Implikasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024: Momentum Baru Demokrasi Lokal Indonesia

Prof. Dr. Anom Wahyu Asmorojati, S.H., M.H., Guru Besar Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Humas dan Protokol UAD)
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pemerintahan Daerah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Prof. Dr. Anom Wahyu Asmorojati, S.H., M.H., menegaskan bahwa perubahan mendasar dalam sistem pemilu Indonesia harus dilihat sebagai bagian penting dari perjalanan reformasi demokrasi. Menurutnya, praktik pemilu serentak lima kotak sejak 2019 memang membawa legitimasi konstitusional, namun juga menimbulkan kompleksitas teknis, pragmatisme partai politik, hingga tenggelamnya isu-isu lokal dalam dominasi agenda politik nasional.
Prof. Anom menjelaskan, keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan lokal menjadi jawaban atas berbagai problem tersebut. Dengan adanya pemisahan dan jeda waktu dua tahun, pemilih tidak lagi dihadapkan pada lima surat suara sekaligus, melainkan maksimal tiga, sehingga rasionalitas pilihan meningkat dan beban teknis berkurang.
Temuan empiris dari pelaksanaan pemilu serentak di tingkat lokal juga menjadi catatan penting. Meskipun efisiensi biaya dan penyederhanaan administratif menjadi keunggulan, Prof. Anom mengingatkan bahwa efisiensi tersebut tidak berlaku merata di semua daerah. Bahkan, dalam konteks pemilu saat pandemi COVID-19, prinsip demokrasi harus berhadapan dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan terkait keselamatan jiwa (khifazul nafs). Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya soal prosedur teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan dimensi moral dan kemanusiaan.
Lebih jauh, Prof. Anom menekankan implikasi pemisahan pemilu terhadap penguatan otonomi daerah. Dengan adanya jeda waktu, pemerintah daerah dapat menyusun RPJMD yang lebih stabil dan sinkron dengan RPJMN serta RPJPN. Hal ini sekaligus memperkuat kapasitas kelembagaan daerah untuk menjalankan fungsinya secara lebih terarah, tanpa tekanan langsung dari siklus politik nasional yang cenderung sentralistis.
Sebagai penutup, Prof. Anom menegaskan bahwa Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 bukanlah sekadar perubahan teknis, melainkan momentum bersejarah untuk reformasi demokrasi yang lebih sehat dan berkelanjutan. Namun, peluang ini juga hadir bersama tantangan, seperti risiko kejenuhan politik, kebutuhan anggaran besar, hingga keterbatasan kapasitas sumber daya manusia. Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kolaborasi seluruh pihak.
“Tujuan akhir dari setiap desain pemilu adalah memastikan kedaulatan rakyat benar-benar terwujud, baik di tingkat nasional maupun lokal, demi terciptanya pemerintahan yang responsif, inklusif, dan berpihak pada masyarakat,” pungkasnya. (Mawar)