Pengaruh Politik Identitas dalam Konflik Dunia Arab: Studi Kasus Palestina dan Suriah
Politik identitas telah menjadi faktor dominan dalam konflik di berbagai belahan dunia, termasuk di Timur Tengah. Politik identitas merujuk pada upaya menggunakan unsur etnis, agama, atau budaya sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan politik. Di dunia Arab, konflik di Palestina dan Suriah menjadi contoh nyata bagaimana politik identitas memainkan peran sentral dalam memperumit konflik yang sudah berlangsung lama. Kedua konflik ini menunjukkan bahwa politik identitas tidak hanya memperburuk ketegangan, tetapi juga mempersulit upaya penyelesaian konflik.
Dalam opini ini, akan dibahas bagaimana politik identitas memengaruhi konflik di Palestina dan Suriah, dengan menyoroti peran agama, etnis, dan sektarianisme. Selain itu, opini ini akan mengutip beberapa sumber buku dan artikel akademik untuk memperkuat analisis.
Politik Identitas dalam Konflik Palestina
Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik paling kompleks di dunia yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Meskipun akar konflik ini adalah masalah tanah dan kolonialisme, politik identitas memainkan peran besar dalam mempertahankan dan memperpanjang konflik.
Menurut Edward Said dalam bukunya The Question of Palestine (1979), politik identitas memainkan peran sentral dalam cara kedua pihak mendefinisikan konflik. Israel menggunakan identitas Yahudi sebagai legitimasi untuk mengklaim tanah Palestina, sementara Palestina memperjuangkan identitas Arab dan muslim mereka dalam menuntut hak atas tanah tersebut.
“The Zionist movement was fundamentally about the creation of a Jewish state, and this inherently involved the displacement and erasure of Palestinian identity.” – Edward Said
Politik identitas di Palestina juga terlihat dalam cara negara-negara Arab mendukung perjuangan Palestina. Banyak negara Arab menggunakan isu Palestina sebagai simbol solidaritas Islam dan Arab untuk memperkuat posisi politik mereka di kawasan. Namun, dukungan ini sering kali bersifat retorik tanpa langkah konkret, karena negara-negara Arab memiliki kepentingan politik domestik yang berbeda.
Selain itu, politik identitas di Palestina diperkuat oleh perbedaan sektarian antara kelompok Fatah dan Hamas. Fatah, yang lebih sekuler, menguasai wilayah Tepi Barat, sementara Hamas, yang berhaluan Islamis, menguasai Gaza. Perpecahan ini menciptakan konflik internal di Palestina yang memperumit upaya mencapai perdamaian dengan Israel.
Politik Identitas dalam Konflik Suriah
Konflik di Suriah adalah salah satu contoh paling jelas bagaimana politik identitas dapat memicu dan memperpanjang perang saudara. Konflik ini bermula dari protes damai yang menyerukan reformasi politik pada tahun 2011, tetapi dengan cepat berubah menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok dengan identitas agama dan etnis yang berbeda.
Pemerintah Suriah di bawah Bashar al-Assad adalah rezim yang didominasi oleh minoritas Alawit, sebuah sekte dalam Islam Syiah. Sebagian besar penduduk Suriah adalah Sunni, yang merasa terpinggirkan oleh rezim Alawit. Politik identitas memainkan peran penting dalam memobilisasi kelompok-kelompok perlawanan yang sebagian besar terdiri dari kaum Sunni.
Menurut Joshua Landis, seorang pakar Suriah, dalam artikelnya “The Syrian Civil War and Sectarianism” (2018), konflik Suriah tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan politik identitas sektarian.
“The Syrian conflict is not just a political struggle, but a deeply rooted sectarian conflict that has been fueled by identity politics and historical grievances.” – Joshua Landis
Selain itu, konflik di Suriah semakin diperumit oleh intervensi negara-negara asing yang juga membawa agenda politik identitas. Iran, sebagai negara mayoritas Syiah, mendukung rezim Assad, sementara negara-negara seperti Arab Saudi dan Turki mendukung kelompok-kelompok oposisi Sunni. Politik identitas juga digunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis seperti Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), yang memanfaatkan sektarianisme untuk merekrut anggota dan memperluas pengaruh mereka.
Perbandingan Palestina dan Suriah
Meskipun konflik di Palestina dan Suriah memiliki perbedaan dalam konteks sejarah dan politik, keduanya menunjukkan bagaimana politik identitas dapat memperburuk konflik. Di Palestina, politik identitas terutama berpusat pada nasionalisme dan agama, sementara di Suriah, sektarianisme memainkan peran yang lebih besar.
Dalam buku Conflict and Identity in the Middle East karya Shibley Telhami (2001), disebutkan bahwa politik identitas di Timur Tengah sering kali digunakan oleh para pemimpin politik untuk mengonsolidasikan kekuasaan mereka di tengah masyarakat yang terfragmentasi.
“Identity politics in the Middle East is not just a reflection of cultural differences, but a tool used by leaders to maintain power and control in divided societies.” – Shibley Telhami
Dampak Politik Identitas terhadap Upaya Perdamaian
Politik identitas mempersulit upaya perdamaian di kedua konflik tersebut. Di Palestina, perbedaan ideologi antara Fatah dan Hamas membuat sulit untuk mencapai kesepakatan bersama dalam negosiasi dengan Israel. Sementara itu, di Suriah, sektarianisme yang mendalam membuat sulit untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif dan stabil.
Upaya perdamaian di Timur Tengah sering kali gagal karena tidak memperhitungkan faktor politik identitas ini. Menurut Avi Shlaim dalam bukunya The Iron Wall: Israel and the Arab World (2000), solusi politik yang tidak memperhitungkan identitas dan hak-hak masyarakat setempat cenderung tidak berhasil.
“Peace initiatives that ignore the identity and aspirations of the local population are doomed to fail.” – Avi Shlaim
Politik identitas memainkan peran besar dalam memperumit konflik di dunia Arab, terutama di Palestina dan Suriah. Identitas agama, etnis, dan sektarian telah digunakan oleh berbagai pihak untuk memobilisasi dukungan dan memperkuat posisi politik mereka. Namun, politik identitas juga mempersulit upaya perdamaian, karena menciptakan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik.
Untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, penting untuk mengakui dan memahami pengaruh politik identitas dalam konflik ini. Solusi politik harus mencakup upaya untuk menciptakan inklusi dan rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang terfragmentasi, dengan menghormati identitas dan aspirasi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Shibley Telhami, “Perdamaian hanya dapat dicapai ketika identitas semua pihak diakui dan dihormati.” (Ibni/Dilla)