Membedah ‘Profil Lulusan’ Lewat Analogi Dapur Gulai di Workshop OBE AFEB PTMA

Sesi Pengantar dan Landasan Filosofi Kurikulum OBE pada Workshop Kurikulum Outcome-Based Education (OBE) (Foto. HUMAS FEB)
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menjadi tuan rumah pada sesi kedua Workshop Kurikulum Outcome-Based Education (OBE) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AFEB PTMA) di Ruang Serbaguna Lantai 10 Kampus IV UAD. Sesi ini berfokus pada perumusan profil lulusan, salah satu elemen krusial dalam membangun kurikulum yang adaptif dan berorientasi masa depan.
Prof. B.M. Purwanto, M.B.A., Ph.D., pada sesi ini memfokuskan pembahasan pada pergeseran paradigma pendidikan dari pengetahuan dan keterampilan yang terpisah-pisah menuju integrasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam satu kompetensi utuh. Dalam ilustrasinya, beliau menyamakan sikap sebagai garam, keterampilan sebagai bumbu, dan pengetahuan sebagai bahan dasar.
“Untuk menghasilkan opor atau rendang, semua elemen ini harus dipadukan dengan porsi yang tepat,” jelasnya.
Lebih dari sekadar jabatan atau profesi, profil lulusan dalam pendekatan OBE didefinisikan sebagai kumpulan kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa, yang kemudian dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang pekerjaan. Dengan ini, mahasiswa bisa menekuni profesi apa pun, selama mereka menguasai kompetensi kuncinya.
Sesi ini juga menjadi forum diskusi interaktif. Peserta dari berbagai kampus mengajukan pertanyaan terkait penyusunan profil lulusan yang sesuai standar akreditasi, pengintegrasian Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) dengan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), hingga fleksibilitas dalam revisi kurikulum pasca-akreditasi.
Di sisi lain, beliau menekankan pentingnya direct dan indirect assessment dalam mengukur pencapaian kompetensi mahasiswa secara akurat.
“Jangan menilai rasa gulai ketika sudah ada di pasar, tetapi saat masih di dapur,” tegasnya.
Sesi ini menyadarkan bahwa menyusun kurikulum OBE bukan sekadar mengganti istilah, tetapi merancang pengalaman belajar yang menyeluruh, bermakna, dan siap uji. Pendidikan tinggi diminta untuk tidak hanya menghidangkan menu akademik, tetapi juga membekali mahasiswa dengan “resep kehidupan” yang autentik dan relevan. (Septia)