Ciri Pemimpin dalam Islam
Khotbah Jumat di Masjid Islamic Center (IC) Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) membahas tentang pemimpin dalam Islam. Khotbah disampaikan oleh Drs. Anhar Ansyory, M.S.I., Ph.D.
Ia menuturkan, Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya. Jalan menuju ketakwaan itu memang sangat tidak mudah dan banyak sektor yang harus kita lihat. Fungsinya adalah untuk memperhatikan dinamika kehidupan dalam berbagai aspek agar bisa memahami dan menilai.
“Dasar-dasar untuk menilai adalah menggunakan nilai-nilai yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunah. Apakah dinamika kehidupan selama ini sudah relevan, atau masih jauh di persimpangan jalan. Jadi, semua yang ada di sini dituntut oleh Allah untuk bersikap kritis menggunakan daya nalar yang dimiliki secara jujur untuk melihat dinamika kehidupan yang terjadi. Setelah melakukan penilaian dengan berdasar pada nilai-nilai spiritual yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah, maka kita dituntut untuk melakukan perubahan di waktu-waktu yang akan datang. Perubahan itu diserahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah memerintahkan kita untuk melakukan perubahan dengan berbagai landasan dan perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri,” jelas Anhar.
Ia menambahkan, alasan perubahan harus dimulai dari diri sendiri ialah karena Allah telah memberikan potensi dasar bagi setiap diri manusia untuk bisa melakukan sebuah perubahan. Semangat agama secara ibrani telah diberikan oleh Allah sejak dalam kandungan, lalu setelah mencapai usia balig sudah Allah berikan kekuatan akal untuk berpikir. Selain itu, Allah juga memberikan hati. Hati merupakan salah satu potensi dasar yang harus dipelihara dengan baik. Dasar untuk memelihara hati adalah dengan nilai-nilai yang absolut kebenarannya, yang datang dari Allah Swt.
Politik dan Islam
Lihatlah sekarang ini, perkembangan informasi di berbagai media sangat luar biasa, khusus terkait politik. As-siyasah, yakni aktivitas yang dilakukan seseorang, sekelompok masyarakat, atau negara guna memperbaiki keadaan yang buruk menjadi baik, dan yang baik menjadi lebih baik, merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Oleh karena itu, salah besar jika ada orang yang memiliki pandangan “jangan berbicara politik di masjid”. Sebab, ini adalah salah satu indikator orang yang gagal paham terhadap Islam. As-siyasah dengan negara juga tidak bisa dipisahkan, bahkan Nabi Muhammad saw. juga tidak akan berhasil tanpa adanya gerakan as-siyasah.
“Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah ini merupakan proses perubahan strategi dakwahnya. Setelah sampai di Madinah, sarana ibadahlah yang pertama dibangun. Sarana untuk mengumpulkan umat dan membina nalar umat. Luar biasanya lagi, Nabi menyatukan ukhuwah Islamiyah antara Muhajirin dan Anshor. Kemudian Nabi membentuk satu konsep perubahan dengan Piagam Madinah di bawah pemerintahan Nabi sebagai rasul saat itu,” imbuh Anhar.
Anhar menuturkan, “Tampaknya spiritual Islam sekarang ini mulai tumbuh dari bawah, bukan dari atas. Dapat kita lihat fenomenanya dari berbagai daerah sudah mulai tumbuh semangat Islam. Anak-anak muda sudah mulai menunjukkan daya kritisnya. Hal ini sangat patut untuk disyukuri, tetapi yang menjadi persoalannya adalah gaya bernegara kita ini tidak siap dari pada kritik.”
Ciri Pemimpin dalam Islam
Pertama, tidak boleh berbuat keji dan munkar. Seorang pemimpin tidak boleh berbuat keji dan munkar. Justru seorang pemimpin itu harus memberantas kegiatan-kegiatan kemungkaran dalam berbagai aspek. Kedua, gemar menunaikan zakat. Maksudnya di sini berarti harus melihat fungsi zakat itu bagi pelaku. Misalnya zakat dalam konteks sosial. Jadi, orang yang gemar menunaikan zakat ia akan memiliki jiwa humanis dan jiwa sosial yang tinggi karena ia sadar bahwa dalam harta itu ada hak orang lain. Orang yang gemar mengeluarkan zakat tidak mungkin tega membangun kebahagiaan di atas penderitaan orang lain dan ini sudah dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin yaitu Umar. Jika dihubungkan dengan zakat maka bagi seorang pemimpin itu tidak boleh harta haram di tangannya. Jangankan haram, syubhat saja tidak boleh. Ini harus dipahami oleh politisi-politisi di mana pun levelnya tidak boleh menumpuk ataupun mengumpulkan harta haram.
Ketiga, tunduk kepada aturan Allah. Tauhid rububiyah-lah yang berfungsi di sini, karena sadar bahwa kita datang dari Allah dan dimiliki oleh Allah sepenuhnya. Diatur oleh Allah bukan hawa nafsu, ini adalah sifat yang harus dimiliki oleh para pemimpin.
“Hal ini merupakan tanggung jawab bersama sebagai seorang muslim untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat yang masih awam supaya tidak dipolitisasi oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu yang hanya mementingkan dunia semata,” tutup Anhar. (Zah)