Menghindari Self-Loathing dengan Mencintai Diri Sendiri
Manusia merupakan makhluk yang dinamis, karena seseorang dapat memiliki emosi positif maupun negatif dalam kehidupannya. Emosi negatif yang sering dikaitkan dengan perilaku membenci diri sendiri kemudian disebut dengan istilah self-loathing. Dalam kondisi ini, seseorang kerap merasakan hal-hal menjadi tidak nyaman sehingga akan berdampak pada pemikiran, pelabelan, dan perilaku yang negatif pada diri sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, Dian Kinayung, S.Psi., M.Psi., Psikolog, yang merupakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) sekaligus psikolog di Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UAD didapuk sebagai pemateri dalam acara talkshow nasional Unit Konseling Mahasiswa Bidang Pengembangan Karakter dan Kesejahteraan (PKK) Biro Kemahasiswaan dan Alumni (Bimawa) UAD. Mengangkat tema “How Long Are We Gonna Hate Ourselves?”, acara tersebut disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube BIMAWA UAD pada Jumat, 9 Juni 2023.
Dian mengawali pemaparan materinya dengan menjelaskan bahaya dari perilaku self-loathing. “(Self-loathing) kalau udah di tingkat tinggi bisa sampai depresi. Karena benar-benar merasa dirinya nggak berharga,” tuturnya.
Penyebab Self-Loathing
Perasaan benci terhadap diri sendiri dapat dipicu oleh lebih dari satu faktor, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Self-judgment
Menurut Dian, self-judgment ini erat kaitannya dengan adanya pengalaman traumatis yang menyebabkan seseorang dapat menilai dirinya secara berlebihan. Hal ini didukung oleh sebuah riset dari laman kesehatan VeryWellMind yang menyebutkan bahwa banyak orang yang mengalami self-loathing kerap mengalami pengalaman traumatis.
Kejadian traumatis kemudian menciptakan sebuah pola yang buruk, misalnya seseorang akan memaknai dirinya buruk karena kejadian traumatis tersebut. Dilanjutkan dengan anggapan bahwa orang yang buruk akan melakukan hal buruk pula. Kemudian hal buruk menimbulkan hal buruk lagi sehingga hal buruk akan membuat orang memiliki identitas buruk. Itu berlanjut pada kepercayaan bahwa orang dengan identitas buruk tidak akan dicintai yang berarti orang yang tidak layak dicintai adalah orang yang patut untuk dibenci. Akhirnya, timbullah perasaan dan pemikiran membenci diri sendiri.
2. Lingkungan yang toksik
Lingkungan merupakan ruang tak terbatas yang dapat menentukan seberapa jauh perkembangan seseorang. Lingkungan yang positif akan membawa seseorang ke arah yang lebih positif, begitu pun sebaliknya. Dalam kasus seseorang dengan perilaku self-loathing, lingkungan negatif atau lingkungan toksik cenderung akan memberikan hal-hal yang tidak memberdayakan bagi orang tersebut. Ini berkaitan dengan adanya label-label yang diberikan oleh lingkungan sehingga seseorang bisa merasa dirinya tidak diinginkan.
3. Kebiasaan membandingkan
Rasa ingin dimiliki, diterima atau dianggap telah mengerjakan sesuatu dengan baik merupakan suatu hal yang lumrah. Meskipun demikian, terkadang ekspektasi terhadap diri sendiri bisa terlalu tinggi sehingga terasa sulit untuk dipenuhi. Ekspektasi berlebihan inilah yang terkadang berujung pada kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain semata-mata untuk mendapatkan validasi. Pada kondisi tersebut, seseorang akan mulai mengkritik diri sendiri dan timbullah kekecewaan.
Dian menganalogikan kondisi ini dengan seseorang yang sedang bercermin, yakni orang tersebut hanya membandingkan dirinya dengan apa yang ia lihat pada cermin, dibandingkan dengan melihat potensi apa yang dimiliki di dalam diri. Kesibukan ini yang kemudian membuat seseorang lupa akan apa yang perlu disyukuri.
Penanganan terhadap Self-Loathing
Kesadaran diri merupakan hal penting dalam penanganan perilaku self-loathing. Untuk memahami cara penanganan yang benar bagi seseorang yang kerap melakukan self-loathing adalah mencoba memahami apa saja yang memicu orang tersebut menaruh rasa benci terhadap diri sendiri.
Menurut pengamatan Dian, cara paling mudah yang bisa dilakukan oleh orang terdekat adalah mengajak orang dengan self-loathing tersebut untuk berinteraksi dengan orang-orang dan lingkungan yang lebih positif. “Ajak dia berinteraksi dengan orang-orang yang lebih mencintai dirinya supaya dia sadar dan terpapar energi positif,” jelasnya.
Mengembalikan Perasaan Cinta terhadap Diri Sendiri
Perilaku self-loathing dapat berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan. Sebagai contoh, dalam aspek sosial orang yang membenci dirinya sendiri akan cenderung lebih mudah membandingkan diri dengan orang lain yang pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas dengan diri sendiri.
Selain itu, self-loathing bisa memicu terjadinya perubahan emosi secara tiba-tiba, seperti emosi saat seseorang mudah marah, cemas, hingga depresi. Hal-hal tersebut tentunya harus segera ditangani supaya tidak menjadi bumerang dalam kehidupan di kemudian hari. Mengembalikan perasaan cinta terhadap diri sendiri adalah sebuah jalan bagi seseorang untuk keluar dari perilaku self-loathing. Adapun cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengembalikan rasa cinta terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut.
1. Journaling
Kejadian buruk memang cenderung lebih mudah diingat, dibandingkan dengan kejadian menyenangkan. Dalam hal ini, journaling atau menulis dapat menjadi terapi bagi seseorang yang kerap melakukan self-loathing untuk lebih fokus dan bersyukur atas hal-hal yang dimiliki.
2. Menentukan tujuan
Seseorang yang kerap membenci diri sendiri dapat dikatakan sebagai manusia yang kehilangan arah. Maka dari itu, perlu bagi seseorang untuk menentukan tujuan agar orang tersebut dapat berpikiran lebih positif sebagai upaya mencapai tujuan tersebut.
3. Kembali kenali diri sendiri
Sebuah pepatah lama mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Muara dari semua upaya yang dilakukan untuk mengembalikan perasaan cinta terhadap diri sendiri adalah dengan mengenali diri. Dalam konteks ini, seseorang perlu mengenal dirinya dengan baik untuk kemudian dapat menyayangi atau mencintai diri sendiri dan membagikan cinta untuk orang lain. Kenali nilai-nilai dan potensi dalam diri supaya bisa senantiasa memandang hal-hal di sekitar dengan lebih positif. (Lid)
Trackbacks & Pingbacks
[…] UAD Yogjakarta […]
Comments are closed.