Makna Fitrah Menjadi Manusia
Sabtu, 29 Mei 2022, Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan syawalan dengan mengusung tema “Menjadi Cahaya Selepas Hari Raya”. Acara ini merupakan agenda dari Prodi PBSI dengan tujuan menjalin silaturahmi antara dosen, mahasiswa, dan alumni pasca-Idulfitri.
Berlangsung selama dua jam melalui platform Zoom Meeting dan tayang melalui kanal YouTube PBSI FKIP UAD Official, hadir Dra. Hj. Eny Harjanti selaku pemateri sekaligus alumnus Prodi PBSI UAD.
“Kegiatan syawalan ini bisa mengawali kegiatan kita untuk senantiasa menjalin silaturahmi dari prodi, mahasiswa, dosen, dan alumni, karena sampai kapan pun silaturahmi akan mendekatkan rezeki kita. Dengan adanya siraman rohani ini harapannya kita bisa bercahaya selepas hari raya, insyaallah bisa menjadi cahaya untuk diri kita sendiri ataupun keluarga,” papar Roni Sulistiyono, S.Pd., M.Pd. selaku Kaprodi PBSI dalam sambutannya.
Dalam pemaparannya, Eny membahas cara menjadi pencerah selepas hari raya. “Menjadi cahaya merupakan satu cita-cita, satu keinginan yang perlu kita perjuangkan. Bagaimana selepas hari raya kita mampu memberi pencerahan, menjadi lentera, menjadi penerangan bagi masyarakat atau lingkungan di mana pun berada. Bagaimana kita bisa menjadi pencerah, lentera? Tentu saja akan kembali pada fitrah kita,” paparnya.
Fitrah menjadi manusia tidak hanya dimaknai dari sekadar suci dan bersih, tetapi fitrah sebagai manusia seperti Allah menciptakan manusia hanya dengan tujuan agar kita beribadah kepada-Nya. Manusia diberikan potensi oleh Allah Swt. berupa tiga hal, yaitu potensi bodi, akal, dan hati. Potensi bodi atau jasad, manusia diciptakan oleh Allah Swt. dalam bentuk terbaik, seperti firman Allah dalam Q.S. At-Tin ayat 4. Allah memberikan akal, makin tinggi ilmu pengetahuan makin tinggi pula akalnya. Potensi yang ketiga adalah hati, Rasulullah saw. bersabda “Ala wa inna fil-jasadi mudhgatan idza shalahat shalahal-jasadu kulluhu wa idza fasadat fasadal-jasadu kulluhu ala wa hiyal-qalbu.” Yang artinya: “Ingatlah, dan sesungguhnya di dalam hati itu terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik (pula) seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim) (Muttafaqun Alaih). Apabila ketiga potensi tersebut mampu berkolaborasi, bersinergi, dan mampu mengolah kemudian muncul satu aktivitas yang bernilai ibadah, maka kita akan mampu menjadi cahaya, lentera di lingkungan sekitar.
“Orang yang bisa memberikan pengaruh, pencerah untuk lingkungan tentu saja orang yang memiliki kualitas lebih dibanding yang di sekitarnya. Lantas bagaimana kriteria orang yang berkualitas? Orang yang berkualitas adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan, orang yang beriman dan beramal saleh, orang yang bermanfaat bagi orang lain, dan orang yang bersih hati. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri, bersih hati secara lahir maupun batin. Jika selama bulan Ramadan kita betul-betul belajar untuk menyucikan jiwa kita, maka tidak mustahil kebersihan hati, rohani, jiwa kita peroleh pasca-Ramadan sehingga mewarnai kehidupan kita setelah hari raya dan seterusnya,” tutupnya. (frd)