Apakah Benar Media Sosial Mengganggu Kesehatan Mental?

Daffa Nur Fauzy, mahasiswa Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Humas UAD)
Di era digital, hampir mustahil menemukan mahasiswa yang tidak menggunakan media sosial seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan platform lainnya. Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, apakah benar media sosial dapat mengganggu kesehatan mental?
Fenomena Akibat Media Sosial
Dari berbagai artikel dan berita, menunjukkan bahwa gangguan mental seperti kecemasan dan depresi di kalangan mahasiswa meningkat drastis. Hal ini disebabkan oleh media sosial yang kemudian melahirkan fenomena dengan istilah baru seperti Popcorn Brain dan Strawberry Generation.
Popcorn Brain adalah istilah untuk menyebut kondisi otak yang terbiasa mengonsumsi konten singkat dan cepat di media sosial seperti TikTok, Reels, dan Twitter. Akibatnya, otak menjadi terbiasa dengan stimulasi yang singkat dan dangkal. Fenomena ini dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk fokus dan berkonsentrasi dalam jangka waktu panjang. Hal ini kemudian berdampak pada kehidupan nyata, seperti dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah, yang pada akhirnya dapat memicu gangguan mental.
Ada juga istilah burnout, yaitu kondisi seseorang yang lelah secara mental karena terlalu banyak menerima informasi di media sosial sehingga kemampuan otak dalam berpikir menurun. Kondisi ini ditandai dengan perasaan lelah, hampa, dan merasa tidak memiliki semangat untuk melanjutkan pekerjaan atau aktivitas.
Media sosial juga menyebabkan perbandingan sosial akibat FOMO (Fear of Missing Out). Melihat orang lain berpesta, jalan-jalan, makan di restoran mahal, atau mengenakan pakaian bagus yang seakan-akan menampilkan hidup sempurna di media sosial juga dapat menyebabkan gangguan mental, padahal semua itu adalah standar hidup yang tidak realistis.
Mental lemah ini disebut oleh Rhenald Kasali sebagai Strawberry Generation atau Generasi Stroberi. Mereka adalah generasi yang tampilan luarnya tampak sempurna, tetapi apabila dihadapkan pada suatu persoalan, mereka mudah tertekan dan mengalami gangguan mental.
Apakah Benar Pendapat Tersebut?
Sebelum kita menuduh media sosial sebagai penjahat utama, perlu diingat bahwa platform ini juga memberikan manfaat yang cukup besar. Banyak mahasiswa menemukan sistem pendukung melalui komunitas media digital, dan kesadaran akan kesehatan mental yang semakin meningkat akhir-akhir ini juga dipicu oleh diskusi terbuka di media sosial.
Saat pandemi, media sosial menjadi jembatan untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga. YouTube menjadi perpustakaan gratis untuk belajar keterampilan baru. LinkedIn membantu membangun networking dan mencari peluang karier. Twitter juga menjadi platform diskusi isu-isu penting. Jadi, apakah adil jika kita menyalahkan media sosial sepenuhnya?
Waktu Penggunaan Merupakan Kunci
Tidak tepat jika kita menyalahkan media sosial sepenuhnya. Persoalannya adalah bagaimana kita menggunakan media sosial secara lebih bijak, bukan sekadar melabelinya baik atau buruk.
Algoritma platform dirancang untuk membuat kita menggulir lebih lama, tetapi kita masih punya kontrol. Kita bisa memilih untuk mengikuti akun yang memberikan konten positif dan mendidik serta mengatur batas waktu layar sehingga tidak terkena dampak fenomena sosial yang dijelaskan di atas. Hal ini juga sesuai dengan pandangan Islam.
Bagaimana Pandangan Agama?
Dalam sebuah hadis sahih tentang tanggung jawab yang diriwayatkan Ibnu Umar sebagai berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامِ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ راع عَلَى أَهْل بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْل بَيْتِ زوجها وهيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُل راع عَلَى مَال سَيِّدِه وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam memimpin orang banyak dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang pria adalah pemimpin di keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di keluarga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang budak adalah pemimpin harta tuannya, dan ia bertanggung jawab tentang hal itu. Ingatlah, tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Hadis di atas oleh Utsman Najati (tokoh Psikologi Islam) diambil sebagai hadis tentang pembentukan kesehatan mental. Beliau menjelaskan bahwa setiap individu harus bertanggung jawab atas apa yang ada di dalam pengurusannya, termasuk dalam penggunaan media sosial.
Dalam konteks ini, nilai tanggung jawab sangat relevan bagi anak muda agar dapat menggunakan media sosial secara bijak. Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut adalah dengan membatasi waktu penggunaan media sosial serta memilih dan menyaring konten yang bermanfaat.
Nilai tanggung jawab di atas juga terdapat dalam agama-agama lain sehingga hadis ini adalah bentuk inklusivitas dalam memberikan solusi terhadap persoalan mental untuk semua kalangan agama.
Kesimpulan
Media sosial bukanlah musuh kesehatan mental, tetapi juga bukan sahabat terbaik. Namun, yang terpenting adalah kesadaran kita untuk menggunakan platform ini secara bijaksana dan tidak membiarkannya mengontrol hidup kita.
Akhir kata, media sosial hanyalah alat dan yang menentukan dampaknya adalah kita sendiri. Jadi, daripada menghindari atau menyalahkan media sosial, lebih baik kita belajar menggunakannya secara bijak, misalnya untuk mendukung karier ke depan sehingga terbentuk mental yang sehat. (daf)