Mengapa Kita Tidak Merasakan Penderitaan Orang Lain dalam Falsafah Penciptaan dan Realitas Ketidakadilan?
Penulis: Ilhamsyah Muhamad Nurdin (Mahasiswa Magister Psikologi UAD)
Falsafah penciptaan menegaskan bahwa manusia bukanlah individu yang terpisah dari yang lain, melainkan bagian dari komunitas tunggal di mana kebahagiaan seseorang seharusnya beresonansi dengan kebahagiaan orang lain. Begitu pula dengan penderitaan, luka satu manusia seharusnya dirasakan oleh manusia lainnya. Namun, realitas dunia hari ini menunjukkan bahwa prinsip ini telah terkikis. Ketidakadilan terjadi di mana-mana, dan yang melawan hanyalah mereka yang merasakan penderitaan tersebut, sementara yang tidak melawan adalah mereka yang tidak merasakan atau lebih buruk, memilih untuk tidak peduli. Bagaimana kita sampai pada titik ini? Apakah karena pemahaman kita tentang penciptaan manusia telah kabur?
Penciptaan sebagai Keterhubungan, Bukan Individualisme
Sejak awal, manusia diciptakan dalam kebersamaan. Tak ada manusia yang bisa hidup tanpa interaksi sosial. Dalam berbagai tradisi filsafat dan agama, manusia dianggap sebagai makhluk yang saling bergantung satu sama lain. Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon—makhluk sosial yang secara alami mencari kehidupan bersama. Islam menegaskan konsep ini dalam berbagai ayat yang menyebut manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertanggung jawab atas sesamanya. Namun, dalam dunia modern, kita justru semakin terisolasi dalam egoisme individual. Kapitalisme mengajarkan kita untuk mengejar kebahagiaan pribadi tanpa mempertimbangkan yang lain. Kita lebih fokus pada keuntungan sendiri, bahkan jika itu berarti menindas orang lain.
Ketidakadilan Hanya Dirasakan oleh yang Menderita
Ketidakadilan telah menjadi fenomena sistemik yang diterima sebagai bagian dari kehidupan. Orang miskin tetap miskin, sementara orang kaya semakin kaya. Yang tertindas tetap dalam penderitaan, sementara yang berkuasa terus menikmati hak istimewa mereka. Namun, yang lebih mengerikan dari ketidakadilan adalah kenyataan bahwa hanya mereka yang menderita yang benar-benar peduli. Orang-orang yang tidak mengalami penderitaan sering kali memilih diam atau bahkan mengabaikan realitas ini. Mereka tidak merasa perlu untuk bertindak karena merasa aman di zona nyaman mereka. Seolah-olah penderitaan orang lain bukanlah urusan mereka.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, empati telah dikikis oleh sistem yang kita jalani. Media membombardir kita dengan begitu banyak informasi sehingga tragedi dan ketidakadilan menjadi sekadar angka atau berita sesaat. Pendidikan lebih menekankan kesuksesan individu daripada kepedulian sosial. Masyarakat justru mendukung orang-orang yang “berhasil” tanpa mempertanyakan apakah kesuksesan mereka dibangun di atas penderitaan orang lain.
Kaburnya Pemahaman tentang Penciptaan
Berangkat dari pertanyaan mendasar tentang hakikat penciptaan manusia, kita perlu merenungkan kembali apakah selama ini kita telah keliru dalam memahaminya. Jika sejak awal diajarkan bahwa manusia adalah bagian dari satu komunitas besar, mengapa kita justru menjalani kehidupan dengan mentalitas yang terfokus pada diri sendiri? Pemahaman ini semakin kabur akibat beberapa faktor utama.
Sejak kecil, kita didorong untuk “menjadi yang terbaik”, “mengutamakan diri sendiri”, dan “mengejar impian pribadi”. Slogan-slogan ini sekilas tampak positif, tetapi dalam praktiknya membentuk mentalitas egoistik. Keberhasilan sering kali diartikan sebagai kemenangan atas orang lain, padahal sejatinya, kesuksesan yang hakiki lahir dari kemampuan membangun dan mengangkat sesama. Indoktrinasi individualisme semacam ini menjauhkan kita dari esensi kebersamaan yang seharusnya menjadi dasar dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, kita semakin kehilangan sensitivitas moral terhadap penderitaan orang lain. Dekadensi moral dan ketidakpedulian sosial membuat kita hanya peduli pada ketidakadilan yang langsung menyentuh diri sendiri. Kita menutup mata terhadap eksploitasi pekerja, ketimpangan ekonomi, dan kebrutalan sosial. Bahkan, ketidakadilan kerap dinormalisasi dengan dalih bahwa “hidup memang tidak adil”. Sikap apatis semacam ini semakin mengikis empati dan memperkuat jurang perbedaan dalam masyarakat.
Selain itu, nilai agama dan budaya yang sejatinya mengajarkan kebersamaan serta empati sering kali mengalami distorsi. Banyak yang menjalankan ritual keagamaan tanpa benar-benar memahami makna substantifnya. Beragama tetapi tetap menindas, berbudaya tetapi tetap egois—inilah paradoks yang terjadi. Falsafah penciptaan yang seharusnya membentuk perilaku sosial kita akhirnya hanya menjadi teori kosong tanpa implementasi nyata.
Jika kita terus membiarkan hal ini berlanjut, kita akan semakin terasing dari makna sejati keberadaan kita. Mungkin kini saatnya untuk kembali bertanya, bukan hanya tentang siapa kita, tetapi juga bagaimana seharusnya kita hidup sebagai bagian dari satu kesatuan yang lebih besar.
Kembali ke Falsafah Penciptaan
Jika kita ingin membangun dunia yang lebih adil, kita harus kembali ke prinsip dasar penciptaan manusia sebagai komunitas yang saling terhubung. Kesadaran bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa hanya dinikmati oleh segelintir orang harus tumbuh dalam diri setiap individu. Ada keinginan kolektif yang perlu dibangun untuk berbagi kebahagiaan dan meringankan penderitaan sesama.
Salah satu langkah penting adalah mereformasi pendidikan agar tidak hanya berorientasi pada pencapaian individu semata. Sistem pendidikan harus menanamkan nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, dan solidaritas, menggantikan pola yang terlalu menekankan kompetisi. Dengan begitu, generasi mendatang akan tumbuh dengan kesadaran bahwa keberhasilan sejati adalah keberhasilan bersama.
Selain itu, empati perlu dihidupkan kembali sebagai landasan utama dalam kehidupan sosial. Kita harus membiasakan diri bertanya, “Bagaimana perasaan orang lain? Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?” daripada sekadar berfokus pada kepentingan pribadi. Sikap ini akan membangun hubungan yang lebih kuat antarindividu dan menciptakan lingkungan yang lebih peduli.
Akan tetapi, semua upaya ini tidak akan cukup tanpa tindakan nyata dalam melawan ketidakadilan. Ketidakadilan tidak akan hilang dengan sendirinya; perlu keberanian untuk menghadapi dan mengubahnya, baik melalui aksi langsung, edukasi, maupun pembangunan sistem yang lebih adil. Jika kita tidak merasakan penderitaan orang lain, bukan berarti kita harus menjauh, tetapi justru mencari cara untuk lebih memahami dan terlibat. Dengan begitu, kita dapat bersama-sama menciptakan dunia yang lebih berkeadilan dan penuh empati.
Sebagai penutup, falsafah penciptaan bukan sekadar teori, tetapi pedoman hidup yang seharusnya membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia. Ketidakadilan yang terjadi di mana-mana adalah bukti bahwa kita telah melupakan prinsip ini. Kita telah terbiasa hidup dalam ketidakpedulian, hanya bereaksi jika kita sendiri yang terkena dampaknya. Ini bukan hanya kebutaan moral, tetapi pengkhianatan terhadap hakikat penciptaan kita sebagai manusia.
Jika kita ingin mengubah dunia, kita harus mulai dengan mengubah cara kita memahami diri sendiri dan orang lain. Kita harus kembali pada pemahaman bahwa semua manusia adalah bagian dari komunitas yang sama—satu tubuh yang merasakan kebahagiaan bersama dan menderita bersama. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun dunia yang lebih adil, di mana penderitaan satu orang menjadi keprihatinan bagi semua, dan kebahagiaan satu orang menjadi kebahagiaan bersama.