Menyatukan Zuhud dan Kemakmuran: Gagasan Islam Berkemajuan

Khutbah Jumat Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto. Mawar Ledya S)
Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Jumat, 11 April 2025, menjadi saksi dari khutbah yang menggugah pikiran dan menyentuh relung hati, disampaikan oleh Dr. Miftah Khilmi Hidayatullah, Lc., M.Hum. selaku Ketua Pusat Tarjih Muhammadiyah. Dalam suasana khidmat, ia mengawali khutbah dengan mengajak jamaah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya, bershalawat kepada Nabi Muhammad saw., serta meningkatkan ketakwaan dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Tak seperti tema-tema yang sering diangkat dalam khutbah Jumat, Dr. Miftah justru membahas sesuatu yang jarang disentuh di mimbar hari ini, tetapi memiliki akar mendalam dalam khazanah keilmuan Islam klasik: zuhud dan kemakmuran (al-ghina). Tema itu bukan sekadar kontemplatif, tetapi menjawab pertanyaan zaman dan tantangan umat Islam dalam menghadirkan kehidupan yang seimbang antara spiritualitas dan kesejahteraan duniawi.
Zuhud Bukan Anti-Kaya
Dalam khutbahnya, Dr. Miftah menekankan bahwa pemahaman zuhud yang selama ini dianggap sebagai hidup miskin dan menjauhi dunia, perlu dikaji kembali. Menurutnya, zuhud dalam arti yang sebenarnya adalah sikap hati yang tidak terpaut pada dunia, meskipun tangan menggenggam harta. “Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Bahkan seorang mukmin bisa zuhud dan gani dalam waktu yang sama,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa zuhud justru bisa menjadi jalan menuju kekayaan. Sebab orang yang zuhud akan terhindar dari sikap berlebih-lebihan, dari pemborosan, dan dari kesia-siaan. Zuhud melatih diri untuk hidup sederhana, sehingga mampu mengelola rezeki dengan bijak. Sebaliknya, kekayaan bisa lenyap bila seseorang hidup dalam kelalaian dan gaya hidup konsumtif.
Dr. Miftah mengutip ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) sebagai pengingat bahwa kesederhanaan adalah karakter seorang muslim sejati, dan Islam tidak pernah mendorong gaya hidup yang bermewah-mewahan.
Zuhud yang Menghidupkan Visi Islam Berkemajuan
Khutbah Dr. Miftah tidak berhenti pada aspek spiritual semata, melainkan juga menjembatani antara konsep zuhud dengan visi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Ia mengajukan pertanyaan retoris kepada jamaah, “Mengapa kita perlu bicara tentang kekayaan?” Lalu dijawabnya sendiri bahwa Muhammadiyah membawa misi besar dalam risalah Islam Berkemajuan yang meniscayakan adanya kemakmuran umat.
“Kita tidak bisa membangun peradaban tanpa kekuatan ekonomi. Kita butuh rumah sakit, universitas, amal usaha, dan semuanya itu memerlukan dana. Namun kekayaan itu akan menjadi berkah bila disertai dengan ruh zuhud,” jelasnya. Maka, menurut Dr. Miftah, zuhud adalah fondasi moral bagi kekayaan, agar harta menjadi alat untuk berjuang, bukan tujuan hidup semata.
Menjadi Muslim yang Visioner
Khutbah itu kemudian ditutup dengan penegasan bahwa indikator kualitas seorang muslim adalah kemampuannya meninggalkan hal-hal yang sia-sia. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Sikap ini harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan harta, waktu, dan tenaga.
Dr. Miftah mengajak seluruh jamaah untuk menjadi muslim yang produktif, dan visioner, yang mampu mengelola dunia tanpa terikat padanya, serta menjadikan kekayaan sebagai alat perjuangan menuju rida Allah. (Mawar)