Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah
Sekolah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), diawali dengan materi pertama yang disampaikan oleh Hasnan Bachtiar mengenai Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah.
Hasnan mengatakan, Pancasila memiliki kontribusi yang lebih signifikan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang begitu luhur. Ia juga mengutip pendapat profesor ahli hukum internasional dari universitas di Belgia yang menyatakan bahwa ada tiga ciri khas untuk menentukan suatu negara. Rakyat, tanah atau biasa disebut teritori, dan pemerintahan yang efektif. Ketiganya ini sangatlah penting untuk menjamin kedaulatan. Indonesia sebagai negara yang berdiri sendiri tentu membutuhkan sebuah kedaulatan. Dalam mencapai kedaulatan itu maka dibutuhkan sebuah ideologi.
Indonesia memiliki ideologi Pancasila yang digali langsung melalui nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia itu sendiri. Dewasa ini ideologi Pancasila sering kali mengalami ancaman mulai dari adanya ideologi Islam ataupun ideologi yang lain. Islam kerap dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Beberapa kelompok yang menyatakan dirinya anti-Pancasila berusaha mengganti negara Indonesia untuk dijadikan negara Islam, yang artinya merujuk pada negara yang menggunakan serta menerapkan hukum Islam.
Hasnan juga menjelaskan pandangan Muhammadiyah mengenai Indonesia yang merupakan negara Pancasila, yang kemudian negara Pancasila dipandang sebagai negara Darul Ahdi Wa Syahadah pada muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 lalu.
“Darul Ahdi berarti negara konsensus atau negara hasil musyawarah, kesepakatan, ijma dari seluruh anak bangsa tanpa memandang agama, suku, bahasa, etnis, ataupun warna kulit. Sementara Darusyahadah adalah, dengan hal yang disepakati serta segala kekayaan perbedaan yang dimiliki, kita bahu-membahu membangun bangsa dan negara sebagai komitmen dalam proses pembangunan peradaban kemanusiaan yang unggul,” jelasnya.
Ketika membangun Darul Ahdi Wa Syahadah, Muhammadiyah berijtihad secara kolektif dan interdisipliner, mengupayakan teologisasi demokrasi, mengupayakan objektivikasi dan substansialisasi doktrin Islam untuk memperkuat makna demokrasi. Tentunya hal tersebut berdasarkan Islam berkemajuan atau manhaj, serta menggunakan pendekatan bayani, burhani, irfani, dan lintas disipliner. Metode yang digunakan pun berorientasi pada kemaslahatan umum, menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM), dan permuliaan alam. (wid)