Masifikasi Pengkaderan Muhammadiyah Menuju Indonesia Berkemajuan
Masa Ta’aruf (Masta) mahasiswa baru Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali digelar pada 14 September 2023. Dalam acara tersebut, terdapat studium generale yang menghadirkan Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag., M.A. sebagai narasumber. Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan sekaligus Kepala Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah Lamongan itu memaparkan terkait pemasifan pengkaderan Muhammadiyah untuk mewujudkan budaya Indonesia yang berkemajuan.
“Terdapat 5 nilai utama budaya bangsa Indonesia Berkemajuan, yakni tauhid yang murni, pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah secara mendalam, menghidupkan ijtihad dan tajdid dalam semua dimensi kehidupan, wasatiyah dalam pemikiran dan perbuatan, serta membawa rahmat bagi alam semesta,” ungkap Piet.
Ia melanjutkan, “Saat ini coba kita identifikasi apa saja persoalan yang dihadapi oleh generasi muda Indonesia. Pertama, lahirnya kaum muda yang orientasi hidupnya disetir oleh algoritma artificial intelligent. Kedua, lahirnya generasi stroberi yang kreatif tertapi kondisi mental cenderung tidak aman (mudah down). Ketiga, lahirnya budaya cinta dunia, selfish, dan seenaknya. Keempat, masalah adab dan akhlak akibat maraknya media sosial.”
Piet mengungkapkan bahwa model masifikasi pengkaderan Muhammadiyah yang dibutuhkan memiliki ruang lingkup yang luas. Hal-hal yang dimaksud adalah pembentukan mental dan karakter yang kuat, pelatihan bersosialisasi dengan adab dan kesabaran secara universal, pelatihan manajemen diri dalam menjaga amanah dan tanggung jawab terhadap persoalan yang melibatkan dirinya dengan orang lain, dan pelatihan literasi (bukan sekadar tulis-menulis untuk mempelajari spesialisasi keilmuan secara mendalam untuk masa depan. Selain itu, diperlukan juga adanya pelatihan pemetaan persaingan global untuk meningkatkan kualitas generasi muda.
Dalam masifikasi pengkaderan, setiap orang harus mampu menjaga iman, menjadi rabbani (sinkronasi tubuh, pikiran, dan hati sesuai syariat), juga sedang dan telah belajar maupun mengajarkan Al-Qur’an. Menjadi rabbani dilakukan bukan hanya sebelum belajar, tetapi juga setelah mengajar dan sedang mengajar. “Syarat dalam belajar ibaratnya seperti gelas yang harus dikosongkan isinya agar ilmu yang diberikan bisa memenuhi gelasnya kembali,” kata Piet. (ish)