip dari buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan karya Dr. Haedar Nashir, tajdid bermakna pembaruan. Istilah tajdid berkembang di kalangan Muhammadiyah sebagai suatu gerakan pembaruan. Sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah membawa gerakan dakwah dan tajdid dalam perkembangannya. “Muhammadiyah dengan tajdid harus bisa mempersembahkan sesuatu yang baru,” kata Amin.
“Islam” dan “Pemikiran atau Penafsiran Islam” dalam Islam Berkemajuan
Agama atau wahyu selalu bersifat pasif, sedangkan ilmu pengetahuan agama sifatnya relatif. Agama sering dikatakan sempurna dan komprehensif, berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bebas dan sering kontradiktif. Hal ini sejalan dengan pandangan Islam Berkemajuan yang merupakan karakter keislaman Muhammadiyah yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa pemahaman “Islam” sebagai “agama” harus bisa dibedakan dengan “pemikiran atau penafsiran Islam”. Jika dibandingkan, “Islam” sebagai agama merupakan sistem kepercayaan yang paten, sedangkan “pemikiran atau penafsiran Islam” cenderung terkoneksi dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis.
Istilah dan konsep “Islam Berkemajuan” yang dikembangkan Muhammadiyah merupakan suatu “pandangan keagamaan” yang digunakan sebagai pedoman warga persyarikatan untuk dapat menjalankan dakwah dengan kontak kekinian sebagai bingkai pemikiran Muhammadiyah dalam memasuki zaman yang kompleks. Dengan demikian, pemikiran atau penafsiran Islam harus selalu dikembangkan guna menghidupkan spirit pembaruan akan kemajuan peradaban umat Islam.
Permasalahan Manhaj dan Pentingnya Tajdidu Al-Manhaj
Istilah manhaj tentu bukan lagi istilah baru dalam Islam. Secara etimologi, manhaj berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti jalan yang jelas dan terang. Adapun secara istilah, adalah sebuah metode yang berisi kumpulan kaidah-kaidah dan batasan-batasan untuk memahami agama. Manhaj dapat diartikan sebagai keyakinan yang dianut oleh umat yang akan membimbing bagaimana seseorang beribadah. Namun, tidak semua manhaj dalam Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul. Beberapa di antaranya bahkan terkesan sangat jauh dari apa yang diajarkan Rasulullah saw. Para ulama mengatakan bahwa saat ini ada 6 tren pemikiran muslim kontemporer yang mempunyai manhaj yang berbeda-beda, yakni: The Legalist-Traditionalist (fuquha, mutakallimun), The Theological Puritans (skriptualis), The Political Islamist (penggerak banyaknya partai politik muslim), The Islamist Extremist (kelompok teroris), The Secular Muslim (bangsa-bangsa Eropa), dan The Progressive Ijtihadists (penggerak pembaruan Islam).
Perbedaan manhaj dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar, tetapi perbedaan ini juga kerap memicu kesalahpahaman. Manhaj yang sama, terkadang menghasilkan hukum yang berbeda. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang agama), baik dalam hal akidah maupun fikih.
Menanggapi hal ini, Amin menuturkan bahwa Muhammadiyah perlu menerapkan pembaruan dalam metode-metode yang digunakan dalam dakwah. Lantas, bagaimana mengetahui relevansi dari metode-metode yang digunakan?
Amin menyebutkan ada 5 hal yang harus diperhatikan sebelum menerapkan metode-metode tertentu dalam berdakwah. Pertama, cari tahu kelengkapan data dan referensi penelitian terdahulu. Kedua, periksa kembali kualitas bahan bacaan atau literatur yang digunakan. Ketiga, cermati cross-reference yang digunakan untuk mengukur seberapa luas extra religious knowledge yang digunakan. Keempat, ketahui disiplin ilmu mana yang digunakan guna melihat interpenetrasi pemanfaatan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan acuan. Terakhir, periksa kembali kesahihan metode pengambilan kesimpulan, opini, pendapat, dan pandangan keagamaan yang diterapkan.
Checklists Tajdidu Al-Manhaj dalam Islam Berkemajuan
Islam Berkemajuan menurut Amin bisa diwujudkan dengan beberapa checklists, di antaranya: nilai, visi peradaban, strategi keilmuan, dan pembaruan manhaj. Nilai mengacu pada penerapan konsep tauhid dalam setiap aspek kehidupan dengan konsep al-Qiyam al-Asasiyyah (menitikberatkan pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan, kesetaraan, hingga keselamatan). Sebagai contoh, umat Islam harus bisa berempati dan bersimpati terhadap penganut mazhab dan agama yang berbeda, tanpa kehilangan keyakinan agamanya.
Selanjutnya, visi peradaban harus mengacu pada dua hal, yakni: visi fikih peradaban yang berfokus pada penetrasi hukum-hukum Islam yang dinamis-dialektis dan/atau tidak statis, serta visi peradaban modern yang berfokus pada pendidikan dan kesejahteraan. Poin ini mengacu pada rekonstruksi potret Islam yang sering digambarkan tertutup, egois, sektarian, dan bersumbu pendek menjadi Islam yang bersifat fundamental dan tidak kaku.
Muhammadiyah merupakan gerakan berbasis ilmu pengetahuan. Namun, perubahan saat ini tidaklah mudah diprediksi. Maka, checklist ketiga yang berkaitan dengan etos dan strategi keilmuan berarti Muhammadiyah harus mampu mengawinkan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dengan cara-cara yang mudah diterima masyarakat. Dalam hal ini Amin mengambil contoh Bani Abbasiyah yang secara historis telah menjadi ikon suksesnya peradaban Islam di dunia. “Kita harus berpikiran terbuka seperti Bani Abbasiyah agar mampu menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia,” jelasnya.
Terakhir, pembaruan manhaj harus menjadi salah satu tujuan utama Muhammadiyah dalam berdakwah. Islam sebagai agama akan selalu pasif, tetapi pemikiran, penafsiran, serta metode Islam harus terus berkembang. Saat ini, warga Persyarikatan Muhammadiyah dalam menerapkan fresh ijtihad tidak boleh hanya mendengarkan tetapi juga harus bisa saling mengingatkan dan mengkritik. Caranya adalah dengan menerapkan pendekatan bayani (ilmu pengetahuan), burhani (akal pikiran), dan irfani (kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin).
Bayani menitikberatkan pada tafsir, hadis, dan fikih yang digunakan untuk memecahkan masalah ibadah mahdhah (khusus). Selain itu, burhani mengacu pada sistem pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah) yang digunakan untuk memberikan dinamika kepada pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) pada ibadah ghairu mahdhah (umum). Sedangkan irfani bermuara pada kepekaan nurani setiap umat manusia dalam menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil. Salah satu contoh nyatanya adalah melek dalam bermedia sosial sebagai salah satu media dakwah paling efektif abadi ini dengan mempertimbangkan setiap pendekatan. “Kita saat ini harus ramah kepada media sosial. Apalagi generasi boomers harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” tutupnya. (Lid)