Masyarakat Inklusif dan Peran Perempuan dalam Mewujudkannya

Pengajian Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) 1446 H di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Humas UAD)
Pembahasan mengenai masyarakat inklusif menjadi sorotan dalam sesi keempat Pengajian Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Yogyakarta 1446 H yang berlangsung di Amphitarium Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 16 Maret 2025. Pemateri utama, Wakil Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ro’fah Makin, M.A., Ph.D., menekankan bahwa inklusi sosial bukan sekadar memberi kesempatan kepada kelompok rentan, tetapi memastikan keterlibatan mereka benar-benar bermakna.
Masyarakat inklusif adalah lingkungan yang memastikan setiap individu, terlepas dari latar belakang, kondisi ekonomi, atau identitasnya, memiliki akses yang sama terhadap peluang, sumber daya, dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Konsep ini mencakup berbagai aspek, mulai dari inklusi gender, ekonomi, ras, agama, hingga disabilitas. Namun, masih banyak kelompok yang mengalami eksklusi sosial akibat perbedaan identitas sosial mereka.
“Orang miskin sering kali dipinggirkan karena keterbatasan finansial untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Begitu pula dengan kelompok minoritas yang haknya kerap terabaikan hanya karena perbedaan keyakinan,” ungkapnya.
Dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, perempuan memiliki peran strategis dalam berbagai sektor, mulai dari advokasi keadilan sosial, pembuatan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan, hingga pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Hingga kini, ‘Aisyiyah telah banyak berkontribusi dalam memperjuangkan kesetaraan melalui kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan, anak, lansia, serta masyarakat miskin. Inklusi juga memiliki dampak yang luas bagi masyarakat secara keseluruhan. Tidak hanya menguntungkan kelompok yang terpinggirkan, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien.
“Pengadaan lift dan kursi khusus di tempat umum awalnya ditujukan untuk penyandang disabilitas, tetapi nyatanya semua orang dapat merasakan manfaatnya. Inilah bukti bahwa masyarakat inklusif membawa manfaat bagi semua pihak,” tambahnya.
Persoalan sosial seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi berbasis agama, perubahan iklim, serta keterbatasan akses pendidikan dan layanan publik masih menjadi tantangan besar. Di Yogyakarta, misalnya, kesenjangan sosial semakin tinggi dengan naiknya harga tanah dan dominasi sektor pariwisata yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Hal ini semakin mempersulit kelompok ekonomi lemah untuk bertahan. Dalam menghadapi tantangan ini, pendekatan interseksionalitas menjadi sangat penting. Interseksionalitas membantu memahami bagaimana berbagai identitas sosial seseorang, seperti gender, ras, status ekonomi, dan disabilitas, saling beririsan dan dapat memperparah marginalisasi.
“Seorang perempuan difabel yang juga berasal dari keluarga miskin akan menghadapi diskriminasi berlapis-lapis. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus mempertimbangkan berbagai dimensi ketidakadilan ini,” imbuhnya.
Sebagai penutup, ia menyampaikan bahwa membangun masyarakat inklusif bukan hanya tugas satu kelompok saja, tetapi tanggung jawab semua pihak. Ia menegaskan bahwa laki-laki harus dilibatkan sebagai mitra terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Kemudian, setelah berbagai tantangan berhasil diatasi, laki-laki dan perempuan dapat bergerak bersama sebagai mitra untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan. (Ito)