Tauhid Sosial: Beragama yang Menyejahterakan
Kajian Rutin Ahad Pagi kembali digelar di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada 23 Juni 2024 bertepatan dengan 16 Dzulhijjah 1445 H. Acara juga disiarkan langsung melalui kanal YouTube Masjid Islamic Center UAD. Kajian dihadiri oleh mahasiswa, masyarakat sekitar, dan umum. Ridwan Furqoni, S.Pd.I., M.P.I. selaku Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY didapuk menjadi pemateri kajian.
Tauhid berasal dari kata bahasa Arab wahhada-yuwahhidu-tauhidan, wahid berarti satu, tauhid berarti menempatkan Allah sebagai satu-satunya. Jenis-jenis tauhid, antara lain tauhid rububiyah yakni meyakini Allah sebagai satu-satunya yang menciptakan, memelihara, dan merawat manusia. Tauhid mulkiyah yakni meyakini Allah sebagai satu-satunya Dzat yang Maha Berkuasa. Tauhid uluhiyah yakni meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah.
Bertauhid di dalam hidup berarti menempatkan Allah sebagai satu-satunya orientasi hidup seseorang. Orang yang bertauhid pangkatnya, kekuasaannya, dan segala hal berorientasi kepada Allah, yakni demi menyempurnakan tugas Allah.
Referensi tema dalam pembahasan tersebut yaitu dari buku karya Amien Rais yang berjudul Tauhid Sosial Formula Menggempur Kesenjangan diterbitkan oleh Mizan, Bandung, tahun 1998. Tauhid sosial muncul sebagai respons dari cara beragama yang hanya mengedepankan kesalehan pribadi dan mengabaikan kehidupan sosial. Sesungguhnya perkara tauhid sosial ini sudah pernah dikritik oleh Kiai Dahlan pada tahun awal-awal abad ke-20, yang notabene di Indonesia pesantren dan kiai telah menjamur.
Beragama itu hendaknya berdampak dengan kehidupan sekitarnya. Beragama yang tidak berdampak cenderung akan menghasilkan masalah, maka bertauhid kepada Allah harus memberikan dampak dalam kesejahteraan hidup umat manusia di muka bumi. Tugas seorang muslim di dunia ada dua, yakni sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan memiliki status sebagai khalifatullah (pemimpin). Contoh tauhid sosial yaitu menyejahterakan sesama manusia dengan zakat, menyejahterakan hewan dengan memakai pisau yang tajam dalam pemotongannya, dan menyejahterakan alam dengan tidak mengeksploitasinya.
Di dalam Al-Qur’an dan hadis, ketika ada seseorang yang dihukum, banyak sekali yang hukumannya membebaskan budak. Hal ini karena Islam ingin menghapus perbudakan, perbudakan menempatkan manusia seperti setengah manusia, juga seperti barang. Jadi budak itu berbeda dengan pembantu, budak dimiliki langsung oleh majikannya seperti kepemilikan barang.
Pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta. (Q.S. Adz-Dzariyat: 19)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa berislam akan lebih sempurna jika kita membantu menyejahterakan sesama. Sebab di sebagian harta seseorang adalah hak untuk orang miskin. Sedekah dan zakat sebagai sarana penyucian dari harta seseorang yang tidak halal, atau harta yang tercampur. Orang yang berhak disedekahi yaitu balita telantar, anak jalanan, anak disabilitas, lanjut usia telantar, tuna susila, korban napza, korban bencana alam, fakir miskin, keluarga tidak layak huni, dan semisalnya. Tugas kita mengentaskan manusia dari dhu’afa (orang-orang yang lemah) dan mustad’afin (orang-orang yang terlemahkan), hal itu merupakan tugas ketauhidan seorang muslim. (Lus)