IMM Fast Sikapi UU Permendikbudristek No. 33 Tahun 2021
Adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) atau Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi cukup menuai polemik di berbagai kalangan. Terkait hal ini, Pimpinan Komisariat (PK) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Sains dan Teknologi (Fast) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menyikapi dengan mengadakan diskusi daring lewat Zoom Meeting pada Rabu, 24 November 2021, dengan tema “Menyoal Perkara UU Permendikbudristek No. 33 Tahun 2021”.
Pasal 5 yang menjadi sorotan karena menuai banyak perdebatan dengan berbagai sudut pandang berbeda. Seperti yang diungkapkan Ketua Umum IMM Fast yang kerap disapa Nanda, “Ada satu kalimat yang bisa dianggap melegalkan perzinaan dengan frasa persetujuan, dan ini yang menjadi permasalahan dan banyak mendapat kritikan,” tuturnya, (24-11-2021).
Ia juga menambahkan ketika kita tidak membahas secara benar-benar hal tersebut, sangat ditakutkan salah penafsiran. Sebagai mahasiswa harus mampu terbuka dengan berbagai pandangan yang ada. Dengan adanya diskusi ini semuanya menjadi terbuka dan bisa mengambil sikap maupun tindakan yang seharusnya sebagai mahasiswa.
Narasumber diskusi ini adalah Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UAD Gatot Sugiharto, S.H., M.H., dan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia Dr. Norma Sari, S.H., M.Hum. yang dimoderatori oleh kader IMM Fast Immawan Ali Fauzan.
Norma menegaskan di awal diskusi bahwa yang menjadi konsen Muhammadiyah adalah perlindungan perempuan, anak, dan kaum marjinal, yang menjadi napas pendirian Muhammadiyah. Dalam konteks struktural masyarakat di Indonesia masuk ke dalam kelompok rentan yang harus mendapat perlindungan.
Ada sebuah narasi yang mulai dibangun bahwa Muhammadiyah dan organisasi otonomnya (ortom) menolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, adalah tidak benar. “Seperti yang saya sampaikan di awal, Muhammadiyah awalnya adalah mengadvokasikan hal itu, termasuk hal yang ditolak itu bukan soal kita menolak kekerasan seksual, tetapi bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikembalikan pada tujuan utama, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian,” imbuhnya. (Lrs)