Moral dan Peran Keluarga di Era Digital

Dr. Mhd Lailan Arqam S.Pd., M.Pd., dalam Khutbah Jumat Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Anove)
Dr. Mhd Lailan Arqam S.Pd., M.Pd., dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan pengurus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah mengisi khutbah Jumat yang rutin diadakan di Masjid Islamic Center (IC) Kampus IV. Dalam khutbahnya, beliau menyoroti isu penurunan moral yang belakangan ini menghebohkan publik, khususnya terkait terungkapnya komunitas “Grup Fantasi Sedarah” di media sosial Facebook.
Lailan mempertanyakan, “Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Apa yang salah di masyarakat kita?” Beliau menekankan keprihatinan atas peran orang tua yang sudah sepatutnya menjadi pelindung, tetapi justru menyalahgunakan perannya dengan menjadikan anak sebagai objek seksualitas.
Fenomena ini, menurut Lailan, tidak terlepas dari peran dunia maya yang kini tanpa disadari menjadi realitas. Anak-anak masa kini menyerap nilai-nilai dari media sosial dan dunia digital secara masif. Konten-konten di dalamnya, yang dapat diinterpretasikan dan divisualisasikan seolah-olah baik, berpotensi menyesatkan. Para ahli mencoba menelusuri akar masalahnya, mengindikasikan bahwa perilaku menyimpang ini bisa jadi bermula dari trauma masa lalu atau kurangnya kasih sayang para pelaku di masa kecil. “Ini adalah kegagalan psikologis di masa kecil yang berdampak besar!” tuturnya.
Penyebab utamanya, imbuhnya, adalah kedekatan media dengan anak-anak. Mereka melihat segala hal secara nyata, sehingga apa yang ditonton dianggap sebagai tuntunan dan hal yang lumrah. Dalam perspektif teori konstruksi realitas sosiologi, Lailan menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terinternalisasi menjadi habituasi melalui tiga tahapan, yaitu eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Penyerapan nilai ini tidak lepas dari dialektika individu dengan realitas sosialnya. Jika anak tidak diajarkan, dicontohkan, atau dididik dengan nilai-nilai luhur, maka apa yang mereka serap dari lingkungan eksternal akan menjadi prinsip etika dan kebiasaan mereka.
“Keluarga semakin abai dengan nilai agama,” tegas Lailan. “Jangan sampai kita terjebak pada satu kesalahan yang sama, seolah-olah persoalan agama itu persoalan kepakaran yang notabene dari keilmuan Islam. Atas dasar dalil itu, orang tua tidak mau dan tidak berkeinginan untuk memahami Al-Qur’an. Padahal nilai-nilainya untuk diajarkan, justru abai. Ingin hidup di surganya Allah tetapi jauh dari Al-Qur’an,” tambahnya.
Beliau menekankan bahwa tidak ada alasan bagi siapa pun, apa pun latar belakang dan kondisinya, untuk tidak mempelajari Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Mengutip sabda Nabi Muhammad saw., risalah kenabian telah terhimpun sempurna, menandakan berakhirnya tugas kenabian.
Di akhir khutbahnya, Lailan juga menyampaikan rasa syukurnya bahwa mahasiswa UAD dibimbing dan diajarkan untuk belajar Islam yang baik. Namun, ia juga menyoroti ironi ketika simbol-simbol keagamaan di sekolah atau kampus justru dianggap sebagai beban yang mempersulit studi akademik.
Khutbah ditutup dengan Q.S. Luqman ayat 13–19, yang memberikan contoh tentang bagaimana pendidikan dasar harus dilakukan oleh orang tua untuk membentuk karakter anak melalui kebiasaan baik yang berulang, mengingat pengaruh eksternalisasi, termasuk media sosial. Beliau mengingatkan bahwa agama pun pada akhirnya bisa tergantung pada siapa “teman” kita dan lingkungan pergaulan menjadi faktor pengaruh yang kuat. (Anove)