Mahasiswa Harus Kritis Hadapi Krisis Sosial-Politik

Pemaparan Materi pada Seminar Politik BEM FAI Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto Tifa)
Sebuah kolaborasi bermakna antara Departemen Politik dan Jaringan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Departemen Isu dan Jaringan BEM FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melahirkan sebuah seminar politik yang menggugah kesadaran mahasiswa. Bertempat di Wisma Sargede, Jumat, 30 Mei 2025, kegiatan ini mengusung tema “Mahasiswa sebagai Agen Perubahan: Menanggapi Krisis Sosial dan Politik di Indonesia”.
Lebih dari sekadar ruang diskusi, seminar ini menjadi wadah refleksi bagi para mahasiswa tentang posisi mereka di tengah realitas sosial-politik yang kian kompleks. Hadir dalam kegiatan ini para pengurus dari kedua BEM Fakultas, yang sama-sama memiliki semangat untuk membangkitkan kesadaran kolektif mahasiswa sebagai motor perubahan.
Mempertanyakan Kekuasaan dan Peran Mahasiswa
Fikri Haikal, sebagai pemateri pertama, membuka diskusi dengan tegas: “Jika negara memiliki kekuasaan, maka masyarakat punya hak untuk menentang.” Menurutnya, kekritisan mahasiswa bukan hanya hak, melainkan tanggung jawab. Ia menekankan pentingnya kreativitas dan ruang berpikir luas sebagai fondasi gerakan mahasiswa. “Universitas adalah pelopor kreativitas dan intelektualitas. Mahasiswa harus berani membuka ruang-ruang baru dalam membangun pengetahuan, termasuk dari ketidaktahuan. Jangan takut tidak tahu, takutlah jika tidak mau tahu,” ujarnya dengan semangat.
Narasi yang Hilang dari Gerakan Mahasiswa
Sementara itu, pemateri kedua, Hizba Muhammad, menyoroti tantangan internal gerakan mahasiswa saat ini. Ia mengungkapkan bahwa banyak organisasi mahasiswa kehilangan jati dirinya karena tidak lagi memiliki narasi perjuangan yang kuat. “Ketika masyarakat turun ke jalan, pemerintah naik ke meja negosiasi. Tetapi mahasiswa? Hilang narasinya,” tegasnya.
Menurut Hizba, mahasiswa tak cukup hanya aktif secara fisik, tetapi harus tajam secara intelektual. Ia menyebutkan tiga keterampilan kunci yang harus dimiliki mahasiswa masa kini: kepemimpinan, public speaking, dan kemampuan menulis. Ia juga menyoroti krisis informasi yang dialami masyarakat, di mana konten dangkal dan hiburan receh lebih dominan daripada asupan pengetahuan bermutu. “Gunakan media digital bukan cuma buat joget-joget. Jadikan itu alat untuk membangun nalar dan menyebarkan pengetahuan,” pesannya lugas.
Mahasiswa dan Tanggung Jawab Intelektual
Seminar ini tidak hanya menjadi forum ilmiah, tetapi juga ruang penyadaran tentang pentingnya mahasiswa sebagai elemen kritis dalam demokrasi. Melalui materi yang disampaikan, para peserta diajak untuk kembali merefleksikan identitas gerakan mahasiswa dan mengukuhkan perannya sebagai agen perubahan, bukan hanya penonton sosial.
Dengan semangat kolaborasi antar-BEM, kegiatan ini diharapkan menjadi titik awal sinergi mahasiswa lintas kampus dalam menjawab krisis sosial-politik dengan aksi nyata yang cerdas dan berdampak. (Tifa)