OTT Literasi: Berikan Pencerahan tentang Restorative Justice
Program OTT atau Obrolan Tipis-Tipis mengundang Kurnia Dewi Anggraini, S.H., M.H. yang dikenal sebagai dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Pada kesempatan itu, ia membahas tentang restorative justice.
Menurutnya, restorative justice dikenal sebagai metode penyelesaian pidana tetapi di luar jalur persidangan. Konsep ini akan mempertemukan antara pelaku dan korban kemudian dilakukan secara musyawarah untuk menyelesaikan perkara pidana.
“Konsep tersebut tidak berlaku dalam penjara, tetapi akan dikembalikan kepada korban yang bersangkutan. Saat melakukan musyawarah, korban akan memiliki beberapa pilihan untuk membuat jera kepada pelaku,” jelasnya.
Sementara itu, dalam melakukan musyawarah harus memiliki beberapa pihak yang bersangkutan di antaranya saksi, pihak keluarga, dan tokoh masyarakat. Bahkan, sebelum melaksanakan proses restorative justice diharuskan memiliki laporan penyidik dari pihak berwajib.
“Dalam konsep ini tidak berlaku pada semua tindak pidana, tetapi hanya berlaku pada tindak pidana ringan. Jalur musyawarah tersebut berguna untuk meringankan keadaan penjara yang saat ini sedang kelebihan muatan.”
Lebih lanjut ia menuturkan, dalam restorative justice aparat penegak hukum akan memberikan solusi kepada kedua belah pihak. Jika bentuk penawaran yang telah diberikan kepada pihak korban atau pelaku tidak menghasilkan persetujuan maka tindak pidana akan berlanjut pada proses persidangan. Dalam kasus ini, restorative justice harus memiliki kejujuran dari pihak korban ataupun pelaku.
“Kasus tindak pidana ringan dengan metode penyelesaian secara musyawarah, semua permasalahan akan dikembalikan kepada korban. Ini berguna untuk mempercepat penyelesaian kasus dengan memilih antara melanjutkan menuju persidangan atau mengikhlaskan korban walaupun telah mengakui kesalahannya,” kata Kurnia Dewi Anggraini.
Adapun beberapa syarat dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang telah ditawarkan dalam metode restorative justice adalah pelaku dewasa akan mendapat ancaman di bawah 7 tahun, tetapi secara diversi pelaku di bawah umur akan mendapat ancaman 5 tahun.
“Di Indonesia posisi penyidik dalam restorative justice sebagai mediator, berbeda dengan di Belanda yang menggunakan posisi mediator berada di pihak ketiga. Konsep tersebut telah diterapkan oleh Indonesia sehingga merupakan suatu kemajuan untuk sarana penyelesaian tanpa jalur persidangan,” tegasnya.
Ia menambahkan, keuntungan dalam melakukan restorative justice yakni pemenuhan hak atas korban. Ini berguna untuk mempertahankan HAM dalam suatu kehidupan serta memilih dan memutuskan dalam mencapai kesepakatan. Kemudian keuntungan lainnya yakni pelaku tidak akan dimasukkan dalam penjara. Dalam beberapa kasus tindak pidana ringan, pelaku akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai titik pengampunan dari korban.
“Diversi berguna untuk pelaku anak sedangkan restorative justice untuk pelaku dewasa. Dalam pengertian secara rasional, diversi dan restorative justice merupakan salah satu cara penyelesaian yang dilakukan secara musyawarah. Dalam kaitannya, disebut pula bentuk pengembangan dari diversi yang digunakan untuk pelaku dewasa,” tutup Kurnia Dewi Anggraini. (rai)