Kampus, Akademisi, dan Psikologi dalam Sorotan Persoalan Sampah di Kota Jogja
Penulis: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
Mahasiswa Magister Psikologi UAD
Permasalahan sampah di Kota Yogyakarta kembali memanas, menyusul inspeksi mendadak Menteri Lingkungan Hidup (LH) ke depo sampah Mandala Krida pada 18 November 2024. Kritik tajam Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jogja, Sinarbiyat Nurjanat, menyoroti minimnya alokasi anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja dalam menangani masalah ini. DPRD menyebut Pemkot terlalu bergantung pada bantuan pemerintah pusat dan provinsi, sehingga terkesan “pelit” dalam menganggarkan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk mengatasi permasalahan yang kian mendesak.
Akan tetapi, di balik dinamika politik ini, kampus dan akademisi memiliki potensi signifikan untuk memberikan kontribusi solusi konkret terhadap isu tersebut. Bagaimana posisi kampus dalam konteks ini? Dan bagaimana psikologi melihat peran serta kontribusi akademisi terhadap masalah sosial seperti sampah?
Kampus sebagai Agen Solusi Sosial
Kampus bukan hanya sekadar institusi pendidikan, tetapi juga pusat intelektual dengan kemampuan analisis dan penyelesaian masalah berbasis penelitian. Dalam konteks persoalan sampah di Kota Jogja, kampus memiliki potensi besar untuk berkontribusi sebagai penyedia riset dan teknologi. Melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah, kampus dapat membantu mengembangkan teknologi pengelolaan sampah modern yang efisien dan ramah lingkungan. Fakultas teknik, lingkungan, dan teknologi informasi dapat dilibatkan dalam menciptakan solusi inovatif, seperti insinerator atau sistem daur ulang otomatis.
Selain itu, kampus juga berperan sebagai pusat edukasi dan kampanye publik. Program-program berbasis psikologi perilaku dapat dirancang untuk mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah. Pendekatan berbasis insentif atau pembentukan komunitas peduli sampah, dengan melibatkan mahasiswa sebagai fasilitator, dapat menjadi strategi efektif.
Lebih jauh lagi, kampus dapat mendorong kebijakan publik dengan menyediakan penelitian akademik sebagai basis ilmiah dalam perumusan kebijakan. Kajian mendalam mengenai pengelolaan sampah, analisis anggaran, serta evaluasi efektivitas program yang dijalankan oleh Pemkot Jogja dapat menjadi kontribusi nyata untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Psikologi dan Isu Sampah: Perilaku, Kebijakan, dan Kepemimpinan
Psikologi melihat permasalahan sampah sebagai isu kompleks yang melibatkan perilaku manusia, dinamika sosial, dan pengaruh kebijakan. Dalam konteks Jogja, terdapat tiga perspektif psikologi yang relevan untuk memahami dan mengatasi masalah ini.
Pertama, psikologi perilaku dan edukasi lingkungan. Perspektif ini menyoroti bahwa persoalan sampah tidak hanya terkait teknologi, tetapi juga perilaku masyarakat. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, rendahnya kesadaran untuk mendaur ulang, dan budaya konsumsi yang tidak ramah lingkungan menjadi tantangan utama. Solusi jangka panjang dapat berupa kampanye perubahan perilaku berbasis psikologi, seperti pendekatan nudge. Misalnya, menyediakan tempat sampah tematik atau memberikan penghargaan kepada masyarakat yang aktif dalam pengelolaan sampah.
Kedua, psikologi organisasi dan kepemimpinan. Perspektif ini menyoroti kritik terhadap Pemkot Jogja, terutama dalam hal kepemimpinan dan pengelolaan organisasi. Psikologi organisasi dapat membantu mengevaluasi efektivitas tim Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah (TPAD) dalam menetapkan prioritas anggaran. Selain itu, pendekatan ini menekankan pentingnya kepemimpinan visioner untuk mendorong langkah konkret, seperti pengalokasian anggaran yang lebih signifikan untuk menangani persoalan sampah.
Ketiga, psikologi sosial dan kolaborasi. Perspektif ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan kampus. Psikologi sosial dapat digunakan untuk menjembatani kolaborasi ini, misalnya melalui pemahaman dinamika kelompok, persepsi publik terhadap kebijakan pemerintah, dan strategi untuk meningkatkan partisipasi komunitas dalam pengelolaan sampah.
Kritik terhadap Pemkot Jogja dan Tantangan Akademisi
Kritik yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Jogja, Sinarbiyat Nurjanat, mengungkapkan bahwa alokasi anggaran Pemkot untuk pengelolaan sampah masih jauh dari optimal. Hal ini terlihat dari besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa), yang mencerminkan ketidakefisienan dalam penggunaan dana daerah. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa isu sampah, yang secara nyata memengaruhi kualitas hidup masyarakat, belum menjadi prioritas utama?
Di sisi lain, institusi akademik, seperti kampus, sering terjebak dalam paradigma “menara gading”. Hasil penelitian yang dihasilkan tidak selalu diterapkan dalam kebijakan publik, sehingga mencerminkan kurangnya keterhubungan antara dunia akademik dan realitas sosial. Hal ini menantang akademisi untuk keluar dari zona nyaman, lebih dekat dengan masyarakat, dan menawarkan solusi yang aplikatif.
Untuk mengatasi permasalahan sampah di Kota Jogja, beberapa rekomendasi dapat diajukan. Pertama, optimalisasi peran kampus melalui pembentukan tim riset khusus yang fokus menangani isu sampah. Tim ini dapat mencakup penelitian tentang teknologi pengelolaan sampah modern, pola perilaku masyarakat, hingga perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kedua, Pemkot perlu mengadopsi anggaran berbasis hasil dengan menetapkan target dan indikator kinerja yang jelas untuk pengelolaan sampah. Ketiga, melibatkan mahasiswa dan komunitas lokal dalam kampanye edukasi lingkungan, seperti gerakan “Jogja Bebas Sampah”, yang menggunakan pendekatan psikologi perilaku untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Keempat, mengimplementasikan kebijakan inovatif yang belajar dari kota-kota lain yang berhasil, seperti Surabaya dengan program bank sampahnya. Program-program ini terbukti mampu memberikan dampak signifikan dalam jangka panjang, sekaligus menjadi contoh pengelolaan sampah yang efisien dan efektif.
Mengubah Krisis Menjadi Peluang
Masalah sampah di Kota Jogja bukan sekadar urusan Pemkot, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat, termasuk kampus dan akademisi. Dengan pendekatan berbasis psikologi, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan kampus dapat menghasilkan solusi yang holistik dan berkelanjutan.
Seperti yang diungkapkan Menteri Lingkungan Hidup, persoalan sampah adalah cerminan keseriusan kita menjaga lingkungan. Maka, mari kita jadikan masalah ini sebagai momentum untuk berbenah, berinovasi, dan bersama-sama menciptakan Jogja yang lebih bersih dan layak huni.