Pentingnya Percepatan RUU Praktik Kefarmasian
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menggelar Webinar Mata Kastrad “Sewindu Perjuangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Praktik Apoteker yang Tak Kunjung Usai”. Acara berlangsung pada Minggu, 04 Desember 2022 secara daring melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan melalui kanal YouTube BEM Farmasi UAD. Hadir sebagai pemateri apt. Tsalisah Damayanti, S.Farm., M.M.R. yang merupakan Kepala Bidang Regulasi dan Advokasi Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI) Yogyakarta, serta Yuliansyah, S.Farm. selaku Aktivis Bidang Kajian Aksi Strategis dan Advokasi.
Wakil Dekan Fakultas Farmasi UAD, Prof. Dr. apt. Nurkhasanah, M.Si. dalam sambutannya menyampaikan, “Webinar ini sangat penting untuk membahas 1 topik sebagai praktik profesi kita yaitu apoteker. Semoga dengan berbagi materi dari narasumber, dapat mencerahkan mahasiswa tentang pentingnya Undang-Undang (UU) Praktik Apoteker atau Kefarmasian, karena pada dasarnya mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya peduli dengan apa yang terjadi di sekitar kita.”
Masuk tema bahasan, Tsalisah menyampaikan mengenai dinamika perjalanan IAI memperjuangkan RUU Praktik Apoteker. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat berwenang dan mengikat secara umum. Menurut program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2020–2024, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masih berada di urutan 80. Artinya, masih banyak RUU yang diprioritaskan sehingga RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum bisa masuk pada tahun 2023.
Lebih lanjut, ia menjelaskan latar belakang perlunya Undang-Undang Kefarmasian. Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan mempunyai peran strategis dalam pelayanan kesehatan untuk menjamin ketersediaan obat yang bermutu, menjamin efektivitas pengelolaannya, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat melalui pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien.
Selain itu, jumlah apoteker di Indonesia saat ini mencapai sekitar 85.000 dengan tingkat pertumbuhan 10% per tahun. Sampai sekarang praktisi kefarmasian di Indonesia belum berjalan optimal. Peran apoteker pada umumnya hanya sebatas mengelola obat dan baru mulai ke arah farmasi klinis, akibatnya keberadaan dan kemanfaatan profesi apoteker belum bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Hal-hal yang melatarbelakangi lainnya seperti konsep, strategi, dan mekanisme yang mengatur peran pemerintah, organisasi, profesi, masyarakat, juga stakeholders dalam pengembangan pendidikan apoteker, belum dirumuskan secara jelas dan terstruktur. Khususnya dalam penyediaan fasilitas praktisi kerja profesi. Dengan demikian, bisa kita lihat tingkat kesadaran dan kefarmasian akan peran, tugas, dan kewenangannya masih rendah. Selain itu, masih rendahnya juga pengakuan peran apoteker dalam Sistem Kesehatan Nasional yang berakibat pada tidak terlibatnya peran apoteker dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan secara nasional,” jelas Tsalisah.
Terakhir ia menyampaikan, tujuan utama UU Praktik Kefarmasian atau Apoteker adalah adanya payung hukum yang mengatur tentang praktik kefarmasian atau apoteker. Kemudian, sasaran yang ingin diwujudkan yakni apoteker bisa lebih maksimal dalam kontribusi terhadap masyarakat, dan menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan apoteker. Selain itu juga menjamin apoteker memperoleh kepastian hukum atas risiko kerja, keberadaan profesi apoteker jadi lebih terjaga eksistensinya baik dalam dan di luar negeri, profesi apoteker lebih terlindungi dalam menjalankan praktik profesinya dari permasalahan hukum, serta ada perlindungan terhadap profesi apoteker untuk bersaing dengan tenaga apoteker dari negara lain. (frd)