Mahkamah Konstitusi sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman dalam Melindungi Hak Asasi Manusia

Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Salsya)
Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI), hadir sebagai pemateri yang memaparkan mengenai MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Acara ini merupakan Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Sabtu, 30 Agustus 2025, di Ruang Amphiteater Kampus IV UAD.
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman salah satunya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dr. Suhartoyo mengatakan, “MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman sehingga harus berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (pelindung konstitusi), The Final Interpreter of the Constitution (penafsir akhir konstitusi), The Guardian of Democracy (pelindung demokrasi), The Protector of Human Rights (pelindung hak asasi manusia), dan The Protector of Citizen’s Constitutional Rights (pelindung hak konstitusional warga negara).”
Sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan peradilan, MK diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap konstitusi, yang mencakup perlindungan HAM melalui regulasi negara. MK juga dapat membatalkan undang-undang jika dirasa bertentangan dengan hak-hak dasar warga negara.
“MK berwenang untuk menguji UU terhadap konstitusi atau hak konstitusional. Artinya, sesuai dengan pasal 51 ayat (1) UU MK, hak konstitusional merupakan hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 dan hak yang diatur dalam UUD tersebut tentu tidak terlepas daripada melindungi hak asasi setiap manusia. Sehingga, putusan MK dalam perkara pengujian UU akan terkabul manakala mampu melindungi hak konstitusional warga negara,” tambah Dr. Suhartoyo.
Oleh sebab itu, MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman harus dapat memberi putusan yang mengabulkan secara final terhadap pengujian UU yang memberikan perlindungan HAM dan berani menolak perkara pengujian UU apabila terdapat potensi melemahkan hak konstitusional warga negara. (Salsya)