Workshop Disability Awareness UAD Tekankan Pentingnya Pendidikan Inklusif dan Perubahan Paradigma

Workshop Disability Awareness oleh Pusat Disabilitas Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. PSD UAD)
Pusat Studi Disabilitas Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menggelar Workshop Disability Awareness di Educator Hall Kampus Utama UAD pada Jumat, 8 Agustus 2025. Workshop ini dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa UAD dari berbagai fakultas, dengan menghadirkan Nur Azizah, Ph.D., seorang pakar studi disabilitas, sebagai narasumber.
Pelatihan ini membahas kesadaran dan kepedulian terhadap mahasiswa dengan kebutuhan khusus yang berpotensi mengenyam pendidikan tinggi. Dalam forum ini, ditekankan bahwa penyebutan ‘disabilitas’ sebaiknya diganti menjadi ‘difabel’ (differential ability) untuk menekankan kemampuan yang dimiliki, bukan keterbatasannya.
Beberapa contoh nyata keberhasilan mahasiswa difabel dalam menyelesaikan studi juga diangkat, mulai dari tunadaksa, tunanetra, tunarungu, autisme, hingga cerebral palsy. Salah satu kisah inspiratif datang dari Safrina, penyandang cerebral palsy yang kini menjadi Guru PNS di SLB Negeri 1 Bantul. Ia pernah mengalami perundungan, memulai karier sebagai Guru Tidak Tetap (GTT), hingga berhasil meraih gelar magister dan mengantongi berbagai penghargaan. “Dukungan teman dan lingkungan sangat berarti dalam perjalanan saya,” tuturnya.
Dalam diskusi, Nur Azizah menekankan bahwa paradigma disabilitas bukan berasal dari kondisi individu semata, melainkan dari lingkungan yang membatasi. “Disabilitas terjadi karena kombinasi antara kondisi individu dan hambatan lingkungan, yang mengakibatkan keterbatasan partisipasi jangka panjang lebih dari enam bulan,” jelasnya.
Pendidikan inklusif, menurutnya, memerlukan tiga unsur penting: penerimaan diri dan resiliensi dari individu difabel, dukungan penuh dari keluarga, serta kepedulian lingkungan kampus. Teknologi juga menjadi penopang signifikan, seperti aplikasi JAWS dan NVDA yang memudahkan difabel mengakses informasi dan berinteraksi secara sosial.
Nilai-nilai keislaman turut menjadi landasan dalam pembahasan. QS. Al-Hujurat: 13 dan QS. At-Tin: 4, pandangan Al-Faruqi (2017) tentang lima prinsip hak asasi manusia dalam Islam, serta kisah sahabat Nabi seperti Ummi Maktum yang tunanetra dan Mu’adz bin Jabal yang memiliki keterbatasan fisik, dihadirkan sebagai pengingat bahwa setiap manusia memiliki kehormatan yang sama di mata Tuhan.
Menutup sesi, Nur Azizah kembali menekankan pentingnya asesmen awal bagi mahasiswa difabel untuk mengidentifikasi kebutuhan sekaligus membuka peluang berkembang. “Jika peluang itu dibuka, bakat akan berkembang dan kontribusi mereka akan semakin nyata,” pungkasnya. (ABP/Lus)